Pendahuluan

251 26 16
                                    

Bukan cinta yang salah karena telah hadir di hati, bukan hati yang salah karena telah memilihnya, dan bukan dia yang salah karena tidak memilihmu. Hanya saja dirimu yang tidak bisa mengendalikan rasa.

Seperti awan yang menumpahkan hujan, mata pun memiliki rasa yang sama saat melihatnya dekat dengan yang lain. Yang disesalkan, mengapa rasa itu hadir di waktu yang tidak seharusnya dia hadir. Dan sekarang, tinggallah kesedihan karena harus menghilangkan rasa.


Mulai sekarang, dan beberapa hari kedepan aku akan membagikan cerita tentang rasa.

Banyak rasa yang akan tertulis. Sedih, senang, kecewa, bingung, takut, dan banyak yang lain.


Ini ceritaku. Aku memutuskan untuk menuliskannya disini. Kata orang, berbagi cerita adalah hal yang bagus untuk melegakan hati. Cerita akan berfokus padaku dan Nisa. Aku tidak akan menceritakannya dari awal, karena itu akan terlampau panjang dan mungkin akan membosankan. Secara singkat, Inilah diriku :

Namaku Awan, seorang siswa kelas 11 di SMK swasta di salah satu kota di bagian selatan pulau jawa. "Setiap pertemuan akan berakhir pada perpisahan. Semua yang memutuskan untuk bertemu, harus bersiap untuk berpisah. Itu risikonya." Aku dengan sadar memahami itu, dan dengan yakin mempercayainya. Tapi rasa tak sesederhana itu.

Menurut rasa, jika sudah bertemu, dan nyaman atas pertemuan itu, maka lakukan hal apapun agar tidak mendekati perpisahan. Ya, rasa memang tak akan pernah akur jika disandingkan dengan logika. Bahkan sesuatu yang 'pasti terjadi' pun akan sekuat tenaga dipaksakan untuk tidak terjadi.

Dan rasa itu secara tidak sengaja bertengger padaku. Ceritaku akan diwarnai oleh ketegangan antara keinginan dan kenyataan, antara hatiku yang terpaut pada seseorang dan akal ku yang mencoba meredakan. Ketika rasa mengambil alih, rasionalitas ku sering kali menjadi korban pertama. Aku merasa terperangkap di antara keterikatan pada persahabatan dan keinginanku untuk mengekspresikan perasaan.

Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri, "Kitakan sahabat, jadi gabole baper yaa." Ucapku dengan sombong saat itu di chatting wa. Aku dengan berani menulisnya karena sudah beberapa kali aku dekat dengan wanita. Hanya dekat, untuk teman chatting dan jalan jalan, tapi semuanya tidak pernah memunculkan rasa. Dan pada akhirnya, sang wanita mengungkapkan rasa, dan aku memilih menjauh daripada menyakitinya lebih dalam.

Aku yakin di antara kalian sudah ada yang mengataiku. "Sukuriiinn!! Azab tuu!! Dasar Buaya!! Sok ganteng Luuu!!" Semua seolah olah terdengar di telinga. Tapi, siapa diantara kalian yang bisa dan mampu mengendalikan rasa? Terlebih rasa sayang, cinta, dan kasih.

Aku mencintai Nisa. Berulang kali mencoba menepis setiap isyarat rasa yang tumbuh di benakku. Namun, saat rasa itu menemukan celah, seperti akar yang menembus batu, aku merasa seperti terhempas. Manusia bisa mengontrol ketakutannya. Beberapa bisa mengendalikan emosi, tapi tidak ada yang bisa mengendalikan cinta. Aku mencintainya bukan karena aku ingin, tapi karena hatiku memilihnya.

Seperti yang kukatakan, aku menyadari bahwa bertemu akan selalu berujung pada perpisahan. Namun, semua prinsip itu terasa seperti kiasan belaka. Rasa yang kian tumbuh membuatku merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ada getaran yang berdenyut dalam dadaku, memaksa hati untuk merangkul perasaan yang semakin sulit dikendalikan.


Aku sering mengingat kata-kata bijak yang mengatakan bahwa cinta tidak bisa dikendalikan. Aku merasakan kebenaran kata-kata itu. Karena bagaimanapun juga, cinta bukanlah pilihan, melainkan sebuah keputusan yang diambil oleh hati yang telah terpaut pada sesuatu yang jauh di luar kendali manusia.

Aku belajar dengan keras bahwa memilih untuk menahan atau mengungkapkan perasaan adalah tindakan yang sama-sama penuh konsekuensi. Setiap pilihan membawa beban yang berat, baik itu untuk mempertahankan persahabatan atau untuk mencari jalan menuju kebahagiaan yang baru.

Di balik pertarungan batin, aku menyadari bahwa aku tidak bisa menolak perasaanku, karena cinta bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh nalar semata. Kehadiran Nisa telah mengubah landasan hidupku, membuka jendela menuju dunia yang semakin rumit dan kurasa mungkin dunia ini menakjubkan.

Saat aku melangkah maju, aku mengerti bahwa menaklukkan perasaan adalah sebuah perjalanan yang penuh liku, dengan kebahagiaan dan penderitaan sebagai dua sisi yang tak terpisahkan. Dan dengan keberanian, aku memilih untuk membiarkan hatiku membimbingku, memungkinkan rasa itu tumbuh dalam bentuk yang tak terduga, seiring dengan perjalanan hidupku yang semakin matang.

Setiap kali aku berhadapan dengan Nisa, getaran emosi dalam diriku tidak pernah reda. Ada kehangatan yang tak terungkapkan dalam tatapannya, ada kebahagiaan yang tiba-tiba hadir dalam senyumannya, sesuatu yang membuatku merasa hidup, tetapi sekaligus takut akan konsekuensinya.

Kami sering tertawa bersama, berbagi cerita, dan menghabiskan waktu dengan riang. Namun, di balik senyum itu, ada kecemasan yang melingkupi diriku, ketakutan akan perubahan yang bisa saja mengoyak hubungan kami.

Aku berulang kali berpikir untuk mengungkapkan rasa. Tapi setiap ingin di ungkapkan, seakan dunia berhenti sejenak. Aku terdiam, tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Rasanya hatiku terjepit di antara rasa hormat pada persahabatan kami yang telah lama terjalin dan keinginan untuk menjelaskan perasaan yang semakin lama seolah masuk semakin dalam.

Di satu sisi aku ingin dia tahu betapa berartinya dia bagiku, betapa setiap detik bersamanya terasa seperti kenangan yang seolah tak mungkin terlupakan.

Di sisi lain aku tidak ingin kehilangan kehangatan persahabatan yang telah kami bangun selama ini. Aku tak ingin ada kehancuran yang mengiringi ekspresi perasaanku. Bagiku, mempertahankan hubungan yang baik adalah prioritas, walaupun terkadang itu berarti menahan rasa yang tumbuh begitu kuat di dalam diriku.

Dalam kesendirian malam, aku sering merenung, membiarkan hatiku terbawa arus kenangan bersama Nisa. Aku terus berusaha mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan kebingunganku. Sering kali, aku terpaku pada satu pertanyaan "apakah keberanian untuk mengungkapkan perasaan akan menghancurkan apa yang telah kami bangun?"

Namun, di balik ketidakpastian itu, aku menyadari bahwa rasa telah membuka jendela ke dalam kedalaman jiwa yang sebelumnya tersembunyi. Aku mulai memahami bahwa cinta bukan hanya tentang keinginan, tetapi juga tentang komitmen untuk memahami, mendukung, dan tumbuh bersama.

Aku belajar bahwa mencintai seseorang tidak hanya tentang merasakan kebahagiaan, tetapi juga tentang menanggung rasa sakit, kesulitan, dan ketidakpastian.

Saat aku melangkah maju, aku menerima bahwa perasaan ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terduga. Aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku bersedia membiarkan hatiku membimbingku, dengan harapan bahwa kebenaran akan menemukan jalan keluar, entah itu dalam bentuk kebahagiaan atau pembelajaran yang mendalam.

Cinta adalah petualangan yang membingungkan, namun juga penuh dengan keajaiban yang tak terduga. Yang jelas, aku akan tetap mencintainya.


Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang