12

10.5K 755 21
                                    

12

"Kak Jiro kan emang laki-laki."

"Udahlah."

"Apa, sih, Kak?" Kalila kembali duduk di jok penumpang samping cowok itu setelah satu kakunya berlutut hanya untuk melihat Jiro lebih dekat.

Hanya Jiro satu-satunya saudara Kalila yang sering berpelukan dengannya. Ketika Jiro merentangkan kedua tangan, Kalila langsung menghambur ke pelukan cowok itu. Pelukan Jiro sudah seperti obat bahkan pelukan Jiro adalah pelukan ternyaman kedua setelah pelukan Ibu. Adam sama seperti Bapak yang hanya mengusap-usap kepala Kalila dan membalas pelukan Kalila secara singkat. Trey? Cowok itu akan memperlihatkan ekspresi jijik sebelum menendang Kalila agar menjauh.

Sikap Jiro yang ramah ini lah yang membuat kecanggungan Kalila pada Jiro dulu menghilang dengan cepat.

"Gue nggak pernah bohong kalau ngomong. Berapa kali sih gue harus tekanin kalau gue tuh nggak pernah anggap lo saudari gue?"

Lagi-lagi Jiro mengatakan hal yang sama.

Bagaimana mungkin Kalila menganggap serius ucapan Jiro saat Jiro sendiri mengatakan kalimat itu sambil sedikit tersenyum?

***

Adam singgah sebentar di rumah Bibi sekalian bertemu Adwaya sebelum dia meneruskan perjalanan ke rumah. Dia baru saja tiba dari Semarang. Kepulangannya ini hanya sementara karena ingin mengambil berkas untuk kelengkapan pendaftarannya di Universitas.

Sekarang dia sedang beristirahat di kamar tamu yang jendelanya menghadap ke jalanan. Kaca jendela kamar itu terlihat gelap jika dilihat dari luar, tetapi Adam melihat keadaan di luar sana dengan cahaya yang normal.

Dia bisa melihat Kalila dan Jiro berpelukan di dalam mobil itu. Mereka terlihat wajar-wajar saja saat berpelukan. Adam juga biasa memeluk Kalila untuk karena begitu sayang pada adik perempuan satu-satunya itu.

Namun, Adam merasa situasi antara Kalila dan Jiro sedikit berbeda. Mereka baru akrab dua tahun lalu. Mau dilihat bagaimana pun, Kalila tak mungkin memiliki perasaan khusus pada Jiro. Kalau ada, sudah sejak dulu sikap Kalila aneh di depan Jiro. Kalila benar-benar menganggap Jiro sebagai kakaknya.

Yang aneh di sini adalah Jiro.

Sudah sejak dulu Adam menyadari ada yang salah pada adik pertamanya itu. Terutama jika itu berkaitan dengan Kalila. Namun, Adam tak mau mengambil kesimpulan lebih jauh. Selama ini, tidak ada hal aneh terjadi. Semua terlihat normal.

Namun, justru di situ Adam semakin curiga. Jiro sepertinya main aman selama ini seolah Jiro tahu bahwa Adam sedang mengawasinya. Seolah Jiro menunggu waktu yang tepat untuk bertindak bebas. Sekarang, Adam akan jarang di rumah. Mungkin dia akan pulang beberapa bulan sekali jika disibukkan dengan dunia kampus. Apalagi Adam berniat untuk memasuki BEM.

Adam ingin memperingatkan Jiro sejak dulu, tetapi dia tak punya cukup bukti. Adam khawatir jika kecurigaannya tak benar dan hanya akan membuat Jiro dan dirinya menjadi canggung.

Ada banyak hal tentang Jiro yang tak bisa Adam mengerti. Mungkin, Jiro yang pandai menyembunyikan rahasianya atau Adam yang masih belum cukup dekat dengan adiknya itu.

Adam terlalu larut dalam lamunan sampai tak sadar Jiro dan Kalila sudah keluar dari mobil. Suara Kalila di luar kamar membuat Adam segera beranjak dari posisinya. Dia membuka pintu dan melihat Kalila muncul di depannya sambil tersenyum.

"Ternyata beneran di sini?"

"Hai." Ada menaruh tangannya di puncak kepala Kalila dan menepuknya pelan. "Gue singgah istirahat bentar."

"Kak Adam mau terus ke rumah, ya? Bareng aja, Kak. Nggak buru-buru, kan? Gue mau lihat Adwaya dulu. Adwaya lagi tidur siang, tapi."

Adam mengangguk sambil menatap Jiro yang sedang duduk di sofa. Ketika melihat Jiro mmenatapnya tanpa ekspresi, senyum kecil Adam terbit. "Hai."

