6

41 22 62
                                    

Dua hari lamanya, Nisa tak muncul di sekolah, menyisakan kekosongan yang terasa jauh dari kehangatan senyumnya. Namun, pada hari itu, dia muncul kembali dengan langkah-langkah ringan yang membelai keramik kelas, membawa cerahnya harapan di antara keping-keping kerinduan yang memenuhi hari-hari sebelumnya.

Seperti biasanya, kami berboncengan menuju rumah. Pulang dari sekolah menyusuri jalan-jalan yang penuh dengan cerita dan tawa. Angin berbisik pelan di telinga, menyampaikan kehangatan yang seolah hilang dalam beberapa hari terakhir. Kesejukan udara mulai terasa, menemani perjalanan kami yang terus melaju di antara hiruk-pikuk kesibukan kota.

Aku dan Nisa memutuskan untuk memanjakan diri dengan bersantai ke taman yang terletak tak jauh dari sekolah kami. Sambil menanti langit senja yang akan memerah di cakrawala, keheningan taman menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan di sekitar kami.

Dengan langit yang cerah di atas kepala kami, aku dan Nisa melaju perlahan di atas sepeda motor, menuju taman yang menjadi tempat untuk kami menghabiskan sore. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami, memberikan sensasi kebebasan yang mengalir dalam setiap hembusannya. Aku merasakan kehangatan dari tubuh Nisa yang berada di belakangku, menciptakan kedekatan yang sulit untuk dilupakan.

Kami menikmati setiap momen indah yang tercipta di sepanjang perjalanan menuju taman. Sesekali, Nisa memelukku erat, memberikan rasa hangat yang membuat perjalanan semakin istimewa. Sementara itu, cahaya matahari yang mengantar senja menjadi semakin merah memancar di antara pepohonan, menciptakan suasana indah di sekitar kami.

Bunyi mesin sepeda motor yang berdentum-dentum seolah menjadi musik pengiring perjalanan, menciptakan irama yang mengalun dengan lembut di antara kebersamaan.

Sesampainya di taman, kami duduk di bangku batu yang terletak di bawah pohon rindang.

Udara segar seolah menyapu lelah yang menempel pada tubuh dan pikiran. Nisa memetik bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar sambil tersenyum cerah, seakan menyerap keindahan alam yang memancar di sekelilingnya.

“Sekarang jadi bunga girl, ya?” godaku sambil menatap Nisa yang sibuk memetik bunga liar di sekitar.

Nisa memalingkan wajahnya, wajahnya terpancar keceriaan. “Iya dong, biar tambah cantik. Heheheh” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Kami berdua tertawa riang, seakan heningnya taman itu terisi oleh keceriaan kami yang tak terbendung. Aku merasa beruntung bisa berbagi momen-momen manis seperti ini.

“Suasananya enak ya? Aku suka.” ucapnya sambil menatap pemandangan di hadapan kami. Aku hanya mengangguk setuju, sambil membiarkan hatiku terhanyut dalam ketenangan yang terasa begitu nyata di tengah-tengah kekisruhan dunia luar.

Suara burung-burung kecil yang bersiul riang menambah kesan harmonis di antara kami. Kami bercengkerama tentang segala hal, dari impian-impian masa depan hingga kenangan-kenangan manis yang pernah kami bagi bersama.

Suasana yang tenang membiarkan cerita kami mengalir begitu lancar, seolah tak ada beban yang harus kami pikul di dunia ini.

Dalam keheningan yang menyelimuti taman, suara canda riang kami menyatu dengan dentingan pepohonan yang bergoyang pelan oleh hembusan angin.

Rasanya damai, hampir sempurna. Namun, pikiranku terus menerus berputar, terjebak dalam pertanyaan tanpa jawaban yang mencekik rasa. Memandang wajah Nisa, membuat hatiku terasa berat. Ada sesuatu yang selalu terasa hilang.

“Menurutmu mungkin ga cowo sama cewe sahabatan tanpa ngelibatin perasaan?” tanyaku dengan nada serius, mencoba menyelipkan kegalauan yang terus membuncah.

Nisa mengalihkan pandangannya sejenak, seolah merenung sebelum akhirnya memandangku dengan penuh kehangatan.
“Apaan sih, wan. Mungkin laah. Buktinya kita bisa sahabatan yekan?” jawabnya sambil tersenyum.

Tetapi senyumnya tidak mampu menenangkan diriku. Perlahan, aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselku. Mataku melirik sekilas ke layar sebelum aku menatap Nisa dengan penuh ketegangan yang sulit kututupi.

“Eh, kalau semisal kamu suka sama sahabatmu, yang bakal kamu lakuin apa?” tanyaku lagi, mencoba merangkai kata-kata yang seharusnya tidak perlu terucap.

Nisa terdiam sejenak, raut wajahnya terlihat serius ketika dia berusaha mencerna pertanyaanku.

“Gatau, aku belum pernah ngalamin,” jawabnya dengan tenang.

“Memangnya kenapa?” tanyanya balik, mencoba menggali lebih dalam pada sesuatu yang seakan tersembunyi di balik pertanyaanku.

Aku tersenyum getir, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang merajai hatiku. “Aku pengen bikin cerita. Ceritanya, tentang seorang yang mencintai sahabatnya,” kataku perlahan sambil menyunggingkan senyuman palsu.

Aku memalingkan wajahku, berharap Nisa tidak bisa melihat kegugupan yang merajai diriku. Tetapi, terlalu banyak yang terlihat dari pandangannya yang hangat, seakan mampu membaca kegelisahan yang aku sembunyikan.

Suasana taman kembali terasa damai, meski hatiku masih berkecamuk. Aku membiarkan pikiran dan perasaanku terombang-ambing di lautan keraguan yang terus membesar. Hanya angin yang berbisik pelan, seolah mencoba menenangkan.

Matahari semakin merosot di ufuk barat, memberi isyarat bahwa waktu untuk pulang sudah tiba. Sambil mengumpulkan bunga-bunga liar yang sudah dipetiknya, Nisa tersenyum penuh syukur. Kami berdiri beriringan, sambil menghirup udara senja yang masih menyisakan kesan damai dalam setiap hembusannya. Aku merasa beruntung bisa menghabiskan waktu indah seperti ini bersama orang yang aku sukai.

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang