by sirhayani
part of zhkansas
17
"Lil, katanya lo punya ... cowok?" bisik Emily.
Kalila tersentak, lalu menoleh pada Emily yang sedang bermain ponsel saat ada guru Bahasa Indonesia yang sedang menjelaskan di depan sana. Sudah lebih dari sehari dia resmi berpacaran dengan Arvin, tetapi orang yang Kalila beritahukan hanya ketiga saudara laki-lakinya itu. Anggini saja belum Kalila beritahukan. Apalagi Emily. Kalila sudah berencana untuk memberitahukan mereka berdua, tetapi karena Kalila masih menginginkan suasana yang damai, dia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan kepada dua cewek bermulut ringan itu.
Tak mungkin Emily tahu dari Arvin. Bisa jadi pelakunya adalah Trey.
"Lo tahu dari mana?" tanya Kalila.
"Nih, di grup sekolah. Jadi..., beneran?" tanya Emily, ragu-ragu dalam bertanya.
"Yah, mau gimana lagi. Pasti Trey yang nggak bisa diem, tuh," bisik Kalila. "Rencananya gue mau ngasih tahu lo, tapi gue mau nikmatin masa-masa pacaran gue tanpa berisik."
"Cowoknya ... siapa?"
Kalila mengernyit. "Lo kenapa kayak aneh gitu, sih? Hehe. Kaget banget ya gue pacaran?"
"Ah..., nggak." Emily menegakkan punggungnya, lalu menyimpan ponsel dan mengambil pulpennya untuk menulis apa yang guru katakan di depan sana. "Cowok mana yang mau nembak cewek kayak lo?"
Kalila melirik Arvin yang duduk di bangku tak jauh darinya, lalu dia mendekat pada Emily dan berbisik. "Arvin."
"Apa...?" tanya Emily dengan suara pelan bersamaan dengan goresan pulpennya yang berhenti di atas kertas.
Kalila mengangkat alis. Bukan respons Emily seperti ini yang Kalila bayangkan. Di bayangan Kalila tadi, Emily akan berteriak heboh sambil berkata "APA?" dan guru Bahasa Indonesia akan menegurnya.
"Lo kaget banget sampai nggak bisa berkata-kata kayak gitu?" Kalila tersenyum, menahan tawanya yang hampir keluar. Emily terlihat shock. "Apa gue segitu nggak mungkinnya punya cowok?"
Emily tidak membalas perkataannya. Hanya dengkusan kecil yang Kalila terima dari cewek itu.
***
"CIEEE! PACARAN NIEEE!" seru siswa-siswi di kelas Kalila yang sedang mempersiapkan diri untuk pulang. Guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar dari kelas dan mereka mulai berani terang-terangan menggoda Kalila dan Arvin yang ketahuan pacaran. Kalila tak menyangka mereka tahu dengan cepat. Diliriknya Arvin yang diejek oleh cowok-cowok lain.
"Mereka kenapa, sih. Kayak nggak pernah lihat orang pacaran aja," bisik Emily, terdengar sewot.
"Iya, ih," balas Kalila.
"Gue duluan, ya." Emily menarik tasnya, lalu keluar dari kelas tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Kalila masih harus menunggu kelas kosong karena besok dia piket. Dia hanya duduk sambil mencoret-coret kertas bekas coretan matematikanya. Masalahnya adalah dia sepiket dengan Arvin dan pasti akan terasa aneh karena ada satu siswi lain yang satu piket dengan mereka sementara satu siswi lain sedang tidak hadir hari ini.
"KALILA!" teriak seorang siswi sekelas Kalila yang berdiri di dekat pintu. "Kita sepiket untuk besok, kan? Gue buru-buru pulang, nih. Besok aja gue ngepel pagi-pagi. Lo bagian nyapu! Kebetulan kita sepiket sama Arvin. Jadi, silakan pacaran sepuas kalian, ya!"
Kalila tak dibiarkan merespons perkataan teman sekelas Kalila itu karena dia langsung kabur begitu saja.
"Wah...." Kalila bisa mendengar suara anak di kelas ini yang menggodanya dengan Arvin.
"Buru-buru pulang gih kalian. Kosongin kelas! Ada yang mau pacaran berkedok beres-beres kelas, nih!"
Kalila berdecak menatap seorang siswa yang baru saja keluar dari kelas. "Resek banget, sih," gumam Kalila, lalu dia berdiri dan mengambil sapu. Dia akan mengacungkan sapu itu pada orang-orang yang masih menggodanya.
Kelas itu dengan cepat kosong, tak seperti biasanya. Mereka kompak iseng menggodan Kalila dan Arvin yang baru pacaran. Di tempatnya, Arvin hanya senyum-senyum menatapnya. Kalila langsung cemberut dan mengacungkan sapu yang dia pegang pada cowok itu.
"Jangan ikut-ikutan!" seru Kalila.
"Ikut-ikutan gimana? Gue kan yang pacaran sama lo."
Kalila langsung membelakangi Arvin setelah mendengar perkataan cowok itu. Dia tersipu malu sambil menyapu. "Dah, sana. Naikin bangku ke atas meja."
Arvin berdiri, lalu dia mengangkat bangkunya. Disusul bangku di samping bangkunya dan seterusnya hingga suara di kelas itu hanya ada suara dari benda-benda yang bergesekan. Sementara Kalila dan Arvin tak mengatakan apa-apa dan fokus pada pekerjaan. Kalila juga bingung harus mengatakan apa. Tak ada sesuatu hal yang bisa dia jadikan pembahasan.
Kalila ingin segera pekerjaannya selesai, lalu menghampiri Trey yang pasti menunggunya karena hari ini mereka naik angkutan umum. Trey juga sudah tahu kalau setiap pulang di hari Senin, Kalila akan membereskan kelas dulu agar tidak buru-buru saat piket besok pagi.
Tak terasa, Arvin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan dia duduk di kursi guru sambil menatap Kalila yang sebentar lagi selesai menyapu. Arvin sudah sering melakukan hal itu, tetapi sekarang Kalila merasakan atmosfer yang berbeda karena hubungan mereka yang sudah tidak sama dengan sebelumnya.
"Lo deket sama Trey, ya?"
Kalila baru saja menyimpan sapu dan menoleh saat mendapatkan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas dari Arvin. "Iya. Kan adik gue."
Arvin tertawa kecil. "Jadi, yang adik siapa, sih? Trey juga bilang lo adiknya."
"Dia yang adik!" seru Kalila. "Dia aja nggak mau terima kalau dia yang paling kecil di rumah."
Arvin lalu berdiri dan tiba-tiba saja menutup pintu, membuat jantung Kalila jadi berdegup kencang dan degupan kali ini berbeda dari sebelumnya. Ada sedikir rasa takut. Cowok itu mendekat pada Kalila yang sedang mengambil tas di meja.
Apa? Kenapa Arvin menutup pintu kelas dan hanya mereka berdua di sini? Kalila panik dan tak bisa bergerak.
Arvin berhenti dua langkah dari posisi Kalila dan bersandar di sebuah meja, lalu menatap Kalila yang masih panik. "Tadi Trey ketemu sama gue."
"Apa?" Dengan cepat, kekhawatiran Kalila berpindah ke hal lain. "Terus dia bilang apa?"
"Ya, gitu.... Dia nyuruh gue putusin lo."
Kalila mengepalkan tangan. "Ck, tuh anak udah gue duga pasti cari gara-gara."
Arvin terkekeh pelan. "Lo marah sama dia?"
"Iya, lah!"
"Apa lo nggak mau putus sama gue?"
Kalila langsung gelagapan. "Hei, ehm... ya...." Dia jadi bingung karena tak bisa mengatakan bahwa dia sejujurnya merasa nyaman dengan hubungannya yang sekarang dengan Arvin. "Nggak ada pikiran dulu....."
Arvin mendekat dan memperpendek jarak di antara dia dan Kalila. Kalila terpojok di antara dua meja yang berdekatan dan punggungnya menghantam dinding.
"Nga—pain lo, Vin?" bisik Kalila dengan suara gemetar. Seluruh tubuhnya jadi kaku saat Arvin tiba-tiba memegang pipinya dan mengusap bibirnya pelan.
"Boleh?" tanya Arvin, berbisik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang dan Waktu
Novela JuvenilSELESAI ✔️ Dalam keluarga besar itu pun tahu bahwa Kalila hanyalah anak angkat yang ditemukan di depan rumah saat anak laki-laki terakhir sepasang suami istri terlahir ke dunia. Namun, Kalila justru yang paling disayang, baik oleh kedua orang tuanya...