3

52 18 85
                                    

Semakin sore, hujan terasa semakin deras, tetes air turun dengan kencangnya. Kami terdiam di warung kecil, meratapi hujan yang tak kunjung reda. Senja berbisik, mengingatkan bahwa waktu pulang tiba. "Wan, pulang yuk?" tanya Nisa. Sore yang seakan mengaburkan kesempatan, namun kehangatan hati tetap bertahan.

Dengan langkah ragu, kami keluar dari warung kecil itu. Hujan mengusik kami dengan riuh, menembus baju hingga menusuk kulit.

Kami naik ke motor, Nisa duduk di belakang dengan erat memeluk pinggangku. Meski jalanan redup, tetes-tetes air yang mengenai wajahku terasa hangat, seolah-olah memeluk dalam keadaan dingin. Aku memastikan Nisa baik-baik saja di belakang, mencoba membuat percakapan kecil untuk mengalihkan perhatiannya dari hujan yang mengguyur kami.

"Kamu suka hujan, Nis?" tanyaku, mencoba memulai percakapan.

"Yaa ... suka sih. Tapi kalau hujan begini, agak repot juga ya," jawab Nisa sambil mencoba menepis tetes air di wajahnya.

"Aku juga suka hujan, tapi lebih suka saat bisa duduk di bawah selimut sambil minum teh anget, hehehe" ujarku sambil tersenyum.

"Yaelaahh .. ya aku juga sama kalo itumah," sahut Nisa sambil tertawa kecil. "Eh tapi aku dulu pas masih kecil suka main air loh .. hehe. Berenang-renang di jalanan yang aspalnya bolong," tambahnya sambil mengingat masa kecilnya.

"Aku juga suka main air hujan, dulu. Eh masih suka juga ding sekarang, tapi malu udah gede" jawabku sambil tertawa. "Tapi ati-ati, bisa sakit nanti kalau basah-basahan gitu." Lanjutku

"Betul juga," kata Nisa sambil mengangguk setuju. "Aku pernah kena flu parah gara-gara main hujan kelamaan," lanjutnya sambil mengingat kejadian masa lalu.

"Aduh, kasihannyaa. Aku juga pernah, jadi lebih hati-hati sih sekarang," ujarku sambil mengingat kembali pengalaman yang serupa.

Kami terus melaju dengan percakapan kecil di tengah jalan yang mulai sepi. Suara mesin motor terdengar samar di tengah heningnya sore yang semakin larut.

"Besok gimana, Nis? Healing lagi?" tanyaku, mencoba memecah keheningan.

"Besok? Aku mau ngerjain tugas. Emang tugasmu udah selesai semua?" jawab Nisa, menatap ke depan dengan penuh perhatian.

"Aku juga, masih ada sih PR yang belum di kerjain," ujarku sambil mengangguk mengerti.

Kami terus melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang nyaman seolah-olah hujan itu menjadi pembungkus dari percakapan kecil kami yang sederhana. Meski terkadang aku ingin mengungkapkan perasaan, tapi suasana itu terasa begitu pas untuk dinikmati tanpa tekanan apa pun.

Namun, dalam suasana itu, ada kehangatan yang tumbuh di antara kami. Entah bagaimana, rasa nyaman mulai memenuhi hatiku saat Nisa berpegangan erat padaku. Hujan terus turun dengan derasnya, tetapi aku merasa seolah-olah di dalam hatiku ada kehangatan yang melampaui dinginnya hujan itu sendiri.

Kami terus melaju di tengah hujan yang semakin lebat, dan suasana semakin intim di antara kami. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya di belakang leherku, membuatku semakin tersentuh dengan kedekatan ini. Sesekali, pandangan kami bertemu melalui cermin samping, dan senyuman tersembunyi tersirat di antara kami.

Namun, tetes-tetes itu seolah memperkuat tekad untuk mengungkapkan rasa. Dalam riuhnya deras hujan, keberanian itu tumbuh dalam hati yang gugup.

Dalam keheningan, rasa ingin mengungkapkan perasaan semakin kuat. Aku mencoba merangkai kata-kata yang tepat, namun kegugupan menghantui. Dengan hati yang berdegup kencang, aku hampir mengurungkan niatku. Hanya senyap yang mendominasi saat itu, di antara jeda keheningan hujan yang mengguyur.

