“Nanti mampir ke perpustakaan dulu ya, Nis?” ucapku kepada Nisa. Sejak SMP, kita selalu berboncengan setiap pulang sekolah seperti saat ini. Bukan karena Nisa tidak bisa mengendarai motor, ia bisa, hanya saja dia tidak berani berkendara sendiri di tempat yang ramai. Yaa, semacam simbiosis mutualisme seorang sahabat. Hehehehe.
Rasa itu seperti maling yang sopan. Dia mengetuk pintu hati seseorang, tapi sebelum dibukakan, dia sudah seenaknya masuk. Ya, aku memiliki perasaan kepada Nisa.
Mencintai sahabat bukanlah perkara yang mudah. Pikiranku sering kali menerka apakah dia memiliki perasaan yang sama. Sudah kucoba mengusir rasa itu, tapi menghilangkannya memang tidak semudah menghilangkan noda dengan pemutih.
Aku merasa tidak pantas untuk Nisa. Dia kaya aku tidak, parasnya semanis itu, sedangkan aku? Tapi rasa tidak sepengertian itu, rasa sudah terlanjur membangun rumah mewah di hati.
“Dijalani saja dulu,” ucapku di dalam hati setiap kali aku teringat tentang perasaan itu.
Rasa tidak selamanya membawa terang, kadang dia juga menjadi penyebab utama terjadinya hujan. Aku takut, jika mengungkapkannya, Nisa akan menjauh. Mungkin dia akan berpikir, ‘Lebih baik menjauhiku daripada menyakitiku lebih dalam.’
Tapi jika tidak diungkapkan, akan terus seperti ini, mencintai seseorang tanpa timbal balik yang pasti. Mengharapkan hubungan lebih, tapi tidak tahu apakah dia memiliki harapan yang sama atau malah sebaliknya. Ah, susah menjelaskannya, jalani saja dulu.
Kami melanjutkan perjalanan pulang dari sekolah, menelusuri jalanan yang sudah sangat akrab bagi kami berdua. Udara sore yang sejuk membawa rasa tenang, sedangkan cahaya matahari yang perlahan-lahan meredup menambah romantisasi pada suasana yang sudah hangat di antara kami. Nisa duduk di belakangku, mengaitkan lengannya di pinggangku dengan erat, memberikan rasa hangat yang menenangkan.
“Wan, tumben diem aja. Kenapa?” tanyanya dengan lembut.
“Ngga. Gapapa” jawabku sambil mencoba tersenyum ke arahnya. Namun, dalam hatiku, aku tahu bahwa aku jauh dari kata ‘ngga apa-apa'. Jantungku selalu berdetak terlalu kencang di saat seperti ini, seperti ombak yang tak terkendali, melanda pantai dengan kekuatan yang tak terduga.
Kami melaju perlahan, menikmati setiap hembusan angin dan setiap sudut pemandangan yang melintas di sepanjang jalan. Aku merasa beruntung bisa berada di sini, berbagi momen indah ini bersama Nisa.
Kami terus bercakap-cakap, terkadang tentang sekolah, terkadang tentang rencana masa depan, dan terkadang hanya tentang hal-hal kecil yang menarik perhatian kami di sepanjang jalan.
Setiap kali Nisa tertawa, hatiku serasa mekar, mengisi diriku dengan kehangatan yang sulit untuk dijelaskan. Kehadirannya adalah obat bagi otak yang seharian berpikir di sekolah, memberikan kedamaian dalam segala kekacauan yang ada di dalam pikiran.
Aku tahu bahwa hubungan kami adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak boleh diambil begitu saja. Aku ingin melindunginya, bahkan lebih dari melindungi diriku sendiri. Aku tidak ingin menambah beban ke dalam hidupnya, apalagi jika itu berasal dari perasaanku yang begitu rumit dan sulit dijelaskan.
Kami terus melaju, menikmati setiap momen perjalanan itu seolah waktu berhenti berjalan. Aku merasakan kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan, ketika aku bisa berada di sini, bersamanya, berbagi segala hal dalam keheningan yang tenang. Aku berharap momen ini tidak pernah berakhir, bahwa kami bisa terus seperti ini, berjalan berdua entah dengan tujuan atau tanpa tujuan pasti, aku hanya ingin menikmati kebersamaan yang hangat di antara kami.
Kita sampai di toko buku. Aku memang suka membaca buku, tapi lebih dari itu, aku juga suka memandang wajah Nisa. Semua tentangnya membuatku tidak mampu menahan senyum. Aku suka matanya, aku suka senyumnya, bahkan aku suka saat tiba-tiba dia mencubitku tanpa tahu apa sebabnya. Aku tidak tahu sejak kapan aku seperti itu, seperti tiba-tiba.
Ketika kami berhenti di depan toko buku, Nisa turun dari motor dengan senyuman yang lagi-lagi membuatku tak mampu untuk menatapnya. Dia menatapku dengan penuh kehangatan.
“Masuk yuk” ajaknya sambil menggandeng tanganku. “Eh katanya ada buku baru. Kita nyari novel romance ya? Hehehe”
Kami melangkah masuk ke dalam toko buku, disambut oleh aroma khas kertas dan tumpukan buku-buku yang tersusun rapi. Aku merasa sedikit lebih tenang di dalam suasana yang hangat dan akrab itu.
Nisa tampak begitu bersemangat, berjalan dari rak buku satu ke rak buku lainnya, sesekali mengangkat buku dan membacanya dengan seksama.
Aku sendiri terpesona oleh kecerdasannya, oleh semangatnya dalam mengeksplorasi dunia literatur yang begitu luas. Aku seringkali terpesona oleh dedikasinya yang tak pernah pudar dalam mengejar pengetahuan. Itu salah satu sifatnya yang membuatku semakin kagum padanya.
Kami akhirnya duduk di sudut yang tenang dari toko buku itu. Aku duduk di depan Nisa yang dikelilingi oleh tumpukan buku yang beragam. Nisa menyelesaikan buku yang dia pegang, sementara aku mulai membaca buku yang dia rekomendasikan padaku. Namun, setiap kali aku mencoba untuk fokus pada halaman-halaman yang terbuka di depanku, pandanganku terus kembali kepada wajah Nisa.
Dia terlihat begitu tenang, tenggelam dalam alur cerita di bukunya. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi yang beragam, dari tawa kecil hingga kerutan kecil di dahi yang menandakan ketertarikannya pada cerita yang sedang dia baca. Aku merasa seperti dunia di sekitarku tiba-tiba meredup, dan yang tersisa hanyalah kehangatan yang dipancarkan oleh keberadaannya bersamaku.
Saat matanya terangkat dari halaman buku, dia menatapku dengan penuh kehangatan. “Eh kamu baca buku apa? Bagus kah?” tanyanya dengan senyum lembut di bibirnya.
"Eh .. eh ... i .. iya bukunya bagus. Cerita fiksi dunia lain. Hehe" jawabku dengan suara yang sedikit gemetar.
Setelah beberapa saat di perpustakaan, kami pulang. Berbonceng lebih lama juga hal yang membuatku ingin sedikit berputar menuju toko buku daripada langsung pulang ke rumah. Dasar orang kasmaran.
Saat kami menyusuri jalan, rasa canggung terasa menyelimuti udara di antara kami. Aku merasa seolah-olah ada yang ingin kuungkapkan, tapi kata-kata itu terperangkap di dalam dadaku, menolak untuk keluar. Aku ingin melindungi hubungan yang telah kami bangun selama ini, tapi juga tidak ingin menahan perasaanku sendiri.
Di dalam keheningan perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Aku merenung tentang bagaimana cara terbaik untuk mengungkapkan perasaanku tanpa merusak apa yang telah kami miliki. Aku berusaha mencari jawaban di balik keramaian pikiranku yang kacau.
Ketika kami sampai di depan rumahnya, aku merasa berat untuk berpisah darinya. Aku ingin bertahan lebih lama, menikmati setiap momen yang bisa kami habiskan bersama. Tapi aku juga tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.
Aku ingin dia tahu betapa berharganya kehadirannya bagiku, tanpa mengorbankan apa yang telah kami bangun selama ini. Aku hanya berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, tanpa harus mengorbankan apa yang telah kami miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...