Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benak, menuntut perhatian yang tak terkendali. Rasa ternyata bisa semembingungkan ini, merayap dalam setiap serpihan ingatan.
Aku belum berkomunikasi dengan Nisa sejak kemarin. Dia pernah mengirim pesan WA, yang sayangnya terlunta-lunta tanpa tanggapan dariku. Aku bahkan pernah memblokirnya, meskipun kemudian kubuka kembali hanya untuk memeriksa status ‘terakhir dilihat’ nya.
Aku merasa lucu dengan kebodohanku sendiri. Seharusnya aku bisa melupakan semuanya, menjauh, dan meredam rasa ini dalam-dalam. Namun, semua itu terlalu rumit untuk dilakukan.
Bahkan aku berharap bisa menyampaikan perasaanku, entah melalui pesan jika tidak bisa lewat bicara langsung. Namun, semua itu hanya rencana, sekadar angan-angan belaka. Pikiranku terus meneriakkan “begini seharusnya, begitu seharusnya”, tetapi hatiku tampaknya terlalu polos untuk mengerti.
Sudah dua hari sejak terakhir kali aku melihat Nisa. Besok, aku bertekad untuk menghubunginya. Hanya sekadar untuk meluapkan isi hati, walau tak tahu apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba saja, malam itu terasa begitu sunyi. Hanya lampu tidur kecil di sudut kamarku yang aku hidupkan dan menerangi kehampaan yang semakin dalam.
Aku duduk di ujung tempat tidur, membiarkan pikiran-pikiranku melayang ke masa-masa yang kini terasa begitu jauh. Masa di mana semuanya terasa lebih sederhana, sebelum rasa mengacaukan semuanya menjadi labirin rumit yang tak kunjung berujung.
Aku memandang jauh ke luar jendela, membiarkan gerimis di luar memenuhi keheningan ruangan.
Rasanya, aku harus mengungkapkan semuanya. Mungkin, dengan menumpahkan isi hati ini, aku bisa merasa sedikit lebih baik. Aku merasa perlu membagikan beban ini dengan seseorang, bahkan jika hanya dengan kertas dan pena. Jadi, mari kita berbicara, mari kita saling mengerti dalam kisah yang penuh kebingungan. Walaupun kelak, entah ada yang membaca tulisan ini atau tidak, aku hanya ingin menumpahkan semuanya.
Aku tahu, seharusnya aku bisa melupakan semuanya. Seharusnya aku bisa menutup hati ini, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi kenyataannya, semuanya terasa lebih sulit daripada yang aku bayangkan. Bagaimana bisa aku melupakan orang yang membuat hatiku berdegup kencang setiap kali bertemu dengannya?
Pikiran terus berkecamuk di dalam benak, seperti pertarungan antara logika dan perasaan. Logika berkata, aku harus menjauh. Aku harus mengakhiri segala harapan yang tak masuk akal ini. Aku harus mengakui bahwa ada batas antara aku dan Nisa, bahwa rasa yang terukir hanya akan menjadi ilusi di antara dunia nyata yang menunjukkan keberadaan Theo dengan segala kelebihannya.
Namun, rasa menolak untuk pergi. Rasa terus berusaha merayap, meronta, dan menolak untuk mati. Aku terjebak dalam dilema yang menyiksa, antara mengikuti logika yang mendorongku untuk mundur, atau mengikuti hati yang terus memanggil namanya.
Aku ingin sekali memperjuangkan rasa. Aku ingin sekali berani mengatakan padanya betapa besar perasaanku. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa mengungkapkan semuanya tanpa menimbulkan kekacauan di antara kami? Bagaimana aku bisa membuatnya mengerti bahwa rasa yang telah tumbuh bukan sekadar bayangan yang ku ciptakan dalam angan, tapi juga sesuatu yang nyata dan tulus?
Aku memegang ponselku dengan gemetar. Ingin rasanya aku menulis segala perasaanku di pesan WA yang akan langsung terkirim ke Nisa. Namun, aku terlalu takut. Takut akan penolakan. Takut akan kehancuran hubungan yang telah aku bangun selama ini. Aku menatap layar ponsel dengan kebingungan yang semakin dalam, tak tahu harus berbuat apa.
Malam semakin larut. Gerimis di luar semakin keras. Aku masih duduk di tempat tidur, membiarkan keheningan menghampiri ruangan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, ketika aku memutuskan untuk menghubunginya.
Aku hanya berharap, apapun yang terjadi, aku bisa menemukan kelegaan di antara semua kekacauan yang telah tercipta. Aku hanya berharap, ada sinar di ujung lorong yang kelam ini, bahwa akhirnya semua akan baik-baik saja.
Terima kasih. Terima kasih kepada pena dan kertas yang bersedia menjadi tempat untukku menggoreskan rasa. Terima kasih, kepada pembaca telah mendengarkan cerita yang aku bagi. Terima kasih karena telah memberikan perhatian pada setiap keluh kesah yang aku sampaikan. Meski kita hanya terhubung melalui kata-kata.
Aku merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih mampu menghadapi apa pun yang akan terjadi besok. Mungkin, dengan meluapkan semua isi kepala dan hati, aku bisa menemukan jalan keluar yang tepat. Mungkin, dengan berbagi beban, aku bisa mendapatkan kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi setiap tantangan di depan.
Sekali lagi, terima kasih. Terima kasih atas kehadiranmu yang hangat, meski hanya melalui titik tinta dalam kertas. Aku berharap, di tempat lain di luar sana, kamu juga memiliki seseorang yang siap mendengarkan mu dengan sepenuh hati. Mari kita berharap, bahwa dalam kehangatan setiap percakapan, kita bisa menemukan kedamaian yang kita harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...