Aku sempat berhenti untuk mengungungkapkan rasa. Saat rem motor mendadak aku pijak, Nisa terkejut. "Kenapa berhenti, Wan?" tanyanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Dalam kegugupan yang membelenggu, kata-kata yang terhenti di ujung lidahku seakan menjerat dan menyiksaku. Aku mencoba untuk berkata, namun suara itu tak mampu keluar dari kerongkongan yang kaku. Aku hanya bisa mengalihkan pikiran dan berkata sembarang. Terlihat lemah ya? Tapi jujur saja mengungkapkan rasa memang sesulit itu.

"Gapapa, remnya keinjek gasengaja" jawabku mengelak sekenanya

Dalam perjalanan, perasaan itu semakin terjepit. Aku ingin memberanikan diri, tapi ketakutan dan keragu-raguan selalu menghantui. Sesampainya di depan rumah Nisa, hatiku memompa rasa penyesalan yang mendalam. Betapa sulitnya mengungkapkan perasaan, meski saat kesempatan sudah begitu dekat.


Dalam senyap yang menyiksa, hujan perlahan berhenti. Tetes-tetes air yang mengalir dari kepala hingga kaki menambah dingin di sekitar. Setelah Nisa masuk kerumahnya, aku melanjutkan perjalanan pulang. Saat sampai di rumahku, Aku terdiam di teras rumah, memandangi langit yang mulai redup. Rasa cinta yang terpendam, harapan yang belum terucap, semuanya menyatu dalam hening yang menggelayut di udara. Seakan, dalam kesendirian itulah aku merasakan kehadiran hujan yang telah menjadi saksi dari perasaan yang terlalu sulit untuk diungkapkan.

***

Ingin mengumpat rasanya. Rasa adalah emosi yang rumit, menciptakan labirin di dalam hati yang tak terjamah. Ia muncul dengan beragam wujud, menyusup perlahan ke setiap sudut ruang kesadaran, meninggalkan jejak yang sulit dihilangkan. Tetapi, seringkali, mengungkapkan rasa menjadi tantangan tersendiri. Kata-kata itu seperti terperangkap di tenggorokan, menolak keluar meski hati sudah memutuskan untuk meluapkan segala perasaan.

Mengungkapkan rasa bisa menjadi pertarungan antara keberanian dan ketakutan. Ada keraguan yang menghantui, mempertanyakan apa yang akan terjadi jika kata-kata itu akhirnya terlontar. Terkadang, rasa takut akan penolakan atau keretakan hubungan menguasai pikiran, menyulitkan langkah untuk berbicara dengan jujur. Segala alasan rasional bermunculan, membentuk dinding tebal yang sulit ditembus.

Cinta yang sulit diungkapkan bisa menjadi beban yang melingkupi, menimbulkan rasa tertekan yang menghimpit di dalam dada. Ada perang batin yang terjadi antara keinginan untuk mengungkapkan segala perasaan dan ketidakmampuan untuk melakukannya. Terkadang, orang cenderung menyembunyikan cinta di balik senyuman palsu, takut akan ketidakpastian yang mungkin terjadi.

Mengungkapkan rasa adalah tentang memberikan ruang bagi hati untuk berbicara. Ia adalah proses yang membutuhkan kesabaran, kejujuran, dan ketulusan. Kadang-kadang, cinta tak perlu dikatakan, namun cukup dirasakan dalam setiap tatapan, dalam setiap sentuhan lembut, dalam setiap kepedulian yang tulus. Hubungan tanpa ikatan memang sedikit menyesakkan. Tapi tak apa bukan? Bukankah yang paling penting adalah kehangatannya?

Kata-kata hanyalah pelengkap, ia adalah ekspresi dari perasaan yang telah ada sejak lama. Rasa yang sulit diungkapkan adalah ujian yang menguji sejauh mana seseorang bisa melampaui ketakutannya. Ia adalah panggilan untuk melangkah ke dalam kedalaman hati, menemukan keberanian untuk mengekspresikan perasaan tanpa pamrih. Ia adalah ajakan untuk membebaskan diri dari belenggu rasa takut, dan mengizinkan cinta itu sendiri untuk menuntun langkah ke depan, menuju jalan yang penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan.

Terima kasih, hujan, atas hadirmu yang telah menghangatkan suasana. Terima kasih pada rasa yang membuat hujan yang seharusnya dingin menjadi terasa hangat. Meski kata-kata terasa terperangkap di lidah, berdua bersamanya adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan.

Di balik hujan yang tak kunjung reda, dalam senyap yang melingkupi, pelukan itu menjadi bahasa yang tak terucapkan, namun terasa begitu kuat. Ia adalah bentuk terima kasih yang paling tulus atas kehangatan yang telah diberikan, melampaui batas kata-kata yang terikat oleh keterbatasan manusia. Di dalam hangat, ditengah dingin yang begitu berarti.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang