54

3.3K 302 24
                                    

by sirhayani

part of  zhkansas

54

Kalila membuka kedua kelopak matanya. Dia terbangun oleh suara tangis seseorang. Jiro berada di samping tempat tidur, berlutut di lantai sembari menggenggam tangan kanan Kalila dengan erat.

"Maaf," bisik Jiro dengan suara parau.

"Maaf untuk apa?" tanya Kalila disaat kesadarannya belum kembali sepenuhnya.

"Gue udah hancurin hidup lo, Kal...."

Ah, Kalila baru teringat apa yang terjadi di antara mereka. Mereka telah melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan.

Saat ini Jiro berpakaian lengkap. Sementara Kalila hanya mengenakan kaos tanpa dalaman dan Kalila tak ingat dia memakai baju sebelum tidur. Tak ada pakaian yang menutupi tubuh bagian bawah Kalila selain selimut yang menyembunyikannya. Mungkin, Jiro yang memakaikannya baju.

Kalila duduk perlahan dan memegang pipi Jiro. Harusnya, Kalila yang menangis karena sebagai perempuan dia telah kehilangan kehormatannya. Namun, Kalila tak menyesali apa pun. Apa yang telah terjadi di antara mereka juga sudah terlanjur terjadi. Jiro mungkin merasa bersalah atas apa yang sudah cowok itu lakukan padanya.

Entah kenapa, di situasi seperti ini, cara menangis Jiro mengingatkannya pada Kala....

"Kalila...." Jiro menatapnya lekat-lekat. "Enggak marah sama gue?"

Kalila menggeleng pelan.

"Enggak benci sama gue?" tanya Jiro lagi. "Lo ... enggak berniat ninggalin gue setelah ini, kan?"

Kalila tersenyum sedih. Jiro mungkin khawatir Kalila membenci cowok itu atas insiden ini sehingga berpikir Kalila akan menjauh. Namun, apa pun yang terjadi, Kalila akan tetap menjauh. Dipandanginya jam dinding kamar itu. Sudah jam tiga subuh. Hanya menghitung jam lagi dia akan pergi.

"Tadinya gue mikir, mungkin kita akhiri aja. Gue enggak pengin hancurin keharmonisan keluarga." Jiro menatap Kalila dengan matanya yang memerah. "Tapi, hal ini terjadi. Gue enggak akan ninggalin lo. Gue enggak akan akhiri hubungan kita. Gue akan tanggung jawab dan nerima risiko apa pun itu."

Kalila menggigit bibir. Ingin menangis, tetapi dia tahan air matanya agar tidak jatuh sedikit pun.

"Please, jangan tinggalin gue, Kalila," kata Jiro sembari menyentuhkan punggung tangan Kalila di keningnya. "Gue juga akan selalu ada di sisi lo. Gue akan tanggung jawab, apa pun yang terjadi ke depannya."

"Gue enggak akan ninggalin lo, Kak." Kalila tersenyum sambil menangis. Dia telah berbohong. "Semua sudah terjadi." Kalila menggenggam kedua tangan Jiro dengan erat. "Tapi, gue minta satu hal ke Kak Jiro."

"Apa...?"

"Apa pun yang terjadi nanti, tolong Kak Jiro terima, ya?" Kalila memeluk Jiro sambil mengusap punggung cowok itu. "Kak Jiro pokoknya harus janji."

Setelah itu, Jiro kembali berbaring di sampingnya dan memeluknya dengan penuh rasa bersalah. Jiro tak kunjung menutup mata. Hanya ada penyesalan dan rasa bersalah di sorot matanya itu. Kalila awalnya tak bisa tidur karena kepergiannya hanya menghitung jam lagi. Namun, pelukan hangat Jiro membuatnya bisa lebih tenang dan kembali bisa tertidur.

Dia terbangun pukul lima pagi di dalam pelukan Jiro yang begitu erat. Jiro seolah tak ingin melepaskannya. Ketika Kalila menjauh dari Jiro, cowok itu tak bergerak banyak. Dia terlalu nyenyak. Pasti Jiro kekurangan tidur hingga membuat cowok itu seperti ini.

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang