🌼 44. AKU PERGI

3.5K 270 18
                                    


GUYS MAU TANYA NIH...KALAU CERITA UMI UNTUK GAMAL JADI BUKU, KALIAN BAKAL PADA BELI ENGGA? 😭🙏?
.
.
Gadis berjilbab ivory itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Perasaannya campur aduk ketika meninggalkan rumah meski telah mendapat izin.

Sisi, gadis itu sampai lupa berpamitan dengan Gamal tadi, saking campur aduk pikirannya. Entahlah, Sisi tidak merasa pilihannya ini benar namun tidak merasa juga kalau pilihannya ini salah, semuanya mengambang dan tidak jelas.

Didepan pintu salah satu ruangan, berdiri menjulang sosok Damar yang menunduk fokus dengan layar ponselnya. Sisi bergegas menghampiri.

"Damar."

Mendengar suara Sisi, Damar lekas memasukkan ponselnya kedalam saku celana khaki color nya.

"Kamu bilang Dion masuk ICU?" tanya Sisi kembali sama persis seperti di perbincangan melalui telfon sepersekian jam yang lalu.

"Iya, dia di ICU sudah berhari hari, Si. Sampe gue kira nggak akan ada harapan. Tapi ternyata Tuhan itu maha baik, dan Dion itu manusia yang kuat. Dia sekarang sudah dipindah ke ruang rawat inap biasa, nih disini." Dion menjelaskan seraya menunjuk ruangan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Alhamdulillah ya Allah," ucap Sisi seraya mengelus dadanya lega.

"Masuk aja, ada nyokap Dion di dalam. Gue mau makan diluar. Lapar." Damar berlalu begitu saja melewati Sisi menuju jalur evakuasi untuk sampai ke lobby lalu mungkin lelaki itu akan berburu warung makan.

Sisi ragu. Mamanya Dion dulu sudah menganggap Sisi sebagai anaknya sendiri, lama Sisi tidak berjumpa dengan wanita paruh baya itu. Saat pernikahan Sisi pun wanita itu tidak datang, layaknya sang putra.

Clek.

Sisi membuka pintu pelan. Pemandangan pertama yang gadis mungil itu lihat adalah mantan kekasihnya yang terbaring tak sadarkan diri dengan selang dimana mana, kemudian ada sosok wanita paruh baya dengan kunciran kendur duduk tertidur di samping bed memegang tangan putranya.

Mamanya Dion, wanita itu terjaga kala Sisi masuk ke dalam ruangan.

"Sisi?" sapa Mamanya Dion untuk yang pertama.

Sisi tersenyum kemudian menghampiri wanita itu lalu Salim dengan takdzim layaknya seseorang yang lebih muda ke seseorang yang lebih tua.

Begitu Sisi selesai Salim, Mamanya Dion menjatuhkan air matanya berkali kali. Sisi pun ikut teriris, beliau sudah seperti ibu bagi Sisi saat ia sering main kerumah Dion, dulu.

Sisi merengkuh tubuh renta itu, mengusap punggungnya berkali kali," Tante kenapa jadi kurus," tangis Sisi lirih.

Mamanya Dion, masih belum bisa menjawab apa apa. Sisi melepas pelukannya, kemudian Mamanya Dion menggiring Sisi untuk duduk bersama di sofa yang tersedia di ruangan itu.

"Bagaimana kabar Dion, Tante?" tanya Sisi seraya mengambil tangan Mamanya Dion kemudian ia elus pelan untuk menguatkan.

"Sudah keluar dari ruang ICU saja Tante sudah lega, Si. Meski masih dipasang alat dimana mana," jawab Mamanya Dion miris.

"Rasanya Sisi tidak pantas meminta Tante untuk bersabar, karena dengan kondisi Dion yang sekarang, itu sudah terlihat jelas seberapa sabarnya Tante. Sisi hanya mau minta, Tante bertahan ya, yang kuat, Dion cuma punya Tante. Allah tidak tidur, Tan. Jangan lelah ngadu ya," ujar Sisi dengan buliran buliran air mata yang berlomba untuk jatuh.

Mamanya Dion pun sama, air matanya tak sanggup lagi ia bendung. Mamanya Dion mengangguk mantap, yakin akan melakukan semua yang Sisi katakan.

"Kamu tambah cantik," ucap Mamanya Dion, masih dengan jejak jejak air matanya, ia mengelus pipi Sisi sayang.

"Bagaimana kabarmu, nak?" tanya Mamanya Dion.

Sisi tersenyum," sangat baik Tante. Alhamdulillah suami Sisi lebih dari sekedar baik, dan sekarang Sisi juga sudah menjadi Ibu anak satu, anaknya sudah TK, lagi." Sisi bercerita sambil tertawa, namun sudut matanya masih saja mengeluarkan air mata kala menatap sorot mata Mamanya Dion.

"Syukurlah...Tante dengar suami kamu punya pesantren ya?"

Sisi menggeleng," itu milik Abah, Tan. Mertua Sisi."

Mulut Mamanya Dion membentuk huruf O, " kalau begitu, boleh Tante minta sesuatu?" tanyanya.

Sisi mengangguk.

"Tante titip doa. Mintakan para santri Abahmu untuk mendoakan Dion," pinta Mamanya Dion dengan mulut bergetar. Tanda tanda akan menangis kembali.

"Iya Tante, akan Sisi sampaikan."

***

Dibelahan bumi yang sama, Badar kini tengah menjinjing tas punggung berisi pakaian dan sedikit perlengkapannya.

Ardan, santri kepercayaan Badar yang kini tengah memanasi mobil melongo menatap Gus-nya yang bertingkah aneh itu.

"Gus, njenengan yakin mau Napak tilas bareng saya? Bukannya janjiannya bareng Ning Sisi?" tanya Ardan memastikan.

Badar yang ditanya, kini sibuk memasukkan semua bawaannya ke bagasi mobil. Menutupnya kencang, lalu masuk ke dalam mobil begitu saja.

"Gus?" Ardan melongokkan kepalanya ke dalam mobil.

"Udah, Ar. Berangkat sekarang. Saya sudah minta izin ke Abah dan Ummah dan mereka tidak masalah," ucap Badar dengan nada sewot.

"Lalu, Ning Sisi tidak dipamiti? Nanti dicariin bagaimana?"

Badar menyugar rambutnya kebelakang. Kesal dan pusing.

" Udaaah, tugas kamu cuma nyetir saja. Ayo berangkat, kalau capek nanti gantian!" sewot Badar.

Ardan pun yang tidak memiliki wewenang hanya bisa pasrah dan patuh kepada Gus nya.

Begitu mobil dilakukan oleh Ardan. Sepanjang perjalanan Badar hanya melamun menatap jalanan. Merenungkan apakah pilihannya ini tepat, dengan pergi sejenak tanpa bertemu dengan Sisi. Atau kah salah, Badar tidak tau.

Badar mengambil keputusan untuk Napak tilas sendiri bersama Ardan ketika ia dalam keadaan kalut, merasa istrinya yang sedikit lagi hampir ia gapai malah hampir terlepas kembali.

"Gus, kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan malah kabur," nasehat Ardan. Seperti biasa, Gus nya yang satu ini lumayan unik. Selalu bisa menyelesaikan masalah orang lain, namun terkadang masalah wanita saja kalang kabutnya bukan main.

"Siapa yang kabur," elak Badar seraya bersedekap. Untung saja tidak ada Gamal, jika ada Gamal pasti anak itu sudah protes dan menceramahi Badar  banyak hal.

"Mau mengelak seperti apapun, buktinya ini njenengan sudah di dalam mobil, bawa baju, perlengkapan, mau Napak tilas ziaroh ke 9 wali. Apa toh namanya kalau bukan Kabur dari istri?"

Badar diam mendengarkan ocehan Ardan.

"Nah , tuh, diam. Udah, wasallam kalo sudah diam begini. Ngluwihi wong wadon," cibir Ardan yang sayangnya memang benar.

"CK," decak Badar, " udah terlanjur juga, terus saya harus apa? Balik lagi? Pikir aja sendiri deh, Ar."

Ardan terkekeh geli," nah nah, ketularan Ning Sisi nih, pikar pikir pikar pikir. Malas mikir saya Gus. Melihat njenengan ruet kaya gini saja sudah ikut mumet saya," celoteh Ardan.

Badar kembali diam, menatap keluar jendela seraya merenung. Badar masih mengevaluasi diri, apa yang salah darinya dan apa yang harus ia perbaiki. Tidak lupa Badar juga harus merekap kejadian yang baru saja terjadi atau yang sudah lalu, melihat hal hal yang seharusnya Badar maafkan dan sikapi dengan lapang dada.

"Nah kan, melamon terus. Kangen pasti sama istri. Gimana? Balek saja?" goda Ardan.

"Bisa diem nggak , Ar? Udah jalan aja, tidak usah cerewet. Ketularan siapa sih?!" sewot Badar, masih bersedekap.

"Ketulan istrimu loh ini saya."

"Ar...."

"Iya iya, baik. Ini saya diam." Ardan memperagakan seakan ia meresleting bibirnya sendiri.
.
.
.

Kan kan, minggat deh suami orang🥲

Komen dan vote yang banyak ah, biar Gus Badar balek ke rumah😙

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang