11

28 15 24
                                    

Setelah sembuh dari penyakit yang membuatku absen selama dua hari dari sekolah, hari ini aku akhirnya bisa kembali. Aku merasa dadaku berdebar, mengingat bahwa aku belum memberi tahu Nisa bahwa aku akan kembali ke sekolah hari ini. Aku ingin melihat wajahnya yang terkejut saat tiba-tiba muncul di teras rumahnya. Entah mengapa, pikiran itu membuatku tersenyum sendiri.

Sedangkan absen selama dua hari bukanlah hal yang seharusnya terlalu dikhawatirkan, namun tanpa disadari, rindu itu datang menghampiri. Seperti yang orang-orang bucin katakan, rindu memang berat.

Aku mencoba untuk menenangkan diri sendiri dengan berhenti sejenak di gang depan rumahnya. Meski tidak terlalu dekat, dari sana aku masih bisa melihatnya. Aku melihat Theo berdiri di teras, menunggunya dengan sabar, dan kemudian Nisa muncul, lalu mereka berdua berangkat dengan sepeda motor.

Napas ini tiba-tiba terasa begitu berat, dan tanganku secara refleks meremas erat. Aku merasa kesulitan menggambarkan apa yang ada dalam hatiku saat itu. Detak jantungku berpacu begitu cepat sehingga rasanya sedikit sakit. Mataku mulai terasa perih, seolah-olah ingin menangis, tapi air mata itu tak kunjung keluar.

Aku memutuskan untuk berbalik arah dan kembali ke rumah. Begitu masuk ke kamar, tanpa berpikir panjang, aku memukul tembok sekuat tenaga. Aku berharap bahwa rasa sakit di dadaku akan pindah dan tersebar ke tangan. Hari ini, kesedihan itu begitu nyata, lebih nyata daripada kemarin.

Aku tetap di kamar sampai matahari terbenam pelan di ufuk barat, meninggalkan langit berwarna oranye keemasan yang perlahan-lahan bertransformasi menjadi gelap. Hari ini, suasana hatiku terasa cukup terguncang.

Dekat tanpa adanya ikatan nyatanya bisa menjadi sumber sakit yang begitu mendalam. Perasaan tanpa ikatan membuat jarak di antara kami semakin melebar, seperti retakan yang semakin membesar di dinding yang rapuh.

Aku merenung dalam kehampaan yang mendalam, bertanya-tanya apa yang salah dengan diriku. Apakah aku kurang baik? Apakah perhatian yang kuberikan tidak cukup? Apakah aku terlalu pendiam, terlalu canggung, ataukah hanya sekadar tak layak?

Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi hantu yang tak kunjung meninggalkan pikiran, merusak kepercayaan diri yang telah lama aku bangun.

Setiap kali mengingat saat melihat mereka berdua berbonceng bersama, rasa sakit itu semakin terasa. Aku mencoba menutup mata dari pemandangan itu, berharap bahwa semuanya hanyalah ilusi yang akan hilang begitu saja. Namun, rasa sakit itu terus bertahan, menampar wajahku dengan kekejaman yang tak terperi.

Malam semakin larut namun mata tak bisa memejamkan kelopaknya. Rasa sesak, sakit, dan kecewa seakan memainkan simfoni kesepian di dalam dada. Aku merasakannya, perasaan yang tak terungkapkan, terhimpun dalam senyapnya kegelapan. Seperti kabut tipis yang menyelimuti gunung tinggi, air mata perlahan hadir tanpa disadari, mengikat hati dalam belenggu yang tak terlihat.

Aku tahu dia tak pernah tahu, bahwa ada hati yang memanggil namanya malam ini. Dia tak pernah tahu, bahwa ada mata yang terus memandangnya dengan rasa kagum. Dia tak pernah tahu, bahwa ada seseorang di dunia ini yang rela menjadikan dia pusat dari segala rindu dan perasaan yang tak terungkapkan.

Aku berusaha menutup mata dari kenyataan yang tak terelakkan. Aku mencoba membisu terhadap angin yang membawa kabar buruk, tapi hati ini tahu, hati ini merasakan.

Rasa sakit itu tumbuh dalam gelapnya keheningan, mengepung dan merangkul, mengisi setiap sudut ruang jiwa.
Aku merasakannya, rasa pedih yang menghunjam dalam-dalam, menyusup ke setiap serat hatiku. Saat aku terbaring sendiri, dikelilingi oleh kehampaan yang tak terucapkan, pikiranku menerka-nerka, mungkin orang yang aku cintai, lebih mencintai orang lain.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang