7

11.8K 856 28
                                    


7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

7

Jiro merentangkan tangan dan menatap Kalila dengan senyum menggoda. Gadis kecilnya itu sudah tumbuh menjadi remaja. Meski perbedaan umur mereka hanya satu tahun, tetapi bagi Jiro, Kalila tetaplah gadis kecilnya. Jiro sampai lupa pernah membenci cewek itu selama bertahun-tahun karena iri posisinya telah direbut.

Namun, sekarang, siapa yang peduli siapa yang paling disayangi Ibu? Dia bukanlah anak-anak lagi dan Kalila di mata Jiro juga bukanlah rivalnya.

"Apa lo mau biarin tangan gue pegel, Kalila?" tanya Jiro pada Kalila yang masih menatapnya terkejut. Ada rona merah di wajah cewek itu yang membuat Jiro semakin ingin menggodanya. Kalila tak pernah berubah, rupanya. Dia masih sering malu-malu saat berhadapan dengannya.

Kalila mengunyah makanannya, lalu meneguk setengah gelas air. Cewek itu turun dari kursi dan mendekatinya. Jiro berubah kaku ketika Kalila tiba-tiba memeluknya. Pelukan Kalila terasa sama canggungnya dengan apa yang Jiro rasakan saat ini.

Ah, Jiro tak menyangka situasi ini...

Situasi di mana Kalila memeluknya tanpa ada jarak sedikit pun di antara mereka. Namun, situasi ini menguntungkan Jiro dan membuat cowok itu tersenyum miring. Dia memegang rambut bagian belakang Kalila dan mengusapnya beberapa kali. Dia ingin mencium puncak kepala Kalila, tetapi berusaha dia tahan karena ini adalah kedekatan pertama mereka yang sangat intens.

"Ucapan gue nggak berubah seperti dua tahun lalu, ya," kata Jiro, menunduk ketika Kalila mendongak padanya. "Kita. Bukan. Saudara."

"Aku jadi lega, Kak!" seru Kalila. "Waktu itu, aku pikir Kak Jiro bilangnya sambil sinis, tapi ternyata akunya aja yang overthinking."

Jiro menaikkan alis. "Overthinking?"

"Iya!" seru Kalila. "Aku pikir Kak Jiro benci aku."

"Kenapa juga gue benci lo...." Jiro lalu terdiam. Dulu dia memang membenci Kalila, tetapi tidak sejak dia melihat Kalila dengan pandangan berbeda. Jiro memegang kedua pipi Kalila sambil tersenyum. "Gue nggak pernah benci sama lo, Kalila."

"Tuh, kan!" seru Kalila sambil menjauh, membuat Jiro rasanya ingin menarik Kalila kembali ke dalam pelukannya. "Aku yakin Kak Jiro bukan Kakak yang jahat. Tahu nggak? Tadi tuh aku berusaha berani buat meluk Kakak. Untung aja aku berani. Kalau enggak, aku mungkin masih takut buat deketin Kak Jiro."

Kalila mengatakan semua itu dengan antusias, membuat Kalila semakin terlihat menggemaskan di mata Jiro.

"Kak Jiro mau lihat kamar aku nggak?" tanya Kalila.

Jiro sedikit terkejut. "Boleh...?"

Kalila mengangguk dan dengan semangat menarik pergelangan tangan Jiro dengan tangan kecilnya. Kalila berlari dan tidak sulit bagi Jiro menyamakan langkahnya dengan Kalila.

Mereka menaiki tangga. Kalila tipe orang yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Binar bahagia di sepasang mata cewek itu terlihat jelas, membuat Jiro ikut bahagia. Mereka tiba di kamar Kalila yang tak tertutup, lalu Kalila tiba-tiba histeris melihat kamarnya sendiri.

"Aku lupa beresin kamar, Kak!" seru Kalila sambil mendorong Jiro untuk keluar. "Bentar, ya!"

Kalila lalu menutup pintu dan Jiro langsung tersenyum. Tak lama kemudian Kalila muncul dengan senyum cerah sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Sekarang, Kak Jiro boleh masuk. Silakan masuk!" Kalila mengangkat kedua tangannya, memberi gestur mempersilakan.

Jiro mengangguk dan melangkahkan satu kakinya, melewati batas kamar itu. Dia melihat sekeliling dan sudah menyadari sejak dulu bahwa kamar Kalila adalah kamar yang paling luas di antara yang lain. Jika saudara kandung Jiro ada yang perempuan, maka saudara perempuan kandung Jiro pasti akan cemburu berat pada Kalila.

Itu hanya jika. Untuk apa juga dia memikirkan sesuatu yang tak pernah terjadi?

Jiro menoleh dan menatap Kalila yang terlihat gugup. Jiro mendekati cewek itu dan mengusap-usap puncak kepalanya. "Kamar lo adem. Sayangnya, gue nggak boleh main ke sini."

"Kenapa?" tanya Kalila dengan pandangan polosnya itu.

Benar juga. Kalila menganggapnya saudara. Posisi Jiro di hati Kalila sama seperti posisi Trey dan posisi Adam di hati Kalila.

"Lupa?" Jiro tersenyum kecil. Padahal dia sudah berusaha untuk terlihat sinis. "Kita bukan saudara."

"Ck, Kak Jiro!" Respons Kalila justru mengira Jiro sedang bercanda.

Bisa saja Jiro selalu masuk ke kamar ini, tetapi tidak sekarang.

Dia harus menahan diri karena masih terlalu dini untuk menjadikan Kalila sebagai miliknya.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang