Prolog

27.9K 1.2K 24
                                    

Ketubannya pecah dan terus mengalir di pahanya selama dia berjalan. Setiap sisi jalan yang dia lewati gelap. Tak ada lampu yang menerangi langkah Carissa yang setengah terengah hingga akhirnya dia tiba di depan rumah yang dia tuju. Pagar rumah terbuka lebar. Sebuah mobil terparkir di tepi jalan. Hanya rumah yang dia pandangi saat ini yang terang.

Suara teriakan kesakitan terdengar di dalam rumah itu. Mata perempuan berumur 21 tahun itu memanas. Dia memegangi perutnya, berusaha menggapai beranda rumah. Ketika akhirnya dia berhasil melangkahi anak tangga teras satu per satu, dia langsung terduduk dan memegangi perut besarnya yang sakit. Suara teriakan perempuan lain di dalam rumah itu tak berhenti sejak tadi sementara Carissa sulit berteriak.

Carissa melebarkan kedua kakinya dan menangis saat seluruh tulangnya terasa remuk. Dia bisa merasakan bayi itu keluar di bawah sana, disusul plasenta. Tak ada suara bayi. Hanya ada teriakan dari dalam rumah itu. Carissa membersihkan bayinya dan menggendongnya dengan tenaga yang tersisa, lalu menaruhnya bersama plasenta di atas sebuah selimut yang dia kalungkan sejak tadi.

Carissa mengetuk pintu dan itu tak membuahkan hasil. Dia ingin berteriak, tetapi suaranya sulit dia keluarkan sejak tadi.

Semua terjadi karena efek dari kepulangannya yang sebentar lagi....

Beberapa menit lagi dia akan kembali ke masanya. Seharusnya bayinya lahir beberapa minggu lalu, tetapi dia tak kunjung melahirkan hingga hari kepulangannya, yaitu hari ini, tiba.

Perempuan itu berbaring di samping bayi perempuannya yang menangis kecil. Dia tak bisa membawa bayinya untuk ikut bersama.

"Maafkan Mama, Nak," bisiknya pada bayinya. "Bahaya kalau kamu ikut."

Carissa menaruh liontinnya di samping bayi itu. Tertulis nama Kalila juga di sana.

Kalila menangis dengan suara kecil dan kedua tangan yang mengepal dan bergerak-gerak. Carissa terisak saat perlahan-lahan dia menghilang saat mencium kening Kalila.

"Kita akan ketemu lagi. Papa kamu pasti bisa membawa kamu kembali pulang, Nak...."

***

Semua orang di dalam rumah itu khawatir dengan proses melahirkan Utari, nyonya rumah yang saat ini sedang berjuang melahirkan anak ketiganya. Kali ini laki-laki lagi. Seperti dua anaknya sebelumnya yang selalu terpaut hanya satu tahun.

Hendry, tuan rumah ini, terlihat khawatir di depan kamar sementara bidan sedang membantu persalinan di dalam kamar. Anak sulung dan tengah, Adam dan Jiro yang masing-masing berumur 2 dan 1 tahun. Adam yang setengah mengantuk di gendongan pengasuh, akan menangis jika mejauh dari depan kamar sang ibu yang sedang kesakitan di dalam sana. Sementara Jiro yang tak mau jauh dari papanya dan terus minta digendong.

Pemandangan itu tidak berbeda jauh dengan satu tahun lalu saat Utari dalam proses melahirkan Jiro. Rahim Utari tak sekuat itu untuk melahirkan tanpa jeda bertahun-tahun, tetapi Utari selalu ingin melahirkan sampai mendapatkan anak perempuan. Namun, kali ini harapan perempuan itu pupus karena hasil USG yang dia cek berulang-ulang adalah anak laki-laki.

Pekerja rumah tangga melihat dari jauh pemandangan di luar kamar sambil membawa kantong sampah untuk dia buang di luar sana. Dia juga ikut merasa gugup sekaligus antusias untuk melihat kelahiran anak ketiga nyonya rumah sampai membuatnya sulit tidur. Suara tangis bayi membuatnya mengernyit dan menoleh. Utari masih berteriak kesakitan, tetapi ada suara bayi yang berasal dari luar rumah.

Sedikit takut, tetapi juga penasaran. Perempuan berumur 40-an itu membuka pintu dan suara tangis bayi semakin jelas. Dia menunduk dan melihat bayi dalam selimut tebal, ada di teras rumah dan sedang menangis dengan suara kecil.

Tangannya gemetar saat menyimpan kantong sampah di dekat pintu, lalu dia mendekati bayi itu dan mengambil sebuah kalung liontin yang dia pikir adalah benda penting milik keluarga bayi itu. Dia melilit kalung itu di tangannya dan segera mengangkat bayi itu ke gendongan. Bibirnya terkatup rapat, dia sulit bicara. Ketika dia membawa masuk bayi itu ke dalam rumah, suara tangis kencang bayi dari dalam kamar Utari terdengar. Suara bayi di gendongan perempuan itu pun semakin keras saat menangis.

"Bapak! Bapak!" seru perempuan itu, tergesa-gesa dengan tubuh gemetar. "Ada bayi di teras, Pak!"

Meski terlihat terkejut, tetapi Hendry dengan sigap membuka pintu kamar untuk memanggil bidan. Rumah itu diisi oleh tangis dua bayi seolah-olah Utari baru saja melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan. Namun, sebuah fakta tak akan mungkin mereka tutup-tutupi.

Utari menatap bayi perempuan itu dengan mata berkaca-kaca. "Kalila...."

*** 

a.n: selamat datang di cerita terbaruuu

⏳⏳⏳⏳

 thanks for reading!

love,

sirhayani


Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang