🦥 | 02. MEL ATAU CACA

718 76 2
                                    

"Fakta pahit juga perlu didengar dan diterima. Jangan menutup mata dan telinga hanya karena sebuah luka. Jika tidak, maka hanya penyesalan lah yang akan didapat."

~ Arga Mahendra Aditama ~



Instagram : vi_borneogirl
Tiktok : vi_borneogirl
Twitter : vi_borneogirl

Instagram : vi_borneogirlTiktok : vi_borneogirlTwitter : vi_borneogirl

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa vote!
Ramein komennya juga.

Jangan kebiasaan siders!

• • • • •

Menjadi seorang CEO di perusahaan besar bukanlah hal yang mudah. Jangankan waktu bersantai, waktu istirahat pun kerap kali dikorbankan. Apalagi Arga menjadi CEO di dua perusahaan sekaligus. Awalnya Arga pikir semua itu hanya sementara, tapi ternyata papanya malah menunjuknya sebagai pengurus tetap di perusahaan itu.

Di perusahaan peninggalan almarhumah neneknya, Arga menutup lembar berkas terakhir yang ia periksa hari itu. Kepalanya menoleh ke arah dinding yang terbuat dari kaca. Pemandangan langit malam, dihiasi gemerlap lampu dari berbagai penjuru di setiap bangunan pun langsung menyapanya.

Masih dengan posisi duduk di kursi kebesarannya, Arga menghela nafas berat sembari menyandarkan tubuhnya sedikit miring, sebelah tangannya memijat pangkal hidung saat rasa pusing mulai menyerang.

Drrrtt.. Drrrtt..

Getar ponsel di atas meja menarik perhatiannya. Arga menegakkan tubuhnya secara spontan, saat melihat sebuah panggilan masuk dari pihak rumah sakit jiwa.

"Hallo, Mas Arga. Maaf mengganggu, dari tadi Mel ngamuk, sampai semua perawat yang berusaha mendekatinya dilempari batu."

Arga kembali memijat pangkal hidungnya, saat mendengar penuturan dari seorang Perempuan di seberang sana, tanpa mengalihkan ponselnya dari telinga. Akibat terlalu sibuk mengurus berkas-berkas penting perusahaan, Arga jadi tidak ada waktu mengunjungi Mel. Padahal Arga sudah berjanji untuk datang, dan mungkin itulah yang membuat Mel mengamuk.

"Ya sudah, saya ke sana sekarang. Tolong awasi dia dulu," sahut Arga.

"Baik Mas."

Arga segera beranjak dari duduknya, sembari menyimpan ponsel di dalam saku di balik jas yang melekat di tubuhnya. Memasuki lift untuk beberapa waktu, lalu kembali mengayunkan kakinya melangkah lebar, keluar dari kantornya.

Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu mobil, ponselnya kembali bergetar. Keningnya mengernyit saat melihat panggilan dari Pak Adi.

Saat Arga baru membuka mulutnya ingin bertanya kenapa, di seberang sana Pak Adi sudah lebih dulu bertanya, "Caca lagi sama kamu?"

Hidden Wound : People with Mental DisordersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang