32

8 1 0
                                    

Hari ini libur sekolah. Tadi pagi Nisa berpamitan untuk pergi jalan bersama Theo, dan sore ini dia mengajak ku untuk berdua menikmati senja. Rasanya agak seperti selingkuhan berkedok sahabat. Aku sebenarnya sudah menolak untuk pergi sore itu, tapi dia sedikit memaksa.

"ga apa-apa. Kita kan sahabat doang,  ga lebih," katanya.

Aku setuju, dan akhirnya, kita memutuskan untuk mendaki gunung. Wilayahku memiliki gunung dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, hanya butuh 15 menit untuk mencapai puncaknya. Senja di sana sungguh luar biasa.

Sayangnya aku tidak bisa spill alamatnya .. huhuhu :')

Aku berbonceng bersama Nisa, mendaki bersama, lalu menikmati senja sambil berbincang kecil, setelah itu pulang.

Mengingat dia mencintai orang lain di waktu yang sama, membuat momen yang seharusnya indah menjadi hambar. Memikirkan bahwa Nisa mampu dekat dengan dua laki-laki sekaligus, membuat rasaku melonggar dengan sendirinya. Sebodoh-bodohnya rasa, dia masih mengerti bahwa jangan terlalu berharap lebih dengan Nisa.

Aku menghabiskan sore ini bersamanya. Lalu sekitar jam 18:15 WIB, aku mengantarkannya pulang, lalu aku sendiri pulang ke rumahku. Banyak hal yang seharusnya spesial sudah tidak terasa spesial lagi.

Pelukan, senyum, perhatian, dan banyak yang lain. Dulu, aku menganggapnya spesial, karena kupikir itu hanya untukku saja. Tapi, saat mengerti bahwa itu juga diberikan kepada orang lain, rasanya malah sakit. Sedikit sesak, tapi tidak apa-apa, toh sudah terbiasa.

Sekitar pukul 19:30 WIB, HP ku berdering karena panggilan dari nomor baru. Aku mengangkatnya, siapa tau penting.

"Halo, siapa ya?" ucapku sambil mendekatkan HP ke telinga.

"Halo, ini awan kah? Gua Theo, pacarnya Nisa. Ngobrol bentar yok, di taman deket sekolah." Balasnya dari telfon.

"Mau ngapain?" Tanyaku.

"Lu tadi sore jalan sama Nisa kan? Gua pacarnya. Lu kesini ngobrol sama gua, ngopi. Masa ga berani?" Jawabnya.

"Oke, bentar," jawabku.

Dia mematikan telfonnya. Aku mengambil napas sejenak, memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Bagaimana kalau dia menghajarku, mengingat dia mengikuti salah satu perguruan beladiri sedangkan aku berkelahi pun belum pernah.

Tapi kehormatanku mendesak untuk tetap menerima ajakan Theo. Tadi sore aku berdua bersama kekasihnya, dan itu memang kesalahanku. Paling tidak aku ingin meminta maaf.

Aku berangkat ke taman. Disitu terlihat Theo duduk di kursi, bersama dua temannya. Pikiranku sudah kemana-mana. Jika di keroyok, mati aku.

Aku menghampirinya. Melihatku mendekat, dia berdiri, sedangkan temannya tetap duduk di kursi taman.

"Lu Awan?" tanyanya.

"Iy-" mulutku tersekat saat tiba-tiba bogeman mentah mendarat tepat di pipi kanan ku. Refleks, tanganku instan mencengkram pundak Theo yang hanya tertawa kecil.

Sejenak, langit di kepala ini berputar. Theo, dengan gerakan lincahnya, menendang dengan kaki kanan, mengarah ke perutku. Meskipun tak memiliki latihan beladiri, naluri bertahan mengambil alih. Tubuhku bergeser, menghindari pukulan yang bisa merenggut napas.

"Lu mau apa, sih?" pekikku, tapi Theo hanya tersenyum. Serangan demi serangan dia lepaskan, dan aku dengan canggung mencoba menghindar. Ada hentakan keras di perutku, membuatku terengah-engah. Dia begitu lincah, seakan tak bisa terbaca gerakannya.

Theo berkata, "Tenang aja, ini cuma main-main." Tapi wajahnya penuh semangat, seolah menantangku lebih jauh.

Pukulan demi pukulan terus menghantam tubuhku. Saat aku mencoba melancarkan serangan balik, Theo dengan mudahnya menghindar. Keringat mulai membasahi wajahku, dan aku merasa kelelahan. Belum lagi setiap serangan Theo yang terasa begitu presisi dan kuat.

"Ngomong-ngomong, lu lemah banget ya?" tanyanya sambil tertawa kecil. Aku terengah-engah.

Tanpa aba-aba, dia melancarkan serangan terakhir. Sebuah tendangan tinggi mengarah ke arah wajahku. Aku mencoba menghindar, tapi kali ini, tangan dan badanku tak cukup cepat. Terasa sakit, sangat sakit, saat kaki Theo mengenai pelipis kananku. Aku merosot ke tanah, rasa pusing dan kesakitan menyelimuti tubuhku.

Theo menggenggam rambutku, lalu mendongakkan wajahku ke atas, "Seru, kan? Lu mau Nisa? Ambil! Puas-puasin! Gua ga butuh cewe kaya dia."

Dia melepaskan rambutku, lalu memotret ku dengan HP nya, setelah itu meninggalkanku begitu saja. Dia pergi bersama teman-temannya.

Aku mencoba berdiri. Kakiku lemas, tapi masih mampu. Aku menuju ke kursi taman, mengusap pelipisku yang sedikit berdarah. Siku dan lututku juga berdarah, badanku sakit semua.

"Anjiiiing," gumamku.

Bersambung ...

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang