31

7 1 0
                                    

"Nis, aku ga jemput ya." Tulisku dalam pesan WA yang aku kirim kepada Nisa.

"Kenapa? Ngambek?" Balasnya

"Engga, lagi pengen sendiri aja." Jawabku

Aku benar-benar tidak marah, hanya sedikit kesal. Ternyata ada wanita yang ingin dekat dengan dua pria sekaligus.

Entah masih cinta atau tidak, aku ingin mengikuti setiap alur yang dia buat. Kata orang bijak, cinta itu bukan tentang 'karena', tapi tentang 'walaupun'. Artinya, walaupun dia seperti apapun, jika cinta akan tetap cinta. Tapi bagaimana bisa seorang yang diperlakukan seperti ini masih bisa mencintai? Hah entahlah, dijalani saja dulu.

Pagi ini aku berangkat sendiri. Tidak buruk juga. Udara masih tetap segar, jalanan masih tetap ramai seperti biasanya. Masih tetap ada lubang di aspal, tetap ada penerobos lampu merah, tetap ada ibu-ibu lampu sein ke kiri beloknya ke kanan. Sejujurnya, tidak banyak yang berubah. Hanya tidak ada pelukan saja.

Sampai sekolah, aku tau jika Nisa berbonceng bersama teman wanitanya. Mungkin jika bersama Theo pun tidak apa-apa. Palingan hanya akan sedikit sesak, toh dia juga bilang ingin dekat dengan kami berdua.

Sampai kelas pun kami tidak berbincang, hanya sesekali beradu tatap, lalu dengan cepat memalingkan pandangan. Mungkin dia mengira kalau aku marah, padahal biasa saja. Kenapa aku ga sapa duluan? Yaaa~ buat apa? Toh gapunya keperluan.

Setelah 2 mata pelajaran, bel istirahat terdengar dari speaker kecil di pojok kelas. Seperti anak muda biasanya, setelah bel istirahat berbunyi, hal pertama yang di raih adalah handphone. Hehehe.

"Wan, ke belakang sekolah yuk .. aku pengen ngobrol" tulis Nisa di pesan WA yang baru saja aku buka.

Aku memandang Nisa sebentar dari bangku ku di pojok kanan belakang kelas. Terlihat dia masih merapikan bukunya di bangku paling depan di kelas. Lalu dia berbalas memandangku, dan pergi meninggalkan kelas.

Pelan-pelan aku mengikutinya dari belakang. Dengan hati-hati tentunya. Takut di ikutin temen, nanti dikira ngapa-ngapain, lagi.

Aku sampai di belakang sekolah. Disitu ada kebun pisang entah milik siapa, dan dibawah pisang itu  Nisa menunggu. Memang tidak terlalu terlihat jika dari kejauhan, karena terhalang pohon pisang. Tapi lucu juga kalau di ingat. Hehehe

"Kenapa Nis? Mau ngobrolin apa?" Tanyaku setelah sampai di depannya

"Kamu ga marah?" Ucapnya sambil memandangku

"Lah? Engga lah.. emang marah kenapa? Kan gaada yang bikin marah." Sahutku

"Aku balikan sama Theo" Balasnya

Aku terdiam sejenak, memberi kesempatan hatiku untuk mengumpat sepuasnya.

"Ohhh, kan udah bilang kemaren. Yauda gapapa. Kalau masih sayang gimana lagi yakan." Jawabku

"Ihh kamu kok gitu sii sekarang?" Kata Nisa

"Lah? Emang harus gimana? Kamu deket sama siapa kan hak kamu. Akumah gabisa apa-apa, gabisa ngelarang juga." Balasku

"Tapi katanya kamu suka sama aku? Boong doang?" Sahut Nisa

"Yatapi kalau kamu milih Theo yagimanaa? Aku harus ngamuk gitu? Kan engga. Kamu mutusin gitu yaudah, aku terima gapapa. Udah kan?" Balasku

"Aku pengen kita tetep deket." Ucap Nisa

"Hah? Mana bisa gitu anjiirr." Balasku

"Anggep aja kita kaka ade an. Kan ga pacaran, jadi ga apa-apa." Kata Nisa

"Yaudah terserah. Gua laper mo makan, lu jalan duluan, tar ilang. Lagian berdua di belakang sekolah tar dikira ngapa-ngapain." Ucapku sambil menarik tangan Nisa pelan.

