34

5.1K 365 26
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

34

Jiro langsung mandi dan berganti pakaian setelah tiba di rumahnya dan buru-buru ke kamar Kalila setelah itu. Ketika mendorong ke bawah kenop pintu, pintu itu tak bisa terbuka. Kalila pasti sengaja mengunci pintu kamar karena tak biasanya Kalila begini. Dia ketuk pintu kamar Kalila beberapa kali, tetapi tak ada respons sama sekali.

Jelas sekali. Kalila marah. Jiro menghela napas. "Kalila?" Dia mencoba mengetuk pintu Kalila, tetapi masih tak ada respons darinya.

Harusnya, Kalila belum tidur. Jam makan malam memang sudah lewat dan rumah juga sudah sepi bahkan ketika Jiro baru tiba di rumah, tetapi Kalila pasti masih menunggu kepulangannya. Mungkin, di dalam sana Kalila sedang menutupi kedua telinganya dan berdiam diri di dalam selimut. Jiro langsung terenyum membayangkannya.

Jiro kembali ke kamarnya dan melihat ponselnya yang sudah menyala. Hanya ada pesan dari Ashana yang berisi kata terima kasih. Jiro mengabaikan pesan cewek itu dan fokus pada Kalila. Dihubunginya Kalila lewat panggilan telepon. Panggilannya masuk, tetapi langsung ditolak oleh Kalila.

Benar, kan? Kalila belum tidur. Cewek itu pasti sedang cemberut di balik selimut.

serius enggak mau ketemu gue? enggak mau gue kasih pelukan selamat tidur? gue tinggal tidur nih?

Jiro langsung berdiri saat didengarnya suara pintu yang dibuka di kamar sebelah. Ketika di depan kamar Kalila, pintu kamar cewek itu hanya terbuka sedikit. Jiro langsung masuk dan segera menguncinya dari dalam. Kalila menyembunyikan seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Jiro mendekat. Dia berhenti melangkah, lalu duduk di tepi tempat tidur Kalila. Ditariknya selimut Kalila untuk melihat wajah cewek itu, tetapi Kalila tak mau kalah mempertahankan posisi.

Jiro berbaring dan menaruh telapak tangannya di bawah sisi kepala. Rambutnya masih sedikit basah, belum kering dengan sempurna karena tidak menggunakan pengering rambut dan hanya menggunakan handuk.

"Apa lo marah?" Jiro bertanya dan Kalila tak bergerak sedikit pun. Jiro sengaja bertanya untuk melihat reaksi Kalila. Tentu saja Kalila sedang marah karena Jiro hanya memberikan pesan singkat sebelum menghilang hingga hampir larut. Jiro sangat sadar akan hal itu. "Karena gue pulang terlalu malam?"

"Gue lihat Kak Jiro bareng Kak Ashana!" bentak Kalila dengan berbisik. "Kayaknya bahagia banget ya pergi berduaan sama dia?"

Jiro mengerjap. Dia tak menyangka Kalila melihatnya pergi.

"Kalau mau pergi bareng Kak Ashana, entah itu kerja kelompok atau ada urusan lain, kasih tahu gue, dong, Kak! Biar gue enggak salah paham dan malah overthinking dan enggak bisa tidur nyenyak!" cerocos Kalila dengan suara pelan, masih di dalam selimut. Kedua kakinya bergerak menendang-nendang selimut dari dalam. "Coba jawab yang jujur, habis dari mana bareng Kak Ashana?"

Jiro tersenyum licik. Dia ingin melihat respons apa yang akan Kalila perlihatkan jika dia memprovokasi Kalila lewat jawaban yang jujur. "Ke pantai. Berdua."

Kalila langsung membuka selimut. Matanya bengkak dan ada air mata di hampir seluruh wajahnya. Jiro langsung menarik tubuh Kalila, membawa Kalila merapat ke tubuhnya agar Kalila tak lagi menutupi dirinya sendiri.

"Lo nangis karena gue pergi enggak jelasin apa-apa, hm?" tanya Jiro sambil mengusap lembut kepala Kalila.

"Pakai nanya!" Kalila menenggelamkan wajahnya di dada Jiro. "Ngapain ke pantai bareng Kak Ashana dan berdua, doang? Sampai jam segini? Kencan?"

"Mana ada kencan," balas Jiro sembari tertawa kecil. "Gue cuma temenin Ashana tadi. Sebagai teman, sesekali ngehibur teman enggak apa-apa, kan?"

"Teman atau teman jadi-jadian?" Kalila berdecak. Dia memukul lengan Jiro yang tak mau melepas peluknya. "Udah makan malam? Pasti habis dinner kan sebelum nganterin dia pulang? Kalau Kak Jiro sukanya sama Kak Ashana pacaran aja sama Kak Ashana." Jiro langsung menangkup kedua pipi Kalila dengan tangannya, membuat cewek itu jadi sulit bicara. "Kita potos aja!"

"Enggak mau, ah," balas Jiro. "Ngapain gue pacaran sama Ashana? Yang gue suka kan elo. Bukan dia. Udah, ya? Kita enggak harusnya bertengkar cuma gara-gara hal sepele."

"Sepele?" Mata Kalila berkaca-kaca. "Menurut Kak Jiro sepele, tapi menurut gue? Enggak sama sekali." Bibir Kalila bergetar. Jiro mengusap lembut pipi pacarnya itu yang sedang menahan tangis. "Gue udah bilang, kan? Jangan ngasih Kak Ashana harapan. Dia jelas-jelas suka sama Kak Jiro. Kalau Kak Jiro bersikap ramah ke dia, dia bisa salah paham dan mikir kalau Kak Jiro juga suka sama dia."

Jiro terdiam memandang Kalila lekat-lekat. Apakah dia melewati batas? Apakah dia memberikan harapan pada Ashana? Tentu saja tidak. Jiro tahu batasan dan selama ini sikapnya pada Ashana tak pernah lebih dari sekadar teman.

Jiro mengusap pipi Kalila yang basah. Kalila hanya lah cewek polos yang mudah sekali dimanipulasi. Mungkin, karena Kalila tumbuh dimanja oleh Bapak dan Ibu karena menjadi satu-satunya anak perempuan di rumah ini. Sejak kecil, Kalila tak pernah hidup kekurangan. Dia hidup berlimpah kasih sayang. Bahkan Nenek dulunya tak menyukai keberadaan Kalila karena hanyalah anak yang ditemukan di teras rumah, tetapi sifat ceria Kalila membuat siapa pun jadi luluh sekalipun itu orang yang memiliki sifat dingin seperti Nenek. Tak heran, banyak sepupu yang iri pada Kalila.

Satu-satunya kesedihan Kalila adalah fakta bahwa di dalam tubuhnya tak ada gen dari Bapak dan Ibu.

Jika Kalila jatuh cinta pada cowok lain, maka Jiro akan menghancurkan cowok itu sampai Kalila tak bisa melihat cowok itu lagi. Untung saja, Kalila tak melihat cowok lain selain dirinya dan Jiro bisa melakukan apa pun yang dia inginkan pada Kalila sesuka hatinya. Toh, Kalila mudah dia pengaruhi.

Namun, apakah dia sanggup merusak Kalila demi bisa memilikinya? Jiro mulai ragu dan bertanya-tanya tentang perasaannya selama ini. Apakah dia benar-benar mencintai Kalila atau hanya sebuah keinginan yang timbul dari balas dendam? Karena Jiro akui, bahwa salah satu alasannya membuat Kalila berada di genggamannya adalah karena kekecewaannya pada Ibu dan Bapak. Jiro ingin memperlihatkan hasil dari anak yang telah mereka jadikan pilihan untuk dibuang.

Jika sejak kecil dia tinggal di rumah ini, tumbuh bersama Kalila sebagaimana Adam dan Trey, maka apakah perasaaannya akan berbeda dan dia bisa menganggap Kalila seperti adik kandungnya sendiri? Pasti akan begitu. Pasti dia akan melihat Kalila seperti adik kandungnya sendiri. Sebagaimana Adam dan Trey memandang Kalila seperti saudara kandung.

Selama ini, Jiro selalu tidak ingin mengakui Kalila sebagai adiknya dan karena itu juga dia jadi menaruh hati padanya.

Seharusnya Jiro tak perlu lagi bertanya-tanya apakah dia menyukai Kalila atau tidak karena jawabannya sudah jelas. Bahwa dia menyukai Kalila sejak dia melihat Kalila memakai bando putih pemberiannya untuk pertama kalinya. Saat itu dia memang awal masa pubertas. Masa-masa remaja awal yang mulai mengenal jatuh cinta. Dan Kalila adalah cinta pertamanya.

Saat itu, Jiro tidak ingin mengakui bahwa dia menyukai Kalila dan membuat Jiro berusaha untuk dekat dengan cewek lain. Namun, Kalila tak bisa membuatnya berpaling dari cewek mana pun. Bagaimana pun usahanya untuk dekat dengan cewek lain, Kalila tak bisa pergi dari pikirannya.

Lalu, cewek-cewek itu?

Semua berakhir sama; cewek-cewek itu dia tinggalkan dan tak pernah dia datangi lagi.

***


 

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang