🌼24. KEPAHITAN SISI

8.5K 416 10
                                    

Di malam yang amat dingin ini, Badar sama sekali tidak bisa tidur. Entah karena rasa dingin yang menusuk ataukah karena hal lain, Badar sendiri pun masih memikirkan hal apa yang membuatnya tidak bisa tidur. Sisi dan Gamal sudah terlelap ke alam mimpi, mereka berdua mengenakan selimut double supaya hawa dingin di desa Cokrowati ini tidak menyelinap masuk ke tubuh mereka.

Badar bangkit dari dari Sofa tempatnya berbaring. Badar sengaja tidak tidur di ranjang yang Budhe sediakan, karena jujur ranjangnya terlalu kecil untuk tidur bertiga. Badar khawatir jika nanti Sisi atau Gamal malah tidak bisa tidur karena kesempitan.

Badar memilih untuk keluar rumah setelah mengecup singkat kening Gamal dan kening Sisi tentunya, jangan sampai Sisi tau saja, kalau Sisi tau, dia pasti ngamuk dan ngatain Badar mesum. Meskipun hawa dingin sangat menusuk, namun rasanya Badar ingin sekedar berjalan jalan di luar rumah.

Ketika Badar sampai di pintu utama, ia menemukan Pakdhe Damar sedang merokok di atas dipan bambu yang terletak di halaman rumah, sepertinya dipan bambu itu memang tempat favorite beliau untuk merenung sendirian seperti sekarang ini. Badar memutuskan untuk bergabung bersama Pakdhe.

"Pakdhe belum tidur?" tanya Badar, seraya mendudukkan dirinya di samping Pakdhe.

Pakdhe terlihat terkejut," loh, Gus. Kok disini? Masuk masuk, waduh ini dingin begini loh, malah belum tidur," ujar Pakdhe sedikit memaksa Badar untuk kembali masuk.

"Saya tidak bisa tidur, Pakdhe. Saya disini saja sama Pakdhe," balas Badar.

"Owalah, yasudah kalau begitu. Pakdhe jadi senang, ada teman merenung, hahahah."

"Iya, Pakdhe."

"Sisi sama Gamal sudah tidur?" tanya Pakdhe.

"Sudah Pakdhe, sampai ngorok mereka."

Pakdhe tertawa lepas," owalah, kecapean itu, hahaha. Oiya, Badhe Udud nopo mboten, Gus?" tanya Pakdhe seraya menawarkan sebatang rokok kepada Badar. Badar sebenarnya sedang berusaha untuk berhenti merokok, namun ia merasa tidak enak kepada Pakdhe yang sudah menyodorkan rokok kepadanya.

"Matursuwun, Pakdhe." Badar menerima sebatang rokok dari Pakdhe, kemudian menyulutnya dan mulai menghisap gulungan yang mengandung nikotin itu.

"Gus."

"Nggeh, Pakdhe?"

"Tolong perlakukan Sisi dengan baik ya. Sisi itu gadis paling malang yang pernah Pakdhe temui selama hidup Pakdhe," ujar Pakdhe yang tiba tiba membuka sebuah cerita yang sedikit membuat Badar penasaran.

Sisi gadis yang malang?

" Nggeh Pakdhe, tentu saja saya akan menjaga Sisi dengan Baik."

Tatapan Pakdhe terlihat menerawang ke atas langit, beliau kepulkan asap rokoknya dengan helaan nafas berat, yang tentu saja memiliki arti bahwa ada suatu beban yang memberati hatinya.

"Kalau Pakdhe mendengar Sisi memanggil Pakdhe dengan sebutan Pakdhe, rasanya malu Gus, Saya. Saya ini tidak pantas menjadi Pakdhe nya Sisi."

Badar membenarkan posisi duduknya, sepertinya pembicaraan kali ini lumayan serius. Mungkin pembicaraan kali ini akan menjawab semua tanda tanya besar Badar tentang interaksi antara Sisi dan Budhe.

"Kenapa begitu Pakdhe?"

Pakdhe kembali mengepulkan asap rokoknya," saya dan istri saya pernah menolak mentah mentah Sisi untuk bergabung bersama keluarga Saya. Dulu sekali, waktu Sisi berumur enam tahun, Sisi mengalami kecelakaan besar saat hendak berlibur. Dia bersama Mama Papa nya, satu mobil."

Pakdhe berhenti sejenak dari ceritanya, kemudian kembali menghisap rokoknya dalam. Badar, dengan setia menanti kelanjutan kisah jalan hidup istrinya yang sama sekali belum ia ketahui.

"Waktu itu Mamanya Sisi masih mengandung adiknya Sisi. Sisi bahagia sekali waktu itu, karena dia mengira kalau sebentar lagi dia akan menjadi kakak, dia akan mendapat teman main dan tidak kesepian lagi sebagai anak tunggal, sebentar lagi ia akan menjadi anak sulung. Kejadiannya di libur semester, Mobil yang dikendarai papanya Sisi di tabrak sama truk tronton besar dari arah belakang, truk itu mengalami rem blong, dan kebetulan mobil papanya Sisi yang ada di depannya. Mobil itu sampai terbalik dan ringsek tanpa bentuk, ada Sisi, dan Mamanya Sisi yang sedang mengandung juga di dalam sana. Mereka semua tidak selamat. Papanya, Mamanya, bahkan adiknya yang di dalam kandungan, semuanya meninggal, dan hanya Sisi yang selamat."

Hati Badar bak terhantam benda besar. Itukah kisah dibalik tawa lepasnya Sisi? Bagaimana mungkin gadis itu bisa menjalani hari harinya dengan tawa renyahnya itu? Bagaimana mungkin gadis mungil itu bisa menutupi luka yang menganga lebar itu dengan keceriaannya?Sungguh, Badar masih terkejut dengan apa yang ia dengar sekarang.

" Saya ini kakak dari Mamanya Sisi, saya dan Mamanya Sisi itu tiga bersaudara, Sisi masih punya Tante yang sekarang tinggal di Surabaya. Dan Papanya Sisi itu anak tunggal. Kamu tau Gus, apa yang membuat saya malu ketika Sisi memanggil saya dengan sebutan Pakdhe?"

Badar menggeleng. Badar memilih untuk diam saja sampai Pakdhe selesai dengan ceritanya.

" Waktu itu, Kakek Nenek Sisi yang dari pihak Papanya, mereka tidak mau menerima Sisi, mereka menolak untuk menjadi wali dari Sisi dengan alasan mereka sudah semakin tua dan mereka harus mengurus diri mereka sendiri. Sisi yang sebatang kara, kemudian di lempar ke Tante nya yang di Surabaya. Tantenya juga menolak dengan alasan tidak punya uang, dan uangnya mau ia tabung untuk persiapan menikahnya. Kemudian Sisi dikirim kesini, ke rumah kami. Saat itu, ingin sekali rasanya saya menerima Sisi yang rapuh itu. Namun, istri saya tiba tiba memperbincangkan hal serius yang sampai sekarang ini masih menjadi penyesalan terbesar kami. Istri saya meminta saya untuk menolak mengurus Sisi karena ekonomi kita yang berantakan waktu itu, kami punya lima anak yang masih sekolah semua, dan..."

Tiba tiba Pakdhe menangis, dan tenggorokannya terdengar tercekat. Badar hanya diam, tidak berani berbuat atau berkata apa apa.

"Kami malah berinisiatif memasukkan Sisi ke panti asuhan. Kami sama dengan orang orang yang menolak dan membuang Sisi dengan jahat. Mamak saya, yang biasa kamu kenal dengan Nek Ida, marah besar dengan saya waktu itu, Mamak dengan tubuh rentanya jauh jauh menyusul Sisi  ke sini, kemudian ia membawa Sisi untuk pulang ke Jogja dengan rasa kecewa yang besar untuk anak anaknya. Mamak merasa gagal mendidik anak anaknya. Akhirnya Mamak memutuskan untuk membesarkan Sisi sendirian. Saat saya atau adik saya ada rezeki lebih, kami selalu ingin membaginya kepada Mamak untuk biaya mengurus Sisi, namun Mamak selalu menolak, Mamak terlalu kecewa dengan anak anaknya. Mamak paling anti menerima uang dari kami."

Dalam tangisnya, Pakdhe tidak lagi menyesap rokoknya, tangannya yang ia gunakan untuk memegang rokok bergetar hebat, seolah ia benar benar merasa bersalah kepada Sisi dan Nek Ida.

"Seberdosa itu kami, sampai Mamak tidak mau memakai uang pemberian kami. Dan seberdosa itu Kami kepada Sisi. Kami membuang Sisi yang malang. Bayangkan saja, ditengah dukanya yang yang mendalam karena kehilangan semua keluarganya, anak kecil itu harus menerima pahitnya penolakan oleh kerabatnya sendiri," ucap Pakdhe dengan tangisnya yang semakin menjadi.

Badar yang sejak tadi hanya diam pun, mendekat ke arah Pakdhe dan merangkul tubuh lelaki paruh baya itu supaya tangis Pakdhe mereda. Badar melihat jelas penyesalan itu dari pancaran mata si paruh baya itu.
.
.
.
Nulis sendiri, nangis sendiri.
Sepahit itu kehidupan Sisi guys😭

Jangan lupa Vote dan komen guys, nanti aku bakal double update. Nantikan yaaa!!!!

Btw, Happy 20k readers!!!!🥳

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang