In Control

12.1K 1.1K 70
                                    

Tok tok tok
Mark tersentak saat pintu ruangannya di ketuk, dia dengan cepat mengunci layar ponselnya dan menyeka air mata di pipinya. Pria itu menarik nafas dalam, menenangkan dirinya dengan cepat.

“Masuk!” Perintahnya.

Dia pandangi daun pintu bercat coklat itu, tak lama dia lihat kepala Haechan menyembul dari balik pintu.

“Sir, ada berkas yang harus Anda periksa.” Ucap Haechan, dia membuka pintu semakin lebar lalu memutuskan masuk.

Pria itu melangkah kemudian meletakkan berkas di atas meja Mark, alisnya bertaut saat melihat wajah Mark tampak sedih serta mata pria itu tampak memerah.

“Hei, are you okay?” Tanya Haechan.

“Yeah, im okay.” Jawab Mark dengan senyum yang di ulas terpaksa dengan anggukan kepala. Namun Haechan menangkap luka di wajah pria itu.

“Sepertinya tidak. Ada apa Mark? Tentang kekasihmu lagi?” Tanya Haechan.

Mark menghela nafas mendengar pertanyaan Haechan, dia selalu tidak bisa membendung perasaannya jika itu tentang Jaemin, apalagi, foto Jaemin barusan terus memenuhi kepalanya, merusak konsentrasinya.

“Hei, ada apa?” Tanya Haechan panik melihat Mark mulai gemetar, tangannya yang mengepal di atas meja gemetar hebat.

Mark tidak peduli jika dia di anggap cengeng, tapi Jaemin masih menjadi dunianya. Dia hancur berkeping-keping saat waktu yang dia habiskan untuk menunggu Jaemin dan berakhir menemukan kekecewaan seperti ini.

Dan beberapa menit meluapkan tangisnya, Mark mulai tenang.

Haechan datang menyuguhkan segelas kopi lalu duduk pada kursi di depan meja Mark. Dia pandangi pria yang melamun itu.

“Mereka tampak mesra dan dia baik-baik saja.” Gumam Mark, sakit lagi saat mengingat foto itu, melihat bagaimana manjanya Jaemin pada pria itu.

“Hanya tujuh bulan, tapi berlalu secepat itu. Ternyata hanya aku sendiri yang masih khawatir padanya. Harusnya aku mendengar ucapan Ayah saat Ayah meminta aku melupakan dia.” Mark mulai bercerita sementara Haechan hanya menjadi pendengar yang baik.

“Tapi rasanya tidak mungkin dia seperti itu. Kami saling mencintai.”

“Manusia memang mudah berubah, Mark” Haechan menimpali membuat Mark mengangguk. Ucapan Haechan juga benar baginya.

“Dulu aku berpikir, mungkin aku bisa merelakan dia. Tapi setidaknya, aku ingin tahu, jika dia masih hidup, aku ingin melihatnya sekali saja, jika pun dia bahagia dengan orang lain, aku ingin melihatnya. Jika dia sudah meninggal, setidaknya aku ingin melihat jasadnya. Tapi...” Ucapan pria itu terputus, semakin sakit setiap kali mengingat betapa hancurnya hari-hari yang ia jalani dengan terus menunggu Jaemin.

Belum lagi tentang kisah manis yang mereka jalani.

“Sekarang sepertinya semua sudah terjawab.” Gumam Mark penuh kekecewaan.

“Tetap saja, aku hanya butuh alasan mengapa dia menghilang lalu muncul dengan orang baru.” Pria itu bertanya-tanya.

“Mark, berhentilah mencari alasan itu sendiri. Terkadang suatu hal tidak butuh alasan, semua terjadi begitu saja. Aku rasa, sudah cukup sakit hatimu selama ini.”

“Aku hanya tidak habis pikir Haechan.”

“Kau seperti cinta mati padanya. Melihat dia seperti itu pun seperti kau masih berharap.

“Benar.” Gumam Mark. “Aku sangat berharap.” Lanjutnya dengan senyum kecut.

“Dia cinta pertamaku, Haechan.” Tutur pria itu dengan lirih. “Aku jatuh cinta padanya di saat aku belum tahu apa itu cinta.”

98,7FM [NOMIN]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang