"Maaf, Wan. Aku belum bisa nerima siapapun sekarang," ucapnya sambil menarik pelan tangannya dari genggamanku.
Matanya menatapku lembut, "Kita udah sahabatan lama. Lima tahun, kan? Kata orang, ngga mungkin cewek sama cowok sahabatan tanpa melibatkan perasaan. Aku juga nyaman sama kamu sebenarnya. Tapi, saat ini hatiku masih samar-samar menyebut nama orang lain. Tidak elok, kan? Jika kita menjalin hubungan, tapi hatiku masih seperti ini?" lanjutnya.
Aku hanya bisa terdiam, kata-kata tercekat di tenggorokanku. Bahkan saat aku ingin memandangnya, rasanya ada yang mengalahkan keinginan itu.
"Aku ga akan menjauh, kok. Dan kamu juga ga boleh menjauh. Nanti, jika hatiku sudah berhasil melupakan namanya, mungkin dia akan menyebut namamu. Aku nyaman, tapi saatnya bukan sekarang. Maaf," kata Nisa.
"Iya, gapapa." Jawabku seraya menunduk, memandang taman dengan hati yang berkecamuk.
"Besok ke sekolah bareng, kan?" tambahku, sambil menoleh memandangnya. Melihatnya mengangguk pelan, aku sedikit tersenyum. Semoga dia benar-benar tidak akan kembali menjauh.
Rintik gerimis menyapa, memaksa kami untuk segera menuju motor yang terparkir di tepi taman, dan beranjak untuk pulang. Ternyata mengungkapkan rasa bisa selega ini. Kenapa aku dulu harus takut? Toh katanya dia juga tidak ingin menjauh. Bahkan mungkin, jika aku mengatakannya lebih dulu daripada Theo, dia mungkin akan menjawab 'Iya'.
***
Pikiranku terus menghantui tentang bagaimana semuanya bisa berbeda jika aku memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku sejak dulu. Ada rasa penyesalan, seperti menyesali kenapa aku ragu-ragu.
Waktu itu, aku terlalu takut ditolak atau membuat segalanya menjadi canggung. Saat aku akhirnya mengungkapkan perasaan, jawabannya mungkin saja berbeda jika aku mengatakannya lebih awal. Mungkin saja aku telah mengubah arah cerita ini jika aku tidak begitu terjebak dalam pikiran 'bagaimana jika' yang menghantui setiap langkahku.
Rasanya getir, mengetahui bahwa aku bisa saja menghindari rasa penyesalan ini. Meski aku mencoba tidak terlalu menyalahkan diri sendiri, tetapi sulit untuk tidak merenungkan betapa segalanya bisa berbeda jika aku tidak terlalu berhati-hati.
Ini adalah pelajaran berharga bahwa terkadang kita harus lebih berani dalam menghadapi perasaan. Rasa takut dan keragu-raguan mungkin saja menghambat kita untuk meraih kebahagiaan. Sederhana, tapi rumit dalam dampaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...