6

13.2K 969 27
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

6

Kalila terbangun karena perut yang keroncongan. Dia bahkan masih mengenakan seragam lengkap dan kaos kaki yang masih melekat di kakinya saat ketiduran. Dia ketiduran sambil memeluk liontin. Untung saja dia mengunci pintu terlebih dahulu sehingga menghindari kemungkinan terburuk di mana orang lain membuka liontin itu.

Kalila segera menyimpan liontinnya di tempat semula, lalu segera mengganti pakaian. Dia keluar dari kamar dan suasana cukup sepi. Jam di dinding menunjukkan waktu sore. Biasanya Trey kembali ke sekolah untuk latihan basket bersama timnya. Sementara Adam baru-baru ini mulai les untuk mempersiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki universitas impiannya dua tahun lagi.

Kalila memasuki dapur dan menemukan makanan yang baru saja dihangatkan di meja makan. Ibu datang membawa piring dan menuntun Kalila untuk segera duduk di kursi. Pasti Ibu segera menyiapkan semuanya setelah mendengar Kalila bangun tidur.

"Makasih, Ibuuu," bisik Kalila sambil menangkap ibunya dan memeluk pinggang ibunya dengan erat. Kalila menguap pelan. Dia masih mengantuk, tetapi sudah tidak ingin tidur.

"Kamu jangan makan telat-telat lagi. Tadi Ibu ketuk-ketuk pintu, kamu nggak denger sama sekali," kata Ibu saat duduk di kursi yang berhadapan dengan Kalila.

"Aku pakai penyumbat telinga, Bu. Soalnya tadi Trey beriiisik banget." Kalila minum sedikit, lalu mengambil sendok dan garpunya untuk menikmati makan siangnya yang terlambat.

Merasa dipandangi, Kalila menatap Ibu yang sedang bertopang dagu sambil tersenyum menatapnya. "Ibu kenapa?"

"Apa Ibu kelihatan aneh banget?" tanya Ibu masih dengan senyum merekah.

Kalila terdiam memikirkan mengapa Ibu terlihat senang. Dia langsung berpikir tentang pembicaraannya dengan Trey sepulang sekolah tadi. "Apa ... ada hubungannya sama Kak Jiro?"

"Loh?" Ibu sedikit membelalak. "Kamu kok bisa langsung nebak?"

"Habisnya, Trey bilang nggak sengaja dengerin Ibu ngobrol sama Bibi lewat telepon. Bahas Jiro yang bakalan balik ke rumah," balas Kalila. "Tapi Trey nggak tahu kapan."

"Hari ini!"

"APA?" Kalila tak sengaja berteriak sampai beberapa butir nasinya muncrat di atas meja. Kalila dengan panik memungut butiran-butiran nasi itu di atas meja dan segera mengambil tisu, membersihkan kekacauan yang telah dia buat. "Maaf, Ibu! Kalila nggak sengaja!"

Ibu hanya tertawa. "Kamu pasti senang banget karena Jiro pulang. Waktu kecil kamu yang paliiing sering cari Jiro. Dikit dikit nanya, Ibu, kaka Jilo mana?"

"Apa aku ... gitu?" tanya Kalila, mencoba mengingat-ingat, tetapi tak ada ingatan tentang dia yang terus-terusan bertanya pada Ibu.

"Iya. Kamu mungkin nggak ingat karena masih kecil banget."

Kalila menunduk dan tersenyum. Betapa polosnya dia yang terus-terus mencari Jiro yang sudah tinggal dengan Bibi dan Paman saat itu.

"Kenapa, Mbak?" Ibu mengangkat sedikit tubuhnya saat melihat seorang pekerja rumah tangga yang muncul di ruang makan.

"Bu, maaf ganggu. Di depan ada Jiro dan sopir."

"Ah, udah sampai." Ibu berdiri dan menaruh tangannya beberapa saat di puncak kepala Kalila. "Kalila, kamu lanjut makan, ya. Ibu mau bantu Kakak kamu dulu."

Kalila mengangguk, lalu mengikuti Ibu dengan pandangan mata. Jantungnya terasa berdegup kencang. Dia gugup karena kedatangan Kakak yang paling tidak akrab dengannya itu setelah sekian lama tak bertemu.

"Ugh!" Kalila memegang ulu hatinya dengan tangan kiri sementara tangannya sibuk menyendokkan makanan ke dalam mulut.

Meskipun kenyatannya Kalila dan tiga cowok itu tidak sedarah, tetapi Kalila bisa dekat dengan Trey dan Adam karena mereka tumbuh bersama sejak kecil. Namun, ada sedikit perbedaan jika itu tentang Jiro. Kalila tidak pernah lupa malam di mana Jiro mengatakan bahwa Kalila terlihat makin cantik jika memakai bando putih pemberiannya, lalu Jiro langsung menjatuhkannya yang sedang berada di awan karena memperingatinya dengan penuh intimidasi bahwa mereka bukanlah saudara.

Namun, Kalila akan memanfaatkan kedekatan mereka yang tinggal serumah kali ini. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi saudara sesungguhnya. Da harus cepat selesai makan supaya ikut membantu Jiro yang baru saja kembali.

Kalila mengepalkan tangan kirinya dengan kuat. "Semangat!" bisiknya dengan pipi mengembung karena makanan.

"Haha." Suara tawa kecil yang terdengar mengejek mengalihkan fokus Kalila dari makanan yang berusaha dia habiskan. Kini, Kalila melihat seorang cowok yang sedang menyandarkan lengannya di dinding sambil bersedekap dengan senyum tertahan. "Apa lo buru-buru makan karena nggak sabar mau ketemu gue?"

Kalila berhenti mengunyah karena terkejut.

"Kunyah dulu. Terus minum. Habis itu ketemu gue sepuas lo." Jiro melemparkan senyum yang membuat kedua lesung pipitnya terlihat semakin dalam. Kedua tangan cowok itu terulur seolah-olah siap menerima pelukan darinya. "Atau mau meluk gue sekarang, Kalila?"

***


 

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang