7

47 29 58
                                    

Kemarin, sebenarnya ada banyak hal yang di ceritakan oleh Nisa. Salah satu yang tidak aku ceritakan di bab sebelumnya adalah saat dadaku sesak mendengar cerita dari Nisa. Aku tahu Nisa membutuhkan seseorang yang mendengarkan, meski saat itu aku sendiri berjuang menahan emosi yang meluap-luap.

"Wan, kamu tau Theo? Sumpah dia keren banget," katanya dengan wajah berbinar. Aku mencoba tersenyum, tapi dadaku tiba-tiba terasa sesak. Deegggg. Mungkin ini yang banyak orang sebut sebagai kecemburuan, entahlah.

"Hahahahha... kamu suka Theo?!!" tanyaku dengan nada riang, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang merayap, seolah-olah aku bisa menutupi kesedihan itu dengan candaan pura-pura.

"Gatau... hehehe," jawab Nisa sambil menyenggolku pelan dengan bahunya. Setiap sentuhan itu seakan menusuk, bahkan aku tak tau apakah ini rasa senang karena dekat dengannya atau rasa kecewa karenanya. Aku berusaha menahan semua rasa yang bergejolak, berusaha mempertahankan kedewasaanku di hadapannya.

Nyesek banget. Benar-benar nyesek. Aku hampir kehilangan kendali atas emosiku, tapi aku menahan air mata yang hampir menetes. Sesekali aku memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang tak tertahankan. Aku mengusap mata dengan cepat, berharap dia tidak melihat betapa rapuhnya aku saat itu.

"Hayoo... ngakuu... kaya ke siapa aja," godaku berusaha mencari sedikit kepastian.

"Kalo aku suka sama Theo, kamu setuju ga?" tanya Nisa kepadaku dengan suara pelan. Aku merasakan dadaku berdebar kencang, tapi aku harus tetap tegar di depannya.

"Gapapa sii... yang penting kamunya seneng aja," jawabku dengan kehampaan yang mendalam. Aku berusaha tersenyum, berusaha membuatnya bahagia, meski hatiku sendiri hancur berkeping-keping di dalam.

Tapi di balik senyuman palsuku, aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar bodoh? Membiarkan perasaan itu tumbuh begitu dalam, hanya untuk menyaksikan cinta itu bersemi di tempat yang salah.

***

Aku merasa seperti seorang pengecut yang tidak mampu hanya untuk sekedar mengungkapkan perasaan. Dibalik senyuman dan kebahagiaan yang di suguhkan, cinta terkadang memang memilih untuk menyakiti, terutama saat melihat orang yang kita cintai bercerita bahwa dia mencintai orang lain.

Kebodohanku mungkin terlihat nyata bagi orang lain. Aku mencintai seseorang yang telah lama menempati benakku, seorang yang entah bagaimana berhasil menyelinap masuk pada pintu yang sudah aku kunci di dalam hatiku.

Namun, aku tahu, dia mencintai orang lain. Mungkin, banyak yang mengatakan bahwa aku harus melupakannya, melepaskan cinta yang hanya akan menyakitiku. Tapi aku memilih bertahan, memeluk perasaanku seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa memberi warna pada hidupku yang monoton.

Aku terus mempertanyakan kebijaksanaan dari keputusan ini. Mungkin benar, aku bodoh. Bodoh karena membiarkan diriku terjebak dalam perasaan yang mungkin tidak akan pernah terbalaskan. Bodoh karena mengizinkan hatiku tersiksa oleh perasaan yang tidak akan pernah bisa menjadi nyata. Bodoh karena terus mempertahankan perasaan yang seharusnya kututup rapat-rapat di dalam ruang paling dalam.

Tapi pada akhirnya, siapa yang bisa mengendalikan hati? Siapa yang bisa memaksa perasaan untuk lenyap begitu saja? Aku terus berjalan dalam kebodohan ini, merangkul perasaan yang mungkin hanya akan menyakiti. Namun, entah mengapa, ada kehangatan di dalamnya. Ada getaran yang memberi arti pada setiap langkah yang hendak aku ambil.

Aku terus mengingat kata-kata bijak yang mengatakan bahwa cinta sejati adalah cinta yang tulus, tanpa syarat. Mungkin inilah cintaku, cinta yang tulus, cinta yang memberi tanpa berharap balasan. Mungkin ini adalah pengorbanan yang harus kutanggung, kesetiaan yang harus kujaga, meski hanya dalam kehampaan yang tak bisa aku sangkal.

Aku merasa seperti seorang pelaut yang terdampar di lautan luas, tanpa arah yang pasti. Aku terus berpegangan pada kapal yang hanyut di tengah badai, berharap bahwa suatu hari kapal itu akan membawaku ke tempat yang aku idamkan. Meski aku tahu kemungkinannya tipis, aku tidak bisa berhenti berharap, tidak bisa berhenti memuja pada rasa yang mungkin hanya akan menghancurkan diriku sendiri.

Mungkin kebodohanku adalah penolakan terhadap kenyataan yang pahit. Aku terus menutup mataku dari fakta bahwa keinginan untuk menjalin hubungan dengannya hanyalah sebuah fantasi yang terjebak dalam dunia imajinasiku sendiri. Aku merasa seperti seorang penyair yang terus menulis puisi tentang cinta yang tak terbalas, mencurahkan setiap perasaannya tanpa peduli apakah akan ada yang mendengarnya.

Namun, di balik kebodohanku, ada keberanian yang muncul. Keberanian untuk menghadapi perasaan yang tidak bisa aku pungkiri. Keberanian untuk membiarkan hatiku terbuka, meski itu berarti aku harus melalui luka yang teramat dalam. Mungkin, inilah arti sebenarnya dari kebodohanku. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan terus mempertahankan perasaanku, setidaknya aku akan bisa terus dekat dengannya, semoga.

Dan mungkin, suatu hari nanti, rasa akan menemukan jalannya sendiri. Mungkin suatu saat, kebodohanku akan berbuah manis, dan aku akan menemukan lampu penerang di ujung jalan gelap yang dengan perlahan menampakkan cahayanya. Mungkin, agar rasa dapat bertumbuh dengan pasti, memang harus melalui ujian dan rintangan yang sulit, agar pada akhirnya kita bisa menghargainya lebih dalam lagi.

setidaknya aku masih bisa merasakan kehangatan dari kehadirannya. Meski cintanya untuk orang lain sudah tergambar, tapi setidaknya aku masih bisa mendengar tawanya, masih bisa melihat senyumnya, masih bisa memandang tatap dan parasnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memiliki hatinya sepenuhnya, tapi setidaknya aku masih bisa merasakan getaran kebahagiaan dalam kebersamaan.

Aku mencoba menemukan kedamaian di antara kekacauan perasaan. Aku mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa kebahagiaannya adalah yang terpenting. setidaknya aku masih bisa berbicara dengannya, masih bisa merasakan kehangatan dari setiap kalimat yang terucap dari bibirnya.

Meski aku tahu bahwa tempatku dalam hatinya takkan pernah bisa menggantikan sosok yang dia katakan 'keren' itu, tapi setidaknya aku masih bisa melihatnya, masih bisa mengagumi kebaikan dan kelembutannya dari jarak dekat. Setidaknya aku masih bisa berbagi momen-momen indah dengan kehadirannya yang menenangkan.

Setidaknya, aku masih bisa mendengar berbagai ceritanya dengan tenang, setidaknya masih bisa merasakan kedekatan dalam setiap sentuhan hangatnya, setidaknya aku masih bisa merasakan getaran kasih sayang yang tulus dari setiap tatapannya yang lembut.

Setidaknya aku masih bisa mencintainya dengan tulus dalam setiap doa yang terucap dari bibirku. setidaknya aku masih bisa menghargai keindahan dan kehangatan yang dia bawa ke dalam hidupku.

Setidaknya untuk saat ini.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang