Haloo .. selamat pagiii ..
Bagaimana hari ini ? baik baik saja kan ?
Untukku, tadi malam mungkin cukup baik. :)-----------
Semua orang bisa berencana.
Otak memikirkannya dengan baik, tubuh bergerak sesuai keinginan, hanya saja hati kadang tak mau menurut.
Aku heran. Apa mungkin, hati punya otaknya sendiri, ya ?--------
Aku terus mengingat malam tadi, bagaimana suasana di pasar malam begitu hidup dengan gemerlap lampu-lampu berwarna-warni yang menciptakan bayangan-bayangan menari di sekitar kita. Suara riuh pengunjung, deru musik, dan aroma lezat makanan jalanan semuanya bercampur aduk di udara malam yang sejuk. Tetapi di pojok taman tempat kami duduk, semuanya terasa tenang, menjauh dari hiruk pikuk pasar malam.
Nisa, dengan senyumnya yang hangat, tampak terlihat begitu cantik malam itu dengan ice cream yang dia nikmati di tengah dinginnya malam. Rambutnya yang tergerai lembut ditiup angin malam, dan matanya memancarkan cahaya di bawah sinar remang-remang lampu taman. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak terus memandanginya, mencoba menangkap setiap detail wajahnya yang membuatku bahkan mencoba untuk berkedip sesingkat mungkin.
Pikiran-pikiran tak terkendali terus berputar di kepala. Aku ingin berbicara padanya, memberitahunya bahwa aku menyimpan rasa. Namun, kekhawatiran akan kehilangan persahabatan dan kebersamaan yang sudah terjalin begitu erat menghalangi kata-kata itu keluar dari bibirku. Setiap kali bibirku hampir membuka, perasaan ragu dan kekhawatiran melumpuhkan diriku.
"Bagaimana jika dia menjauh setelah ini?" tanyaku pada diriku sendiri, mencoba mencari jawaban atas perasaan yang begitu bergejolak di dalam hatiku. Namun, semuanya terasa begitu rumit. Apakah dia mempunyai rasa yang sama? Atau hanya perasaan biasa antara dua sahabat yang dekat?
Kami terus duduk di sana, saling berbagi cerita dan tawa, tanpa memedulikan waktu yang terus berjalan. Momen-momen seperti itu yang membuatku ingin mengabadikannya selamanya. Namun, entah mengapa, kekhawatiran akan merusak semua keindahan itu terus menghantuiku.
"Nisa tau ga ya? kalau aku suka sama dia?" gumamku dalam hati, mencoba mencari keberanian untuk mengubah keadaan. Namun, pikiran itu selalu terhalang oleh rasa takut akan perubahan, akan perpisahan yang mungkin terjadi.
Lalu, dengan hati yang berat, aku memutuskan untuk membiarkan semuanya seperti ini. Mengalir tanpa paksaan, tanpa tekanan. Biarkan waktu yang menjawab segala pertanyaan yang terpendam di dalam hati. Karena, meski rencana mungkin belum terwujud, setidaknya kami masih bersama, menikmati momen-momen indah seperti malam itu.
"Dingin?" tanyaku pada Nisa, mencoba menyembunyikan kebingungan yang mungkin sudah tercetak di wajahku. Aku tidak ingin dia merasakan ketegangan.
"Iya wan. Dingin banget ya malem ini. Tapi ice cream nya enaak.. hehehehe. Udah abiss," jawabnya sambil membalas senyumku.
Dengan senyum lembut, dia menyentuh tanganku dan berkata, "Kamu kedinginan, wan? Hahahah payah banget"Aku tersentak sedikit, lalu menatapnya dengan senyum malu-malu. "Dikit, tapi gapapa," jawabku, mencoba menutupi kenyataan bahwa suhu malam telah membuatku merinding.
Aku menatapnya sejenak, lalu meraih kedua tangannya yang ternyata terasa seperti membeku.Aku menutupinya dengan kedua tanganku. Dengan lembut, aku meniup telapak tangannya seolah mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah malam yang semakin dingin. Senyumnya terlihat begitu tulus, dan aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat.
"udah anget?" tanyaku sambil tetap memegang kedua tangannya, mencoba merasakan getaran kecil yang samar-samar terasa dari tangan yang kini terbungkus dalam genggaman hangatku.
"Awas baperrr," jawabnya dengan nada lembut, sambil menarik tangannya perlahan dari genggamanku. Wajahnya memperlihatkan campuran antara keterkejutan dan senyuman kecil.
"Enggaaa .. biar anget aja. Kan dingin" sahutku, sambil mencoba mempertahankan kontak mata. Momen itu terasa begitu menyenangkan, semoga juga menyenangkan untuknya.
Kami pun berdiri, merapikan pakaian yang agak berantakan akibat duduk terlalu lama. Perlahan, kami berjalan keluar dari taman itu, meninggalkan kenangan indah di balik kami. Aku berjanji pada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, tanpa membiarkan rasa takut menghalanginya.
Dalam langkah-langkah pergi malam itu, aku merasakan getaran dalam hati. Rasa harap dan ketakutan tercampur menjadi satu, menciptakan pergolakan yang sulit dijelaskan. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, langkah-langkah kami akan terjalin bersama, tidak hanya sebagai sahabat, tetapi sebagai sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin disebut cinta.
***
Kepada rasa, maaf karena aku belum bisa mengungkapkan segala yang terpendam.
Maaf karena aku masih terjebak dalam labirin ketakutan yang tak kunjung pudar.
Aku akan berusaha lebih keras. Aku akan mencari keberanian di setiap sudut otakku yang terus bimbang mencari kejelasan tapi enggan memastikannya, aku akan mengumpulkan segala keberanian yang diperlukan untuk mengekspresikan perasaan yang selama ini terkunci rapat.
Kepada rasa, maaf jika aku masih belum siap untuk mempertaruhkan segalanya.
Maaf karena aku masih terus melingkari diriku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang bahkan tak aku cari tau jawaban pastinya.
Aku berharap kau bisa memahami ketakutanku, aku berharap kau memberiku kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, sampai aku menemukan keberanian yang diperlukan untuk menemukan jawabannya.
Aku ingin dia tahu betapa berartinya dia bagiku, betapa pentingnya setiap momen yang kami habiskan bersama. Namun, ketika aku berpikir tentang kemungkinan kehilangan kedekatan yang sudah begitu rapat terjalin, aku merasa seperti aku mengambil risiko yang terlalu besar.
Kepada rasa, maaf jika aku sering kali meragukan segalanya.
Maaf karena kadang-kadang aku masih mencari jawaban di tempat yang tidak seharusnya.
Aku merasa seperti aku membohongi diriku sendiri dan juga dia. Aku ingin dia tahu segalanya, aku ingin dia tahu bagaimana hatiku berdebar setiap kali dia ada di dekatku. Namun, ketika aku membayangkan kemungkinan terburuk, ketika aku membayangkan kehilangan yang mungkin terjadi, aku merasa seperti aku berjalan di atas tali tipis, takut akan jatuh ke dalam jurang yang bahkan membayangkannya saja sudah membuatku sesak.
Kepada rasa, maaf jika aku terlalu takut untuk merasa.
Maaf karena aku masih terus melindungi hatiku dari kemungkinan terluka.
Aku berharap kau mempunyai banyak kesabaran, memberiku waktu yang diperlukan untuk mengatasi ketakutan dan kebimbangan yang selama ini menghalangi langkahku. Aku berharap suatu hari nanti, aku akan menemukan kekuatan untuk mengungkapkan segalanya, tanpa rasa takut yang membatasi.
Aku terus berusaha memahami perasaanku, mengeksplorasi setiap sudut hatiku untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui.
Aku ingin mengatasi ketakutan ini, aku ingin menemukan cara untuk mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam. Namun, setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti aku terus berjalan di tempat, tak mampu melampaui batas-batas yang aku ciptakan sendiri.
Kepada rasa, maaf karena aku belum siap untuk mengekspresikan segala yang ada di dalam hatiku.
Maaf karena aku masih terus mencari keberanian yang mungkin belum hadir.
Maaf ...
Maaf ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...