"Ehh bentaarr. Kok jadi gua elu?? Jangan gitu isss .. Kamu jangan ngejauh ya?" Ucapnya sambil menarik tangannya kembali

"Iyaaaaaa" balasku

"Janji?" Ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking

Aku tidak menjawabnya, hanya saja mengikutinya mengaitkan kelingking.

Kami berdua beranjak dari belakang sekolah, dia ke kelas dan aku ke kantin. Bukan senang, aku malah sedikit kesal. Kenapa bisa aku mencintai orang semacam itu?

Waktu berlalu, waktu pulang tiba. Aku dan Nisa tidak berbonceng pulang. Aku dengan sepedaku sendiri, dan kali ini dia bersama Theo. Yaaa~ tak apa, toh mereka memang sudah jadian. Sesaknya masih ada, tapi tidak terlalu hebat. Mungkin sudah terlalu biasa dikecewakan.

***

Bahkan saat seseorang benar-benar mencintai, rasa akan mengalah saat dia benar-benar sudah lelah dikecewakan. Rasa, sebuah kekuatan yang membangun sekaligus merusak. Saat rasa yang tulus dan dalam itu dipenuhi oleh kelelahan, kehidupan seakan berubah menjadi barisan kata tragis yang menceritakan kisah pahitnya perjalanan hati.

Pertama-tama, mari merenung pada kekuatan rasa. Rasa adalah titik temu antara langit dan bumi, tempat di mana matahari dan bulan bertemu, menciptakan cahaya dan bayang yang tulus. Saat seseorang mencintai, rasa itu melintasi batas-batas kemanusiaan, menjadi api yang membara di dalam dada, memberi energi pada setiap langkah dan keputusan. Namun, bahkan api terang sekalipun dapat meredup, dan begitu juga dengan rasa.

Ketika orang yang dicintai menjadi sumber kekecewaan, rasa itu seperti ombak yang menghantam karang, merobek hati yang pernah penuh kasih sayang. Ada saat-saat di mana lelah menyeruak dalam setiap hela napas, dan cahaya yang dahulu bersinar cerah, kini tersembunyi di balik awan. Kelelahan itu bukanlah kelemahan, melainkan bukti dari perjuangan yang begitu dalam untuk mencari makna dan esensi sejati dari rasa.

Seseorang yang mencintai dengan tulus akan menghadapi dilema antara mempertahankan rasa atau merelakannya pergi saat rasa kecewa tumbuh seiring waktu. Terkadang jalan keluarnya adalah membebaskan diri dari belenggu yang menyiksa. Meski terasa sakit, tapi keputusan untuk melepaskan adalah langkah pahit yang diambil oleh hati yang sudah terlalu lama memendam kecewa.

Tapi, apakah kelelahan itu menghapus semua jejak rasa yang pernah ada? Tidak. Sebaliknya, itu menjadi luka yang membentuk peta kenangan. Kelelahan itu menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang mencintai, mengingatkan bahwa tidak semua kisah memiliki akhir yang manis. Namun, di antara puing-puing kekecewaan, mungkin ada pelajaran berharga yang dapat membantu seseorang tumbuh menjadi versi yang lebih kuat dan bijaksana dari diri mereka sendiri.

Jadi, bahkan saat seseorang benar-benar mencintai, rasa tidak selalu menjadi pemenang. Terkadang, dalam kelelahan yang melanda, rasa kecewa yang berulang kali datang dapat memudarkan cemerlangnya cinta. Namun, jangan lupa bahwa setiap perjalanan hati adalah bagian dari kehidupan yang warna-warni. Meskipun rasa lelah bisa mengintai di setiap tikungan, tapi pada akhirnya, mungkin saja ada cahaya baru yang bersinar di ufuk yang memberikan harapan dan kehangatan baru bagi hati yang pernah lelah mencintai.

Tapi cerita ini belum selesai. Belum ada yang tau bagaimana akhirnya. Apakah hatiku memilih untuk melupakan bahkan membuang semua kecewa, atau sebaliknya.

Cerita ini mungkin sebentar lagi selesai. Jangan berekspektasi terlalu tinggi, tapi jangan pula terlalu rendah. Semua masih mungkin bisa terjadi. Tunggu saja sampai aku menulis akhir ceritanya :)

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang