Pagi ini aku sangat bersemangat. Setelah beberapa bulan tidak lagi berbonceng bersamanya saat berangkat sekolah, akhirnya hari ini masa nostalgia akan kembali menghampiri pikiran.
Langit biru bersih memberikan latar yang indah saat aku memutar gas motorku. Pikiranku melayang pada kenangan-kenangan manis bersama Nisa. Aku tak bisa membendung senyumku, memikirkan momen ketika dulu dia memelukku dengan erat. Mungkin hal itu tidak akan terulang kembali, tapi hanya dengan mengingatnya, senyum terus memenuhi bibirku.
Aku tiba di halaman rumah Nisa dan melihatnya sudah menunggu. "Maaf ya, kesiangan dikit," ucapku sambil tersenyum.
"Kirain lupa kalau mau barengan. Udah lupa? Dulu sering banget tiba-tiba ga jemput. Akunya ga dikasi tau, akhirnya telfon temen buat jemput," sahutnya dengan nada kesal
"Iya iyaaa. Maafiin. Engga lagi deh," jawabku sambil memutar gas pelan.
***
Setelah di ingat-ingat, ternyata saat beberapa kali pikiranku kacau sampai harus membolos sekolah, aku memang tidak mengabari Nisa jika tidak masuk. Yaa pikir saja, saat itu menghubunginya saja sudah malas.
Saat itu mood ku hancur bukan hanya tentang rasa. Ada banyak hal yang tidak aku ceritakan disini. Tentang ibuku yang ngomel karena aku keseringan bolos, tentang bapak yang ikut-ikutan ngomel, tentang alasanku kepada guru setelah bolos satu minggu saat itu, dan tentu saja tentang rasa yang harus dihilangkan bahkan sebelum diungkapkan.
Sejenak, terlarut dalam lamunan, teringat bahwa terkadang 'rasa' adalah akar dari rasa sakit. Lamunanku terputus saat tangan hangat Nisa merangkul pinggangku dari belakang. Sementara dia menyandarkan dagunya di pundakku, dia berkata, "Nostalgia ya kaya gini."
Aku terdiam, tak mampu mengucapkan apa-apa. Hanya senyum yang terus menghiasi bibirku. Aku tidak tahu apakah kunci pintu hatiku sudah rusak, tapi setelah sebegitunya disakiti, hatiku luluh hanya dengan sebuah pelukan. Meski tidak ingin mengakui, aku sadar bahwa aku tidak akan berkata apa-apa jika ada yang menyebutku bodoh.
Biar aku ingatkan kembali apa yang aku tulis sejauh ini. Lima tahun bersahabat, ditengah persahabatan itu mungkin ada dua tahun didalamnya saat aku menyimpan rasa, lalu kedekatan yang sudah dibangun dari lima tahun yang lalu dihancurkan begitu saja olehnya, lalu setelah empat bulan, dia hadir kembali dengan pelukan hangatnya, dan dengan sadar aku mengatakan bahwa aku masih mencintainya.
Lelaki biasanya tidak terlalu tergila-gila pada detail, tapi pagi itu, setiap detail terasa sangat penting. Angin pagi yang sejuk mengelus wajahku, kebisingan mesin motor yang mengisi telinga, dan aroma harum bunga di pinggir jalan, semuanya menjadi lebih hidup, lebih nyata.
Nisa merapatkan pelukannya, seakan-akan ingin mengembalikan waktu ke belakang. Sementara itu, kata-kata tidak diperlukan. Hanya ada keheningan yang nyaman di antara kami, diisi oleh derap mesin motor dan detak jantung yang saling berdenting.
Kami melewati jalan-jalan yang pernah menjadi saksi bisu perjalan kami. Pertama kali kami bertemu, kali-kali kami tertawa bersama, dan tentu saja, saat-saat yang penuh makna di masa lalu. Semuanya kembali menghantui, seperti kilas balik yang diputar dengan lembut di pikiranku.
Saat melintasi taman kecil yang dulu sering menjadi tempat kami bercengkerama, terdengar suara kecil Nisa, "Kamu masih ingat waktu pertama kali kita datang ke sini?"
Aku tertawa kecil, "Inget dong, saking seringnya dateng kesini kamu sampai dapet gelar bunga girl. Hahaha," jawabku, dan aku bisa merasakan senyumnya meskipun dia berada di belakangku.
