23

45 20 48
                                    

----------------------------- Time Skip ---------------------------
---------------------- 4 Bulan kemudian ---------------------

Waktu terus berjalan seperti seharusnya. Di bulan pertama memang sangat sakit. Setiap detik terasa berat dan dihantui sesak. Kenangan yang kita bangun bersama, seakan hancur berkeping-keping tanpa ampun.

Tapi tiga bulan terakhir ini, mungkin, aku sedikit lebih terbiasa dengan kekosongan yang ditinggalkannya. Aku belajar untuk berpura-pura tidak mengingatnya, meskipun sebenarnya luka itu masih ada, tersembunyi di sela-sela otak dan hati. Bahkan terkadang, ada sedikit harapan yang muncul, berbisik bahwa dia mungkin akan kembali suatu hari nanti.

Apakah empat bulan termasuk waktu yang lama? Pertanyaan itu terus menghantuiku. Bagaimana aku bisa memutuskan apakah itu lama atau singkat, ketika rasa itu masih melekat begitu kuat? Melihatnya dekat dengan Theo masih menyisakan sedikit sesak di dada. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku tidak peduli, tapi entah mengapa, hatiku masih terus berdegup tidak teratur setiap kali aku melihatnya tertawa bersama orang lain.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak pernah menyapanya lagi. Aku tidak membencinya, aku hanya takut, takut kalau kehadiranku akan menjadi beban baginya. Aku takut dia tidak nyaman jika aku masih terus berusaha memasuki dunianya. Aku ingin memberinya ruang untuk menjalani hidupnya tanpa rasa tertekan oleh keberadaanku. Aku memutuskan untuk menjaga jarak, meskipun itu berarti harus mengorbankan setiap keinginan untuk mendengar kabar darinya.

Semua hal yang pernah bertemu pasti akan berpisah, begitulah katanya. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa kepergian Nisa dari hidupku adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Meskipun begitu, setiap kenangan kami terus membayangi pikiranku, menuntut perhatian meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya. Bahkan yang sedekat aku dengan Nisa tiba-tiba bisa sejauh ini. Kehilangan ternyata sesakit ini, menyisakan rasa yang sulit untuk diisi oleh kehadiran siapapun.

Aku sudah lama membuka blokir WA-nya, sekitar satu bulan yang lalu. Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan itu, mungkin rasa penasaran, atau mungkin hanya karena aku ingin tahu kabar terbaru darinya. Aku tahu dia belum membuka blokirku, tapi itu tidak menghentikan langkah-langkahku untuk terus memeriksanya setiap hari. Aku hanya ingin tahu bahwa dia baik-baik saja, bahwa dia sedang menjalani hidupnya dengan bahagia, meskipun tanpa kehadiranku di dalamnya.

Setiap kali aku berusaha menghapusnya dari pikiranku, rasanya seperti aku malah semakin mengingatnya dengan lebih jelas. Seolah-olah upaya untuk melupakan hanya membuat kenangan kami semakin tajam terpahat di dalam ingatan. Kadang-kadang, aku bertanya-tanya apakah ini cara hidup untuk mengingatkanku bahwa rasa kehilangan tidak bisa dihilangkan begitu saja?

Ketika aku berjalan di jalan-jalan yang pernah kami lalui bersama, setiap sudut pandang menimbulkan kilatan kenangan yang tiba-tiba terbersit di benak. Aroma kopi dari kedai yang kami kunjungi, hembusan angin dari sudut jalan yang pernah kami lewati, semuanya mengingatkanku padanya. Kadang-kadang aku berharap ada cara untuk menghapus semua itu dari ingatanku, untuk menyapu bersih jejak-jejak masa lalu yang terus menghantui. Tapi setiap kali aku berusaha melupakan, rasanya semakin dalam aku terjebak dalam setiap kenangan yang tidak ingin kutinggalkan.

Mungkin sebenarnya, aku tidak ingin melupakannya. Mungkin, yang aku inginkan hanyalah kemampuan untuk mengatasi kehilangan itu dengan bijaksana, untuk menerima bahwa ada bagian dari diriku yang akan selalu terikat dengan masa lalu yang pernah kami bagi bersama. Aku belajar untuk menerima bahwa rasa bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi sesuatu yang harus diakui keberadaannya. Aku belajar untuk merangkul rasa seolah itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diriku yang seutuhnya.

Meskipun terkadang, rasa itu terasa begitu menyakitkan dan begitu sesak untuk di ingat, aku belajar untuk tidak menghindarinya. Aku belajar untuk duduk bersamanya, untuk membiarkannya menyentuh hatiku dengan lembut, seolah memberi tahu bahwa rasa kehilangan itu adalah bukti bahwa aku pernah mencintainya dengan sangat. Aku belajar bahwa melupakan bukanlah tujuan akhir, tapi menerima dan melanjutkan perjalanan hidup dengan penuh harapan bahwa di masa depan, aku akan menemukan rasa yang baru, yang akan mengisi hatiku dengan kebahagiaan yang lebih dari kemarin.

Mungkin butuh waktu sedikit lebih lama untuk melihatnya tanpa sesak. Sudahlah, dijalani saja apa adanya. Rasa memang benar-benar tidak bisa dipaksakan. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, bahwa suatu hari nanti, aku akan bisa melangkah maju tanpa rasa terikat pada kenangan.

Aku mencoba untuk tetap kuat, untuk terus berjalan meskipun langkahku terasa berat dan terhenti oleh kenangan bersamanya. Ini memang proses yang panjang, tapi aku akan tetap berusaha, setiap hari, untuk kembali menjalani hidup tanpa terus memikirkannya.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang