Aku meraba-raba di sekitar meja samping tempat tidurku, mencari kabel pengisi daya untuk ponselku yang hampir saja mati total. Sial, kenapa aku tidak bisa menaruhnya di tempat yang seharusnya? Jari-jariku terus bergerak mencari, menggeser-geser buku-buku yang tergeletak, dan terakhir kutemukan kabel itu terjepit di antara tumpukan majalah lama. Sambil menghubungkan kabel itu ke teleponku, aku tidak sengaja memandang layar ponsel yang menyala. Notifikasi WhatsApp.
“KLIIIING !!!!!” Bunyi itu membuatku langsung mengernyitkan keningku. Tidak biasanya ada pesan di tengah malam begini. Aku mengeklik layar ponselku, dan tulisan itu muncul di depan mataku.
"Selamat Ulang Tahun Awaaaannn~~" Pesan dari Nisa. Aku tersenyum. Nisa membuka blokirnya. Sial, senangnya bukan main.
"Lu kemana aja si kampreett .. wuaaaa” Balasku setelah beberapa saat hanya memandangi pesannya dan tersenyum senyum seperti orang gila.
“Mwehehehehe. Ada kesibukan akhir akhir ini. Eh wait ya jangan bales dulu. Gua mau typing agak panjang. Ada yang mau gua sampein .. heheheheh”
Nisa sedang mengetik ......
“Wan, makasih ya lu udah nemenin gua lamaa. Udah mau 5 tahunan ya kita sahabatan hehehe. Dan lu satu satunya temen yang bisa ngertiin gua sampai saat ini. Lu inget kan, gua pernah cerita kalo gua lagi deket sama Theo ?? Yang cerita di pantai. Dan sejak saat itu, hubungan gua sama Theo makin deket, dan akhirnya kita jadian. Mwehehehehe.”
Nisa sedang mengetik ....
“Gua gabisa milih antara lu atau Theo. Tapi, kayanya kita gabisa sedeket dulu. Lu faham kan ?”
Nisa sedang mengetik ...
“Btw selamat ulang tahuuunn. Doamu aminku hehe. Sleepwell Awaan”
Sesaat setelah membaca pesan Nisa, rasa cemas langsung melingkupiku. Rasanya seperti ada uap besar yang mengisi ruangan, sesak, sulit untuk bernapas. Aku merasakan getaran ponsel di tangan kananku, tetapi tidak kuhiraukan. Malam itu terasa berat, lebih berat dari yang sudah-sudah.
Dengan perlahan, aku membiarkan ponselku tergelatak di kasur. Setelah itu, aku menutup mataku dan merasakan kelembutan bantal yang menopang kepalaku. Namun, bahkan kenyamanan itu tidak mampu meredakan sesak.
***
Kenangan-kenangan itu membanjiri pikiranku, menciptakan gambaran yang indah tapi sakit. Aku teringat bagaimana kami mengobrol di malam itu, pelukan saat berbonceng, tatapan, dan semua hal. Tetapi sekarang, dengan segala pertimbangan yang mencuat dari pesan Nisa, aku merasa seperti ada jarak yang tiba-tiba terbentang begitu saja. Setelah begitu dekat ternyata tiba-tiba bisa langsung sejauh ini.
Aku membuka mataku, meraba-raba kegelapan di sekitarku. Ada keheningan yang menyakitkan di dalam kamar. Sinar lampu tidur yang redup masih memancar, menyoroti sebagian kecil ruanganku. Namun, apa pun yang terlihat oleh mataku, tidak mampu mengusir perasaan hampa yang kian merebak di dalam hatiku.
Perlahan, aku mencoba merenungkan kembali apa yang Nisa katakan. Walaupun sakit, aku membacanya sekali lagi, dua kali, tiga kali. Aku mencoba mengurai kata-katanya satu per satu, mencari arti di balik setiap frasa yang terucap. Tapi semakin aku berpikir, semakin besar kebingungan dan kegelisahan yang membayangiku. Aku tidak bisa memungkiri perasaan cemburu yang muncul dari sudut hatiku, meski aku berusaha menahannya dengan segala kekuatan yang kumiliki.Namun, satu fakta yang sulit aku hindari adalah bahwa Nisa telah memilih jalan yang berbeda.
Dia memilih orang lain di atas aku. Aku merasa tercabik di antara perasaan ingin meluapkan segala emosi yang terpendam, dan sekaligus mengikhlaskan kepergian Nisa dari hidupku. Bagai pedang bermata dua, aku terjebak dalam dilema yang semakin menggelayut di pikiran.
Aku membenamkan wajahku lebih dalam ke dalam bantal, berharap bahwa ketika aku bangun esok hari, semuanya akan berubah. Aku berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, aku tahu, saat aku membuka mata nanti, realitas itu akan tetap ada di depan mataku, menatapku tajam. Aku merasa sendiri, terasing dari dunia yang dulu aku anggap rumah yang nyaman dan hangat.
***
Rasa, ia bagai aliran sungai yang tak pernah lelah mengalir, membawa harapan dan impian, melintasi bukit dan lembah, menuju tujuan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Namun, ada saat di mana perjalanan rasa tak seindah yang diharapkan. Kadang, ia berbelok tajam, mengubah jalannya, meninggalkan kita terhanyut dalam arus yang mengacaukan hati.
Aku pernah tiba di satu titik ketika cinta datang dengan segala keindahannya, ia membawaku pada titik tertinggi kebahagiaan. Namun, pada akhirnya, pelabuhan yang dituju adalah rasa kekecewaan yang tak terduga. Ketika hati dengan bangganya telah memutuskan untuk memberi ruang untuk seseorang, tapi yang diterima bukanlah balasan yang seimbang. Seakan ada jarak yang tak terjelaskan di antara kata-kata manis yang terlontar dan kenyataan yang menyakitkan.
Aku pun masih bingung, apakah aku sedang menulis tentang cerita persahabatan atau romantisme seorang pasangan. Yang jelas, di keduanya rasa kekecewaan juga bisa hadir. Ketika kita membagi segala cerita dan kenangan, kadang kita menemukan bahwa persepsi kita tentang hubungan, tidak sejalan dengan persepsinya. Perjalanan rasa itu menjadi rumit, terjebak dalam pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Mengapa segalanya harus begitu rumit? Mengapa rasa yang kita kira begitu kuat dan tulus, ternyata tak sekuat yang kita harapkan?
Jujur, sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...