Pelukan ini menjadi semacam jendela waktu yang membawa kami kembali ke masa lalu, menyatukan kembali serpihan-serpihan kenangan yang belum sempat terlupakan.
Perjalanan kami terus berlanjut, dan aku merasa beruntung bisa mengalami detik-detik indah ini. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada pertanyaan yang melayang di benakku. Apakah pelukan ini hanya sekadar mengenang masa lalu atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam?
Kami tiba di sekolah dengan hati yang penuh dengan kehangatan. Pelukan itu dilepaskan dengan lembut, dan tatapan kami bertemu untuk sesaat.
"Terima kasih," katanya pelan, sebelum melangkah menjauh. Aku hanya bisa tersenyum, mencoba menafsirkan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Perjalanan pagi itu tidak hanya membawa kami ke sekolah, tetapi juga membawa kami melalui lorong-lorong emosi yang rumit.
Sampai sekarang, setiap kali aku menutup mata, aku bisa merasakan hangatnya pelukan itu. Pelukan yang membawa kembali kenangan indah, dan mungkin, membuka lembaran baru dalam kisah kami.
***
Rasa, sang penyair abadi dalam pementasan kehidupan, terkadang menjadi penyebab segala kebijaksanaan seolah melayang entah ke mana. Sepintar apapun seseorang, rasa bisa membuatnya terdampar dalam kebodohan yang mempesona. Seakan, akal dan logika menjadi sekadar penonton dalam drama hati yang dipentaskan.
Ketika mencoba menggambarkan rasa, kata-kata menjadi melambai di pinggir jurang antara kebijaksanaan dan kebodohan. Rasa memiliki cara unik untuk membingungkan otak, membuat orang yang biasanya tegas dan bijaksana bisa merasa seperti seorang pemula yang tersesat di hutan belantara perasaan.
"Rasa adalah peta kebodohan yang paling indah." Demikian mungkin kata seorang penyair. Peta yang membimbing kita melewati jalur tersembunyi dari hati, jalur yang tak bisa diukur dengan skala rasional. Rasa bisa membuat kita menjelajahi tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah kita pikirkan, dan di saat bersamaan, melupakan alasan-alasan logis yang pernah kita kenal.
Ketika kita dikuasai rasa, logika seringkali hanyalah awan tipis yang mengapit emosi. Keputusan yang sebelumnya diambil dengan pertimbangan matang, tiba-tiba berubah menjadi loncatan hati yang mengesankan. Kita menjadi seperti pelaut yang mengarungi lautan rasa tanpa kompas, hanya mengikuti arah angin yang mendorong perahu kita.
Puitisnya, rasa adalah bait-bait puisi yang dinyanyikan oleh hati. Meskipun seringkali terdengar sumbang dalam telinga, kita menari dengan irama yang hanya bisa dirasakan, bukan dipahami. Kita menjadi seperti penyair dalam dunia kata-kata yang tak terungkapkan sepenuhnya, dan dalam kebodohan itulah, kita menemukan kebijaksanaan baru.
Kata seorang filsuf, rasa mengajarkan kita bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hati, bukan oleh pikiran. Rasa adalah bahasa yang penuh dengan makna tersirat, di mana setiap senyum, tatapan, dan sentuhan menjadi kalimat-kalimat yang menggambarkan kisah tanpa kata.
Namun, terkadang kebodohan rasa juga membawa kita ke tempat yang sulit dijangkau. Kita dapat terbuai oleh ilusi rasa yang palsu, mengabaikan tanda-tanda yang seharusnya membuat kita waspada. Rasa bisa membutakan mata dan menutup telinga kita terhadap suara hati nurani.
Sejatinya, mungkin kebodohan rasa adalah bagian tak terpisahkan dari pesona dan kompleksitasnya.
Seperti kata-kata yang tak mampu sepenuhnya menggambarkan indahnya pemandangan matahari senja, begitu juga rasa yang sulit ditangkap dalam kerangka kata-kata. Mungkin, hanya dengan terjun dan meresapi, kita akan mengerti bahwa terkadang, bodoh adalah sikap paling bijak dalam menyikapi rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]
Romance-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi...