1
"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun Trey Kalila, selamat ulang tahun! YEEEEY!" Semua orang di ruangan itu bersorak pada dua anak yang berdiri di belakang kue tar dengan angka 5 tertulis di atasnya.
"Tiup lilinnya! Tiup lilinnya! Tiup lilinnya sekarang juga! Sekarang juga!" Orang-orang kembali bertepuk tangan sambil terus bernyanyi. Anak laki-laki dan anak perempuan itu sedikit maju. Trey berjinjit dan memonyongkan bibirnya, mulai meniup lilin angka lima yang tertancap di atas kue tar berukuran besar. Begitu pun dengan Kalila yang melakukan hal sama. Keduanya beberapa kali meniup hingga api di atas lilin angka lima itu akhirnya mati.
Semua orang kembali bertepuk tangan. Selain keluarga besar, hanya ada tetangga-tetangga yang memiliki anak seumuran Trey dan Kalila yang Utari undang. Tidak begitu banyak, tetapi kado-kado besar menumpuk karena ada dua bintang kecil hari ini.
Pemotongan kue akhirnya dimulai. Utari mengamati Kalila berusaha memotong kue. Anak perempuan itu memberikan potongan kue pertamanya kepadanya dan Hendry. Trey melakukan hal yang sama setelah melirik Kalila. Anak bungsunya itu memang tak mau kalah seperti biasanya.
"Ini buat Ibu dan Bapak!" seru Trey sambil memberikan piring kecilnya berisi dua potong kue kepada Utari dan Hendry.
Kalila kembali memotong kue dengan tangan kecilnya itu dengan antusias, lalu dia berikan kepada Adam yang lebih tua dua tahun darinya itu. Adam menerimanya sambil tersenyum bangga. Lagi-lagi Trey melakukan hal yang sama. Sekali lagi, Trey tak mau kalah.
Kalila melirik Jiro yang sedang duduk di sebuah kursi yang jauh dari keramaian. Jiro duduk sambil melirik kerumunan anak-anak seumurannya dengan pandangan malas. Kalila mengambil sebuah piring dengan potongan yang sedikit lebih besar dari sebelumnya, lalu dia berlari kecil ke arah Jiro dan berhenti di depan anak laki-laki itu sambil mengulurkan piring. Jiro yang duduk, mengangkat sedikit pandangannya untuk menatap Kalila, lalu dia mengernyit.
"Nggak perlu," balas Jiro, lalu menatap paman dan bibinya. "Kasih Paman dan Bibi aja."
"Ini khusus buat Kakak Jiro...," bisik Kalila. Dia terlihat malu-malu.
Meskipun mereka jarang bertemu, tetapi Kalila tahu satu hal bahwa mereka adalah saudara. Utari sejujurnya tak ingin membiarkan Jiro diasuh oleh siapa pun selain dirinya dan Hendry, tetapi kakak perempuanya yang dia sayangi, bibinya Jiro, sudah bertahun-tahun tak juga memiliki anak sampai membuatnya depresi. Tiga tahun lalu, kakak perempuannya itu datang ke rumah dan memohon untuk mengasuh salah satu anak Utari dan Hendry demi memancing kehamilannya yang tak kunjung berhasil. Utari tak tega dan berakhir memberikan Jiro, anak keduanya, kepada kakak perempuannya itu. Jiro adalah pilihan yang tepat. Adam sudah berada di taman kanak-kanak saat itu. Sementara Trey akan menangis kencang saat jauh dari Kalila.
Yah..., meskipun terkadang Trey menunjukkan sikap tak mau kalahnya pada Kalila dan bahkan mereka sering bertengkar, tetapi dia yang paling tak mau jauh dari Kalila.
Namun, kali ini Trey tak melakukan hal yang sama dengan Kalila. Dia tak mau memberikan Jiro kue. Dia lebih memilih menandatangi paman dan bibinya sambil tersenyum manis, lalu setelah itu dia melirik Jiro dengan tatapan tak sukanya itu.
Utari menghela napas panjang. Ikatan persaudaraan mereka jadi merenggang setelah Jiro diasuh oleh kakak dan iparnya karena pertemuan Jiro dan Trey yang terjadi hanya beberapa kali dalam sebulan.
Kalila berhasil memberikan kue untuk Jiro. Piring kecil berisi potongan kue yang lebih besar dari yang lain itu sudah ada di tangan Jiro. Jiro menatap kue itu dengan malas, lalu dia mengambil sendok di atas piring dengan tak niat. Dia memotong kue dan mengambilnya dengan sendok, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Seketika ekspresinya berubah. Dia kini tersenyum kecil, lalu mulai makan dengan lahap. Anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka menyukai sesuatu yang manis.
Utari mengulurkan tangannya pada Kalila yang datang sambil tersenyum senang ke arahnya. "Kenapa, sayang, hm?" tanya Utari.
Kalila mendekatkan bibirnya ke telinga Utari. "Ibu, tadi aku kasihin Kakak Jiro kue yang paling besar, nggak apa-apa, kan, Bu?"
Utari mengernyit. Dia jadi penasaran mengapa Kalila memberikan yang paling besar. "Kenapa Kalila ngasih yang paling besar?"
"Karena Kakak Jiro jarang pulang," balas Kalila, masih berbisik di dekat telinga Utari.
Utari tersenyum miris. Sejak dulu, Kalila selalu bertanya padanya. "Kakak Jilo napa nggak puyang, Ibu?" Itu setelah Jiro meninggalkan rumah dan Kalila masih berumur dua tahun saat itu. Namun, Kalila sudah jarang menanyakan hal itu karena dia sudah mengerti bahwa rumah Jiro tidak hanya di sini.
"Nak Jiro. Sini. Sini." Utari mengulurkan tangannya. Jiro langsung berdiri sembari memegang piringnya yang sudah kosong. Utari tersenyum kecil melihat krim di sudut bibir anak laki-lakinya itu. Dia mengusap sudut bibir Jiro. Anak laki-lakinya itu sedikit menghindar dan menatap Utari dengan malu.
"Aku bukan anak kecil," bisik Jiro sambil mengusap bibirnya dengan punggung tangannya, lalu menatap Kalila. "Makasih, ya, kuenya...."
Kalila tersenyum sambil memeluk leher Utari dengan malu-malu.
"Malam ini kamu nginap di rumah, kan? Nanti Ibu kasih tahu ke paman dan bibi kamu," kata Utari.
Jiro mengalihkan pandangan. "Kenapa harus ngasih tahu Paman dan Bibi? Aku kan anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh aku nginap atau enggak."
Utari tahu sikap Jiro yang sedikit ketus ini karena kekecewaan. Di rumah paman dan bibinya, dia sendirian, disaat seharusnya dia hidup di rumah yang ramai bersama dengan kakak dan adik-adiknya.
Utari mengusap pipi Jiro sambil tersenyum kecil. Dia jadi sulit untuk mengatakan sesuatu karena berada di situasi yang serba salah.
***
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang dan Waktu
Teen FictionSELESAI ✔️ Dalam keluarga besar itu pun tahu bahwa Kalila hanyalah anak angkat yang ditemukan di depan rumah saat anak laki-laki terakhir sepasang suami istri terlahir ke dunia. Namun, Kalila justru yang paling disayang, baik oleh kedua orang tuanya...