21

9K 566 18
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

21

Semalam, Arvin tidak membalas pesannya.

Emily selalu merasa lebih cantik dari Kalila, tetapi setiap kali Emily bertanya pada orang lain, lebih cantik dirinya atau Kalila, mereka akan membalas dengan jawaban yang sama.

Kalila.

Salah satu alasan mengapa Emily membenci Kalila meskipun mendekati cewek itu adalah karena semua orang berfokus pada Kalila, bukan dirinya. Namun, sialnya, hanya Kalila yang ingin berteman dengannya.

Beberapa teman SMP Emily juga bersekolah di sekolah ini dan fakta bahwa Emily pernah memiliki masalah merebut pacar sahabat kembali tersebar di sekolah ini. Tak ada satu pun cewek yang ingin berteman dengannya. Emily tak sudi jika harus mencari teman dengan wajah di bawah rata-rata sehingga membuatnya datang pada Kalila yang tak peduli apa pun tentang masa lalunya.

Emily tidak pernah mengeluarkan usaha yang sedikit untuk mendapatkan apa yang dia mau sehingga dia datang ke sekolah menggunakan kemeja sekolahnya saat masih kelas sepuluh. Kemeja putih itu membentuk tubuh idealnya. Dadanya menjadi perhatian beberapa cowok bahkan Arvin beberapa kali salah fokus pada tubuh bagian depannya.

Emily baru sadar setelah melihat dengan jelas bahwa Arvin memiliki otak mesum. Setiap orang yang melihat Arvin pasti berpikir bahwa Arvin adalah cowok baik karena memiliki wajah yang terlihat baik. Kalila yang hidup seperti Tuan Putri dan tak terbiasa dengan masalah dan hak-hal aneh, pasti tak akan bisa cepat menilai Arvin adalah orang yang seperti apa.

Bukan hanya Arvin cowok yang salah fokus melihatnya, tetapi yang lain juga. Betapa mudahnya memancing cowok berotak mesum. Ah, masalahnya, Emily menyukai salah satu cowok berotak mesum itu. Emily tak peduli seperti apa otaknya. Emily hanya menyukai wajah dan bentuk tubuh Arvin yang menarik.

Emily menduga bahwa Arvin adalah seorang pemain. Cowok itu pasti tidak pernah tidak menyentuh setiap cewek yang dia pacari. Kalila adalah cewek polos dan cewek polos adalah target nomor satu dari cowok seperti Arvin.

Emily dan Arvin sejenis. Arvin pasti sudah tidak perjaka dan Emily juga sudah tidak perawan. Jadi, daripada Arvin harus bersusah payah membuat Kalila jatuh dalam perangkap cowok itu, lebih baik Emily yang lebih dulu menjerat Arvin dalam rencananya.

"Lo nggak mau makan bareng cowok lo, Lil?" Emily merapatkan tubuh depannya di lengan Kalila, membuat Kalila menyingkir geli.

"Lo kenapa, sih, gesek-gesek!" seru Kalila sambil mendorong Emily. "Seragam lo kenapa tiba-tiba ketat? Bentar lagi lo dikejar guru yang lagi piket."

"Ini kemeja gue waktu kelas sepuluh. Kemeja gue yang baru tadi ketumpahan kopinya Bokap. Nggak tahu, ya, dada gue makin gede aja," bisik Emily sambil melirik Arvin dan tersenyum kecil pada cowok itu yang ternyata sedang menatapnya juga.

Arvin memalingkan pandangan beberapa detik setelah mereka bersitatap. Cowok itu bahkan tidak segera berpaling dan membiarkan diri bertatap mata dengan Emily untuk beberapa saat.

Entah apa yang Arvin pikirkan. Pernyataan suka Emily semalam ataukah tubuh Emily yang menarik perhatiannya.

"Nih. Pakai ini!" seru Kalila sambil melemparkan sebuah hoodie berukuran XL kepada Emily. "Lo yang pakai baju ketat, malah gue yang nggak nyaman."

Emily mencium hoodie itu. "Punya Trey, ya? Nggak mau, ah!"

Kalila memutar bola mata. "Terserah, lah. Aduh laper banget. Kapan bel, sih."

Dua detik kemudian, bel waktu istirahat berbunyi. Jam kosong itu berakhir dan semua berbondong-bondong untuk keluar dari kelas. Emily menarik Kalila, membawa cewek itu mendekat pada Arvin yang baru akan keluar dari pintu kelas.

"Kalian udah pacaran berapa hari, sih? Bareng, dong, makannya. Masa enggak bareng," kata Emily, tersenyum pada Arvin. Arvin langsung memalingkan wajah tanpa ekspresinya.

"Apa, sih!" bisik Kalila sambil menarik Emily.

"Ayo bareng, Lil," ajak Arvin tiba-tiba. "Makan bareng."

"Hah?" Kalila malah cengo.

Emily langsung mendorong punggung Kalila sambil menatap Arvin yang berhenti berjalan sambil menatapnya. "Tuh, lo diajakin. Gue temenin, deh. Nggak apa-apa jadi nyamuk."

Kalila berjalan pasrah. Emily mendorong Kalila dengan cepat hingga mereka berhenti tepat di samping Arvin. Arvin yang sempat berhenti mulai berjalan bersisian dengan mereka.

Ah, lebih tepatnya bersisian dengan Emily. Karena saat ini Kalila berjalan sedikit lebih di depan Emily dan lengan Emily dan Arvin bersentuhan hingga membuat keduanya tersentak seolah baru saja tersengat listrik.

***

Beberapa saat setelah Arvin izin ke toilet, Emily juga izin ke toilet.

Emily mendekati Arvin, menggoda cowok itu di sebuah toilet siswa yang hanya ada mereka berdua di dalam sana. Emily tak menyangka Arvin langsung memeluknya dan menciumnya dengan rakus.

"Kenapa lo cium gue?" tanya Emily saat berhasil menjauhkan bibirnya dari bibir Arvin yang terus menyentuhnya.

"Apa lo sok polos sekarang?" bisik Arvin. "Lo sengaja kan goda gue dari tadi? Lo pikir gue nggak tahu cara lo yang kentara banget itu?"

Emily tersenyum. "Jadi?"

Arvin menaikan alis.

"Putusin Kalila dan pacaran sama gue. Lo bisa cium gue kapan pun lo mau."

"Lo gila?" Arvin menjauh dengan kesal dari Emily. "Gue nggak akan putus dari Kalila."

Emily mengepalkan tangannya. "Kalau gitu, pacaran juga sama gue!"

Arvin menaikkan alis. "Lo ... mau jadi selingkuhan, gitu maksudnya?"

"Iya, apa pun itu. Asalkan gue bisa jadi pacar lo."

Arvin tersenyum miring dan kembali mendekat. "Jangan tarik kata-kata lo."

***


 

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang