🌼 23. SISI BERBEDA

9.3K 430 14
                                    

Badar, Sisi dan Gamal tiba di Pekalongan tepat menjelang asar tiba. Mereka bertiga disambut hangat oleh keluarga Pakdhe Damar. Begitu mereka turun dari mobil, istri Pakdhe Damar langsung memeluk Sisi dengan berurai air mata, Gamal yang kebingungan karena melihat Budhe menangis seraya memeluk Uminya pun langsung minta di gendong oleh Badar.

Badar mengamati moment hari itu dengan penuh tanya. Budhe memeluk Sisi amat erat sampai sesenggukan, namun yang Badar temui di wajah Sisi adalah wajah datar, bahkan senyum pun tak sedikitpun terbit di bibir cantiknya.

Masih dengan rasa penasarannya yang besar, Badar memilih untuk mengikuti Pakdhe Damar masuk kedalam. Badar di sambut hangat dan penuh hormat oleh anak anak Pakdhe Damar yang berjumlah lima orang, dan Sisi masih bersama Budhe yang tampaknya tidak mau melepaskan tangan Sisi.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu dengan nyaman. Ada beraneka ragam makanan yang keluarga Pakdhe suguhkan dan beberapa ada yang Badar tidak tau makanan apa itu, mungkin itu adalah makanan khas Pekalongan.

"Ini Gus, soto tauto. Khas Pekalongan, di Jogja tidak ada soto yang rasanya seperti ini. Budhe bikin sendiri ini. Ayok, monggo." Pakdhe mempersilahkan kita semua untuk makan. Moment nya sangat pas, kebetulan Badar sangat lapar dan lelah setelah menyetir kurang lebih empat jam lebih dari Jogja.

Badar melirik Sisi, gadis itu tengah sibuk membukakan bungkus kue lapis untuk Gamal. Anak anak Pakdhe Damar yang berada di ruang tamu juga tak segan untuk mencoel pipi Gamal karena gemas, Gamal yang diperlakukan seperti itu pun hanya diam karena bingung dan melanjutkan aktifitas memakan kue lapisnya.

"Tadi perjalanan ke sini bagaimana, Gus?" tanya Pakdhe.

"Alhamdulillah lancar Pakdhe, cuman waktu memasuki gapura kecamatan Petungkriyono, jalannya lumayan curam dan ngeri, jadi saya lumayan deg degan karena jarang menyetir di jalanan seperti disini," balas Badar dengan senyum ramahnya yang berhasil membuat ke tiga anak perempuan Pakdhe Damar meleleh seketika.

"Owalah, iya memang jalanan disini ya begitu, Gus. Namanya juga dataran tinggi, Yo curam, Yo mbelak mbelok, tapi kalau sudah biasa ya nanti terbiasa. Kayak anak muda sekarang itu, nggak ada takut takutnya, lewat jalanan sini, Gus. Demi liat Curug sama pemandangan disini mereka itu rela motoran, kadang sampai malam baru turun dari atas," ujar Pakdhe.

"Anak muda memang masih menggebu gebu ya Pakdhe semangatnya."

"Iya betul, dulu juga Pakdhe begitu. Dari Jogja naik bus sampai ke Pekalongan, setelah itu dari terminal naik angkot sampai ke Ndoro, di oper oper dulu Pakdhe itu, dari Ndoro ikut bapak bapak yang nyetir mobil pickup yang kebetulan mau ke Petungkriyono juga. Tapi kalau Pakdhe ke petung bukan mau lihat pemandangan, tapi mau menemui budhemu, hahahah." Pakdhe bercerita diiringi gelak tawa khas bapak bapak yang sudah berumur. Badar pun ikutan tertawa. Meskipun Jokes bapak bapak itu tidak lucu, namun tawa renyah mereka selalu membuat kita ingin tertawa juga.

"Sudah sudah, Pak. Ini loh mereka ini kecapean pasti. Sisi ayo nak, budhe kasih liat kamar kalian. Gus Badar selesaikan makan dulu, tidak apa apa." Budhe menarik pelan lengan Sisi untuk berdiri, dan Sisi menurut begitu saja. Masih ada perasaan yang mengganjal pada diri Badar saat melihat wajah Sisi yang datar datar saja kepada budhe nya.

***
"Kamarnya sempit, tidak apa apa Si?" tanya Budhe kepada Sisi, seraya menunjukkan kamar minimalis ala pedesaan, yang katanya itu sebenarnya kamar milik Sella anak bungsu Budhe.

"Tidak apa apa budhe," balas Sisi seraya memaksakan senyumnya. Budhe mendekat ke arah Sisi, memegang telapak tangan Sisi seraya mengusapnya.

"Budhe nggak menyangka kamu sudah sebesar ini nduk," ucap Budhe yang kembali menangis.

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang