11

11.4K 837 14
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

11

"Lo kebiasaan!" Kalila geleng-geleng. Dia sudah tahu kebiasaan Emily yang selalu tak sadar melakukan sesuatu jika sedang melamun. Dikeluarkannya gelang itu dari pergelangan tangannya, lalu dia berikan kembali pada Emily. "Nih. Gue duluan, ya. Kak Jiro pasti bosen banget nungguin gue di parkiran."

Emily langsung menarik tangannya. "Samaan yuk, ke gerbang."

"Makasih, loh, ya," kata Kalila pada Arvin sambil melambaikan tangan pada cowok itu dan berusaha menahan langkah ketika Emily menariknya paksa untuk segera pergi.

Arvin mengangguk dan ikut melambaikan tangan padanya. "Bye...."

Ketika Kalila berbelok ke koridor lain, dia terkejut melihat Jiro sedang duduk di sebuah kursi panjang yang ada di koridor itu. "Kak? Ternyata ada di sini."

"Iya, nungguin lo." Jiro berdiri dan menarik Kalila hingga genggaman Emily di tangan Kalila terlepas. "Yuk. Emily pulang bareng sopir pribadi, kan?"

"Nebeng, dong! Gue suruh sopir putar balik aja."

"Ah, males gue bareng lo!" seru Kalila.

"Temenin dong sampai gerbang kalau gitu." Emily menatapnya sambil memohon. "Ya, ya, ya?"

Kalila memutar bola mata. "Ya udah," katanya, lalu melepaskan genggamannya dari Jiro dan menatap kakaknya itu. "Kak Jiro, aku tunggu di gerbang, ya!"

Setelah melihat Jiro mengangguk, Kalila segera berjalan menuju gerbang bersama Emily. Sekolah sudah sepi karena waktu pulang sudah sejak tadi. Hari ini Trey pulang duluan bersama sopir karena harus kembali ke sekolah untuk latihan persiapan lomba bersama tim basketnya. Trey menitipkan Kalila pada sopir Emily karena sopir pribadi harus mengantarkan Ibu ke suatu tempat setelah mengantarkan Trey pulang.

Kalila tak mungkin menyusahkan sopir Emily jika ada Jiro yang punya kendaraan pribadi. Hanya saja, entah kenapa Trey selalu marah seperti anak kecil jika Kalila berangkat atau pulang bersama Jiro. Trey belum diberikan kendaraan pribadi karena umurnya belum 17 tahun sehingga dia masih diantar sopir, naik kendaraan umum, atau terkadang bersama anggota tim basketnya yang merupakan senior di sekolah.

Ketika Adam masih SMA, beberapa kali Kalila ikut bersama Adam dan Trey tidak semarah saat Kalila bersama Jiro. Ketika Jiro sudah punya kendaraan sendiri yaitu sebuah mobil yang merupakan hadiah dari Paman dan Bibi saat Jiro berumur 17 tahun, Trey tidak pernah mau sedikit pun naik di kendaraan kakaknya itu. Padahal sudah dua tahun sejak Jiro kembali ke rumah, tetapi Trey masih saja mempertahankan tembok tinggi di antara mereka.

Mereka serumah dan Jiro punya mobil. Kalila dan Trey bisa ikut naik apalagi mereka satu sekolah, tetapi Trey tak pernah mau ikut. Ketika Kalila dengan semangat ingin berangkat bersama Jiro, Trey langsung mengambek. Entah kenapa, Kalila kasihan pada adik bongsornya itu. Dalam situasi yang sering terjadi tersebut, Kalila selalu mengalah pada Trey dan lebih memilih ikut bersama Trey daripada Jiro.

Bukan berarti rasa sayang Kalila pada Jiro jauh lebih kecil. Kalila menyayangi semua saudaranya sama rata. Hanya saja, sebagai kakak yang berbeda beberapa menit, dia akan sedikit mengalah pada Trey.

"Gue duluan, ya! Dadah!" seru Emily sambil menjauh.

Sopir Emily lebih dulu datang dibanding Jiro. Kalila melambaikan tangan pada Emily yang sudah masuk mobil. Ketika mobil itu sudah melaju, mobil hitam Jiro baru muncul. Kalila segera naik ke mobil yang dibuka Jiro dari dalam. Dia segera memakai seatbelt dan mobil pun melaju.

"Ke rumah Paman dan Bibi bentar. Mau?" ajak Jiro sambil menoleh sesaat padanya.

Kalila mengepalkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya dengan antusias. "Adwaya ada di rumah, kan?"

Jiro mengangguk. "Ada. Malah mau kangen lo."

"Beneran?"

"Iya. Dia bilang Kayiya Kayiya terus sampai Bibi cemburu," kata Jiro sambil menggoyangkan kepalanya saat menyebut Kayiya dan membuat Kalila tertawa.

Kalila lalu menceritakan kejadian hari ini di ekskul seni pada Jiro dan Jiro menjadi pendengar yang baik seperti biasanya. Cerita Kalila menjadi penolong dari kebosanan dalam perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih. Akhirnya, mobil itu memasuki sebuah perumahan elit. Jiro memasukkan mobilnya ke sebuah halaman luas milik Paman dan Bibi dan memarkirkannya di sana.

Kalila tidak langsung turun setelah dia membuka seatbelt. Dia menghadap Jiro dan menatap cowok itu tanpa mengatakan apa pun. Hanya ada senyum tertahan yang tergambar di wajah Kalila. Seolah mengerti akan sebuah kebiasaan, Jiro mendekat dan menarik Kalila ke dalam pelukan hangat cowok itu.

"Kangen pelukan Kak Jiro!" seru Kalila, menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri secara bergantian seolah dia adalah anak kecil.

"Gue kan udah ratusan kali bilang, lo bukan adik gue," bisik Jiro penuh penekanan di samping telinga Kalila.

Kalila hanya menganggap bahwa segala ucapan Jiro selama ini yang tak mau mengakuinya sebagai adik hanyalah bercandaan belaka.

"Gue. Nggak. Pernah. Anggap. Lo. Adik. Ngerti?"

"Bohong."

Jiro menghela napas panjang dan segera melepaskan pelukan mereka. Cowok itu bersandar di sandaran jok mobil. "Beneran, Kalila."

"Bohong!" seru Kalila sambil mengangkat sedikit tubuhnya agar bisa melihat ekspresi Jiro lebih dekat. "Kak Jiro nggak mungkin mau meluk gue kalau nggak anggap gue adik."

"Lo nggak ngerti? Apa perlu gue kasih paham dulu?"

Kalia mengernyit.

Tangan Jiro terulur, lalu mencubit pipi Kalila. "Itu artinya gue meluk lo bukan sebagai kakak laki-laki, tapi sebagai laki-laki. Paham sampai sini, Kalila?"

***


 

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang