Di tepi pantai yang tenang, aku duduk bersama Nisa, membiarkan matahari perlahan terlelap di singgasananya.
Senja memancarkan warna jingganya, menciptakan lukisan alam yang tak pernah gagal menyuguhkan keindahan. Aku terpaku, terhanyut dalam keindahan semesta yang menawarkan kedamaian.
Langit senja mengajarkan banyak hal, mengajarkan tentang rela. Rela melepas keindahan, merelakan langit yang indah perlahan memudar menjadi gelap yang pekat.
Dari senja yang merangkak pergi, aku belajar tentang kesabaran. Bahwa kesabaran bukan sekadar menunggu tanpa batas, melainkan juga mengakui kepergian yang tak terhindarkan. Sabar tidak hanya tentang harapan yang bertahan, melainkan juga tentang proses memahami bahwa segalanya akan berjalan sesuai takdirnya.
Namun, langit senja tak pernah ingkar janji. Setiap kali senja menghilang, ia selalu kembali esok hari, dengan jingga yang sama indahnya.
Di antara riak ombak yang menari, aku dan Nisa membiarkan diri kami tenggelam dalam keheningan yang memeluk.
Dari senja yang memerah, aku berpaling perlahan, menatap wajah Nisa yang memancarkan kekaguman akan keindahan cahaya senja yang memainkan pantulan yang lembut di matanya. Lalu, dengan ragu, aku memutuskan untuk bertanya.
"Nis, kamu suka Theo?" Kata-kata itu menerobos kesunyian senja, meninggalkan goresan ketegangan yang semakin menggelayut di udara.
Nisa memandangku sejenak, tatapannya menyiratkan sesuatu yang tersembunyi, sebelum akhirnya ia menundukkan pandangannya, lalu kembali terpesona oleh persembahan senja di ufuk barat.
Dadaku berdesir dengan keraguan yang melanda, merasakan ketegangan yang semakin menghimpit di dada. Mataku terhenti, tak sanggup lagi menatap Nisa, seolah takut menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik raut wajahnya.
Kata-kata pun berhenti mengalir dari bibirku, terserap oleh keheningan yang semakin mengisi ruang. Aku terdampar dalam kebimbangan, tak tahu bagaimana harus melangkah di tengah keheningan senja yang semakin menyelimuti pikiran.
"Kalau harus milih antara aku sama Theo, kamu pilih siapa?" tanyaku pelan, dengan hati yang berdegup kencang, mencoba mengumpulkan keberanian di tengah keheningan senja yang semakin dalam.
Nisa memandangku dengan mata lembut, mencoba merangkai kata-kata yang tepat sebelum akhirnya menjawab
"Gatau. Kalian sama-sama berharganya. Eh, eh, pulang yuk, udah mau gelap." Jawabnya sambil bergerak perlahan ke arah motor yang terparkir.
Aku terdiam sejenak, membiarkan diri meresapi keheningan. Senja semakin merosot ke balik cakrawala, menciptakan siluet merah yang mengantarkan matahari menuju singgasananya. Aku mengikuti langkah Nisa. Bibirku tak mampu mengutarakan ucap, terpaku dalam bingung yang semakin merajai pikiran.
Di tengah perjalanan pulang, kami berdua terdiam. Tidak ada satu suara pun yang mengisi keheningan di antara kami, hanya suara mesin motor yang seolah menjadi musik pengiring ketegangan.
Nisa duduk di jok paling belakang, terdiam dalam pikirannya sendiri. Sedangkan aku, terjebak dalam lingkaran kebingungan yang semakin mencekik.
Setiap sudut jalan terlihat gelap, memperkuat suasana canggung yang semakin menguat di antara kami. Aku merasakan tekanan di dada, seolah-olah keheningan itu memperbesar kebimbangan yang kian memekat.
***
Kepada senja, terimakasih telah memberi warna indah pada langit hari ini. Walau hanya sebentar, kehadiranmu telah menghiasi pantai dengan pesona yang akan membekas di ingatan.
Terima kasih telah memberikan kesempatan untuk duduk bersama Nisa sekali lagi, menikmati momen teduh di tengah riak ombak yang menari-nari.
Terima kasih atas kehangatan yang kau ciptakan, melalui warna yang lembut dan sentuhan kelembutan yang melintas di udara.
Terima kasih atas kesempatan untuk menenangkan pikiran dan melupakan sejenak rasa sakit yang kemarin. Walaupun akhirnya sesak kembali datang.
Terima kasih atas cerita yang kau bawakan, tentang kehadiran dan kepergian, tentang cahaya dan kegelapan.
Terima kasih karena dalam keheninganmu, aku bisa duduk di samping Nisa sore ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...