"Hai," balas Jiro sambil mengangkat tangan.

Mereka benar-benar tidak akrab.

***

Kalila menatap Adwaya yang sedang meminum susunya di dot sementara mata bayi laki-laki itu masih setengah mengantuk. Beberapa saat lalu, Adwaya sampai terjatuh di kasur empuknya sambil minum susu dengan mata yang terkadang terbuka, terkadang tertutup.

"Gue nggak boleh cubit, nih?" tanya Kalila pada Jiro saat dia terlihat berusaha menahan tangannya agar tidak mencubit gemas pipi mulus bayi itu.

"Lo aja yang gue cubit, gimana?" tanya Jiro. Kalila menoleh padanya dan langsung mencubit lengannya tanpa ampun. "Sst..., gue bilang lo yang gue cubit. Bukan gue yang dicubit."

"Kak Jiro juga gemesin pengin gue cubit," kata Kalila saat kembali akan mencubit lengan Jiro, tetapi Jiro lebih dulu mencubit pipi Kalila dan menggoyangkannya sampai Kalila ingin menangis.

Jiro melepaskan cubitannya, lalu mengelus-elus pipi putih Kalila yang memerah. "Sakit?"

"Sakit, dong!" seru Kalila, sedikit berbisik sambil manyun. Dia memegang pipinya dan mengusapnya pelan setelah menepuk tangan Jiro dengan kesal.

Jiro menoleh pada seseorang yang sejak tadi hanya diam di kamar itu. Kakaknya, Adam, hanya duduk sambil bersedekap di atas sofa. Paha kanannya menumpu di atas paha kirinya. Tatapannya lurus menatap Jiro, lalu senyum miring terbit sesaat di wajahnya yang terbingkai kacamata minus.

Jiro menjauh dari boks bayi dan ikut duduk sofa, tepat di samping Adam. "Kenapa nggak berkabar kalau mau pulang?"

"Biar jadi kejutan," balas Adam. "Malah ketahuan duluan."

"Masih bisa ngasih surprise Ibu, kan."

"KALILA!" Suara Trey terdengar dari luar rumah setelah suara mesin motor baru saja dimatikan. Ah, anak itu cepat juga sampainya. Mungkin dia langsung berangkat setelah Kalila memanas-manasi bahwa mereka bertiga ada di rumah Bibi untuk melihat Adwaya.

Trey muncul di pintu kamar Adwaya dengan cepat seolah dia baru saja berteleportasi. Cowok itu langsung menatap Adam dan berdecak sebal. "Parah, nggak ngomong-ngomong mau ke sini."

"Naik apa ke sini?" tanya Adam.

"Dibonceng temen. Minggir sana. Siniin Adwaya!" seru Trey sambil mendorong pelan Kalila yang bahkan tidak mengganggu Adwaya yang masih menikmati minumnya.

"Ih, apa, siiih! Datang datang malah berisik. Sana lo!" Kalila balas mendorong Trey agar menjauh. "Pergiiii!"

Mereka kembali berulah. Bertengkar tak tahu tempat. Kalila masih bisa menjaga sikap dengan tidak begitu berisik. Dia hanya terprovokasi oleh Trey yang mengajak bertengkar. Sementara Trey merusuh tak jelas. Dia bahkan masih memakai seragam basketnya.

"Lo kotor tahuuu jangan sentuh-sentuh Adwaya!" seru Kalila sambil menarik Trey agar menjauh dari boks.

Tiba-tiba saja Adwaya menangis dengan suara keras, membuat mereka berempat langsung panik. Bibi lebih cepat muncul dan langsung mendatangi Trey dan Kalila, memberi mereka jitakan di kepala secara bergantian. Bibi mengangkat Adwaya dan membawa Adwaya keluar kamar untuk menenangkannya.

Adam kembali duduk. Begitupun dengan Jiro. Trey masih berdiri dengan bahu terkulai lemas. Sedangkan Kalila, cewek itu langsung duduk di ujung sofa, tepat di samping Adam dan menyembunyikan wajahnya yang bersedih.

"Kok gue juga dijitak Bibi...," kata Kalila dengan suara bergetar.

Adam menepuk puncak kepala Kalila. "Nggak apa, kok. Bibi cuma khawatir sama Adwaya. Trey, minta maaf sama Bibi sana."

Trey langsung keluar kamar dengan gesture enggan.

Jiro melirik Adam yang sedang memeluk Kalila dari samping dan menenangkannya.

Mengapa Kalila lebih memilih Adam untuk bersandar dibanding dirinya?

Pemandangan itu sungguh tidak menyenangkan bagi Jiro dan membuat Jiro jadi berpikir, apakah dia harus melancarkan rencananya sesegera mungkin?

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang