30

15 4 9
                                    

Pagi itu, mentari membawa kehangatan. Menyapaku yang ingin menuju pantai bersama temanku untuk merangkul keindahan alam disana. Aku berbonceng bersama temanku, yaa hidupku bukan hanya bersama Nisa, hehe

Aku ingin mencoba menyembuhkan luka hati yang terkadang terbuka kembali. Ingin melihat ombak yang mungkin akan membawa pesan-pesan yang belum terucapkan, dan memandang langit biru yang memancarkan ketenangan yang bersahaja.

Di tengah perjalanan, pandanganku tersangkut pada Nisa. Ia sedang berlari santai bersama Theo. Yaa, sosok yang pernah menjadi kekasihnya. Mata kami bertemu, dan wajah Nisa terlihat terkejut melihatku dengan senyum memandangnya.

Hatiku tersentak, melukai diriku sendiri dengan melihat mereka berdua. Namun anehnya, rasa sakit itu tidak sehebat sebelumnya. Apakah hatiku sudah terlalu terbiasa disakiti olehnya, ataukah rasa sakitku saat ini tidak sebanding dengan sebelumnya?

Dengan kecepatan yang tetap, aku melanjutkan perjalanan bersama temanku sampai ke pantai. Ombak mengalun seperti simfoni yang mengantarku dalam ketenangan, melupakan sejenak segala riuh di kepala. Terkadang, alam memberikan pelukan yang tak terungkapkan. Dan pantai menjadi saksi bisu atas kehidupan yang terus berputar.

Aku pulang sekitar pukul 17.00 WIB dari pantai. Sore itu, sekitar pukul 18.00 WIB, handphoneku berdering, menggema di ruang tamu rumah yang hening. Nisa meneleponku. Suaranya getir, terhanyut dalam riak kesedihan yang tak terkendali.

"Halo, ada apa Nis?" sapaku, mencoba menahan rasa tak nyaman di hatiku.

"Wan, Maaf," jawab Nisa sambil sesenggukan. "Theo, dia minta balikan. Aku gabisa nolak. Tapi, aku gamau kamu pergi lagi."

Percakapan itu terasa seperti gerimis yang menyentuh tanah kering. Dialog antara kita seperti puisi yang pahit namun indah.

"Kenapa gabisa nolak?" tanyaku, mencoba mencari jawaban dalam kata-katanya.

"Aku takut, takut kehilangan dia lagi. Tapi aku juga takut kehilangan kamu juga. Aku tahu, ini egois. Tapi aku butuh kamu, mungkin lebih dari pada Theo."

Hatiku terasa berat. Sejenak, aku terdiam, merenungi makna dari kata-kata yang terucap. Akhirnya, entah kenapa, aku mengiyakan permintaannya.

"Yaudah, gapapa." jawabku dengan suara lembut. Tidak tahu mengapa aku mengatakan itu, mungkin karena aku tak ingin melihatnya terluka lagi.

Dalam senyap, aku menyudahi percakapan itu. Rumah ini, dengan keheningannya yang menyelimuti, memberikan pelukan seakan mengatakan bahwa hidup adalah perjalanan yang tak pernah berakhir. Dan dalam perjalanan itu, kita harus siap menghadapi ombak dan badai, namun juga menemukan keindahan yang tersembunyi di sepanjang jalan.

Kisah ini mungkin tidak selalu indah, namun keindahan ada dalam kekuatan untuk melanjutkan, untuk memaafkan, dan untuk tetap percaya pada rasa. Mungkin kita adalah bagian dari puisi hidup yang terus ditulis oleh takdir yang lebih besar dari kita.

***

Menurutku, rasa itu seperti ombak yang terus menghantam pantai, menguliti pasir dengan lembut namun meninggalkan jejak yang tak terhapus. Rasa juga bisa di ibaratkan sebagai pelaut yang terbiasa menanggung derasnya ombak, membiarkan diri terhanyut dalam alunan yang tak pernah berhenti.

Dalam perjalanannya, rasa tumbuh seperti bunga yang dengan susah payah mekar di padang gurun. Awalnya, dia hidup hanya bergantung dengan tetes-tetes embun yang menari di ujung kelopak, memberi kelembutan pada setiap detak hati yang berdebar. Namun, seiring waktu, embun itu mungkin menjadi bagian dari hujan yang turun begitu lebat, menyiram tanah yang sebelumnya kering.

Mungkin hati bisa terbiasa disakiti seperti melihat senja di ufuk yang jauh. Keindahan yang tak terbantahkan, namun selalu diikuti oleh gelapnya malam. Kita menjadi pelukis yang terus mencoba menciptakan lukisan rasa, meski tak pernah tahu apakah warna-warna cerahnya akan bertahan atau segera tergantikan oleh jamur-jamur yang menyerang kanvasnya.

Rasa itu seperti petir yang menyambar dalam gelap, mengejutkan dengan suaranya sekaligus mempesona dengan kilatan cahayanya. Di satu sisi, kita takut akan cahaya yang menyilaukan sebelum gelegar datang. Namun di sisi lain, kita mengagumi sentuhan pola indah yang meninggalkan jejak di langit malam.

Dalam narasi yang terus berubah ini, rasa seperti babak dalam drama yang tak pernah selesai. Kita adalah pemeran yang terus berakting, terbiasa dengan rintangan yang muncul seperti dialog tak terduga. Tetapi, seperti panggung yang selalu ramai, kita belajar bagaimana berdansa di antara kemungkinan yang terus bergulir.

Rasa itu seperti lagu yang terus terputar di playlist lagu favorit mu. Terkadang liriknya penuh dengan keceriaan dan harmoni, namun ada saat-saat di mana melodi itu berubah menjadi nada-nada yang menyayat hati. Tetapi, kita terus mendengarkan, seakan mencari makna di antara keheningan dan teriakan yang tersembunyi di dalamnya.

Aku dan rasa adalah penyair dari kisah ini, menciptakan kalimat indah dari setiap kata dan rasa. Rasa adalah bahasa yang tak pernah habis untuk dipelajari, diukir dalam relung hati yang tak pernah berhenti mencari makna. Dan pada akhirnya, dari rasa yang kadang menyuguhkan sakit, kita belajar bahwa terbiasa dengan sakit bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan untuk terus merayakan kehidupan yang penuh warna dan kontradiksi.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang