🌼 48. PEREMPUAN MALANG

4.9K 285 17
                                    

Pondok pesantren dibuat heboh dengan berita yang sudah menyebar tentang Gus bungsu mereka yang berpelukan di depan umum bersama istrinya. Berita itu menyebar sampai ke asrama para Ustadzah. Beberapa ada yang menanggapinya dengan positive dan beberapa ada yang menanggapinya dengan negatif.

"Apaan banget kan, pelukan di depan umum?" ucap salah satu ustadzah seraya memasang wajah geli.

"Ngga papa kali, orang udah halal. Engga vulgar ah menurutku, orang pelukan doang, ngga buka bukaan ngga ciuman. Iri bilang aja sih kalian." Eniela yang merasa perbincangan teman temannya tidak benar pun berusaha meluruskan. Entah mengapa teman temannya ini gemar sekali menggosip, mereka lupa bahwa mereka adalah ustadzah disini.

"Kenapa kamu belain mereka , En?" kali ini Wirda, gadis anggun itu uring uringan sejak pagi tadi begitu mendengar kabar bahwa lelaki yang sangat dia cintai secara terang terangan berpelukan di depan umum.

"Siapa yang belain sih, Wir. Ya kamu coba deh pikir aja sendiri, memangnya ada yang ngelarang pasangan halal berpelukan didepan umum? Toh posisinya tadi pagi pondok itu sepi, anak anak pada sekolah hanya ada beberapa santri saja yang kebetulan lihat. Apa sih yang jadi masalah, heran deh." Eniela ngedumel, merasa jalan pikir teman temannya itu aneh.

"Kalian ngga merasa kalau Gus Badar terkena pengaruh buruk dari Ning Sisi?" tanya Wirda kepada para Ustadzah yang masih berkumpul di asrama. Mereka bergosip sembari mengoreksi hasil kerjaan siswa dan ada beberapa yang masih bersantai ataupun mengerjakan pekerjaan kantor seperti Eniela.

"Kalo dipikir iya juga, Wir. Dari awal aku juga ngga begitu suka dengan Ning Sisi. Coba deh, lihat background nya, berbanding terbalik dengan keluarga kyai sya'ban," balas ustadzah yang tengah memegang kertas ulangan para santri.

Beberapa ustadzah yang merasa pembicaraan ini sudah melenceng pun memilih pergi dan tidak mau ikut campur dan berlarut dalam gosip yang tidak benar itu.

"Wirda stop deh, jangan menyebar kebencian," cegah Eniela.

Wirda yang di cegah pun melirik Eniela penuh amarah," aku nggak menyebar kebencian En, mereka sendiri yang bilang kalau mereka tidak suka sama Ning Sisi," balas Wirda sewot.

"Nggak menyebar kebencian, tapi kompor, iya?!"

"Apa sih En! Kamu teman aku atau teman jalang itu sih?!"

Mulut Eniela menganga, terkejut dengan apa yang Wirda katakan," astaghfirullah Wirda! Istighfar! Bisa nggak hormati Ning Sisi sedikiiiit saja. Aku bukan membela Ning Sisi atau siapapun, tapi aku hanya berusaha meluruskan kamu agar kamu tidak terjerumus ke jurang kedengkian."

"Teman teman, lihat. Eniela sudah terpengaruh oleh Sisi. Perkataan ku benar kan? Sisi itu perebut kebahagiaan orang. Dia merebut Gus Badar yang seharusnya jadi suami aku, dia merebut perhatian Nyai Annisa dan kyai sya'ban dari aku, dan lihat sekarang...sahabatku pun kini sudah berpihak padanya dan melupakan siapa temannya," beber Wirda berapi api, matanya menyalang menatap tepat mata Eniela.

Suasana asrama khusus ustadzah pun menjadi menegangkan ulah perdebatan Wirda dan Eniela. Beberapa ustadzah berpencar untuk menenangkan dua insan yang tengah di bakar amarah itu. Beberapa ada yang mencoba menenangkan Wirda dan beberapa ada mencoba untuk menenangkan Eniela.

"Wirda, kamu sadar ngga sih Your love for Gus Badar has turned into an obsession, Wir! kamu akan merusak perasaanmu sendiri dengan obsesimu itu, itu penyakit hati Wirda," geram Eniela, merasa sahabatnya sudah berubah.

Wirda tertawa sarkas," terus aja bilang begitu En, aku obses lah, aku berubahlah, aku dengki lah, kalau aku memiliki itu semua kenapa? Kamu nggak mau sahabatan sama aku lagi? Oke fine!!!! Ngga usah berteman dengan aku lagi dan ngga usah larang larang apa yang akan aku lakukan." Wirda beranjak dari tempat duduknya, berjalan cepat menuju tempat favoritnya yaitu gazebo yang ada di halaman belakang asrama.

Gadis itu duduk termenung di gazebo, menerawang menatap langit tinggi.
Rintik nya air mata Wirda berubah menjadi deras tak tertahankan.

"Nggak ada satupun keinginanku yang tercapai," tangis Wirda sesenggukan. Bahunya sampe bergetar hebat ulah tangisnya.

"Andai saja aku jadi menikah dengan Gus Badar, derajat keluargaku pasti sudah naik drastis Dimata para kerabat dan tetangga di kampung," tangis Wirda bermonolog. Dadanya sampai sesak membayangkan keluarganya akan kembali diinjak injak oleh kerabat dan tetangganya.

"Ya Allah, apa aku pernah meminta yang bukan bukan? Tidak pernah kan? Aku hanya minta untuk jangan lagi biarkan keluarga ku diinjak injak, dicaci maki oleh kerabat dan tetangga karena mereka miskin. Kala itu harapan itu terbit, saat nyai Annisa memilihku sebagai calon istri Gus Badar, namun harapan itu dihempas begitu saja oleh kedangan wanita itu. Wanita yang berani beraninya masuk ke hati Gus Badar dan mengubah segalanya, mengubah planningku, aku benci sama dia Ya Allah..." tangis pilu Wirda seakan mengundang mendung dan gemuruh halilintar yang menggelegar. Cahaya Langit mulai meredup ke-abuan, awan pun mulai berarak membawa hujan yang ingin tumpah menjumpai bumi.

"Lalu saya harus bagaimana agar kamu tidak membenci istriku?"

Wirda terkesiap mendengar suara bariton yang tiba tiba muncul di belakangnya. Gadis anggun itu berdiri mematung kala membalikkan badannya dan menemui Badar berdiri menjulang di belakang gazebo tempatnya duduk.

"Gu-Gus..." celetuk Wirda seraya mengusap air matanya kasar," sa-saya tidak bermaksud___"

"Saya harus bagaimana supaya kamu tidak membenci istriku?" desak Badar, mengulang pertanyaan yang sebelumnya.

"Saya tidak bermaksud membenci Ning Sisi Gus," tutur Wirda gelagapan.

"Lalu?"

"Saya_saya hanya merasa tidak adil, Gus," seloroh Wirda dengan mata menyalang.

Badar menghela nafas kasar, Wirda yang dia kenal benar benar bukan seperti Wirda yang sedang ada di hadapannya sekarang ini.

"Dari segi mana kami merasa tidak adil? " tanya Badar, menuntik kejelasan.

"Apa Gus Badar lupa? Nyai Annisa sudah mengatakan bahwa sayalah yang akan menjadi istri njenengan, dan tiba tiba semua itu hilang begitu saja, dihempas begitu saja dengan kedatangan Ning Sisi, Gus! Hati perempuan mana yang tidak sakit, hati perempuan mana yang tidak merasa terdzolimi dengan semua itu?" papar Wirda menggebu gebu diiringi tangisnya. Gemuruh halilintar tidak mau kalah untuk unjuk suara.

"Saya yang datang kepada Sisi terlebih dahulu, Wirda. Bukan Sisi yang datang kepada saya. Jika kamu mau membenci, bencilah saya, jangan Sisi. Dia perempuan baik yang tidak akan tega menyakiti hati perempuan lainnya," pungkas Badar, menatap nanar penampilan Wirda yang kini sangat berantakan. Wirda yang biasanya anggun, rapih, dan pintar mengendalikan emosi kini seperti tanpa kendali.

"Saya benci padamu Gus..." tangis Wirda.

"Maafkan saya Wirda." Badar pergi meninggalkan Wirda yang tenggelam dalam tangisnya.

Sedangkan Wirda, gadis anggun yang kehilangan keanggunannya itu menatap punggung Badar penuh amarah, gadis itu tidak akan membiarkan semua ini terjadi.

"Aaaaarrrggt!!!! Aku benci semuanya!!!"
.
.
.
"Wow! Tumben nih Thor up siang bolong, hwhwhwh"

Iya nih, kebetulan sedang cuti bersama, ya Kaaaan, jd aku libur hehew😙

Jangan lupa Vote dan komen yaw🤍✨

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang