26

25 9 23
                                    

Hari ini mendung kembali menghiasi langit, seolah mengawasi aku yang sedang bersama Nisa di pendopo taman. Yaa, taman yang dulu hampir setiap hari kami singgahi sepulang sekolah, taman dimana dia dulu bercerita tentang Theo, dan hari ini, taman ini kembali mejadi teman kami bercengkrama, setelah empat bulan aku tidak berani menyapanya.

Pemandangan taman yang dikelilingi oleh bunga-bunga warna-warni turut menyumbangkan pesona pada suasana canggung itu. Aroma bunga yang menguar, bersama dengan senja yang bersembunyi dibalik mendung, menciptakan kesan damai dan romantis, seolah meminta dua hati yang tengah berkisah untuk menemukan kedamaian di tengah kerumitan.

Setiap keheningan diisi oleh getaran hangat yang melekat pada tatapan yang kadang saling berbalas, berusaha merangkai kembali benang-benang hubungan yang terputus, di tengah ketidakpastian dan kehangatan yang terasa dalam getaran udara senja.

Taman yang diramaikan oleh pepohonan rindang dan gemericik air kolam kecil, suasana hangat melingkupi dua hati yang sedang berusaha merajut kembali benang-benang kebersamaan. Langit mendung dengan lembayung senja menciptakan sentuhan ketenangan pada sekeliling, seakan menjadi saksi dari keajaiban yang mungkin tercipta.

"Nis," panggilanku terdengar pelan, meluluhkan senyap yang sempat memayungi langit. Dia melihatku, mata cokelatnya menangkap kilatan emosi yang tersembunyi di balik tatapanku.

"Jadi, putus gara-gara apa?" kataku sambil menoleh menatapnya sejenak, lalu kembali menatap taman di depanku.

Nisa menghela nafas panjang, mencoba merangkai kata-kata,

"Aku diputusin. Alasannya ga jelas. Pokoknya dia tiba-tiba cuek, dan bilang kalau harus udahan, lalu aku di blok," ujarnya dengan nada getir.

"Masih sayang?" tanyaku, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.

"Gatau. Jangan dibahas lagi ya, sakitnya masih ada," balas Nisa.

Detak jantung yang berdebar-debar memperdalam nuansa canggung, tetapi dalam kerinduan yang terbaca dari tatap mata satu sama lain, ada hangat yang terasa. Kita duduk bersampingan sambil menatap taman, menjaga jarak namun seakan terus mencari kenyamanan satu sama lain.

Aku memandangnya sejenak, terlihat dia memalingkan wajah dengan cepat. Aku tidak tau pasti, tapi saat dia memalingkan wajah, gerakan tangannya seperti mengusap air mata.

Aku menggapai tangannya, lalu menggenggamnya lembut. Hati ini kembali berbunga, seolah melupakan semua sakit yang pernah terasa, seolah menambal kembali semua goresan yang sudah terpahat.

Aku menggenggam tangannya, tapi mataku masih belum mampu beradu tatap. Aku memandangi taman, lalu sedikit meliriknya, tapi saat dia berbalas memandangku, aku menundukkan wajah lalu kembali memandangi taman sambil berusaha menahan senyum.

Tersirat dalam kerlingan mata yang kadang saling bertemu, suasana itu terus beriringan dengan kehangatan yang terlontar begitu saja. Wajah yang mencerminkan keraguan dan ketidakpastian terus bertukar pandang. Namun di antara itu, terbersit senyuman hangat yang mencoba menghiasi.

Detak jantungku berlarian dengan ritme yang tidak terduga. Aku mengambil napas panjang, berpikir sebentar, lalu dengan sedikit bergetar, aku mengatakannya.

"Nis, aku suka sama kamu," kataku sambil tetap memandang taman.

"Hah?" Genggam tanganku melonggar, menangkap kekecewaan karena reaksinya. Nisa menarik tangannya, lalu memandangku dengan tajam.

Kita berdua terdiam, membiarkan langit mendung menyaksikan keheningan yang tercipta. Aku memandangnya. Mata kami bertemu. Detak jantungku sudah tidak bisa lagi di gambarkan, terlalu cepat, sangat keras sampai seolah-olah telingaku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku mengatakannya kembali,

"Aku suka sama kamu. Aku udah memastikan bahwa rasa ini bukan hanya sekedar rasa kepada sahabat, aku nggak bisa nahan tangis saat kamu menjauh, aku nggak bisa nahan bahagia saat kamu tertawa. Pelukan, tatap, perhatian, senyum, dan semuanya membuat aku ingin menggandeng tanganmu bukan hanya sebagai seorang sahabat. Nis, jangan pernah menjauh lagi."

Tatapan Nisa dan mendung yang menemani matahari yang tengah berjalan tenggelam berpadu dalam satu kesatuan. Cahaya lampu taman yang entah kenapa menyala sebelum waktunya, menerangi wajahnya, dan aku merasa keajaiban tercipta di setiap detik. Keberanianku meresap dalam udara, dan suasana taman sore itu seolah-olah membantu mengalirkan kata-kata yang tak terucapkan selama ini.

Bunga-bunga di sekitar kami menyaksikan pengungkapan rasa yang dilakukan di bawah mendung yang semakin gelap. Setiap bunga seakan turut bersuka cita atas momen yang berharga ini. Meskipun kata-kata itu memang terdengar sederhana, namun maknanya begitu dalam.

Setelah kata-kata itu terucap, keheningan menyelinap di antara kami. Suasana taman yang sebelumnya dihiasi oleh keharuman bunga, kini menjadi saksi bisu dari keputusan besar yang baru saja ku ciptakan. Nisa memandangku dengan tatapan yang penuh misteri, namun bibirnya tetap terkatup rapat.

Wajahnya, yang sebelumnya dipenuhi senyuman, kini mencerminkan keraguan yang tak terucap. Angin menyapu lembut, membawa aroma bunga yang semakin tercium jelas, seakan menciptakan panggung untuk momen penting ini.

Namun, jawaban dari Nisa tidak segera datang. Keberanian yang kubangun tadi seakan tergantung di tepi jurang, menantikan arah langkah selanjutnya. Nisa, dengan perlahan, menundukkan pandangannya seperti mencari jawaban di tanah yang kita pijak bersama.

Aku memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi di wajahnya. Mata Nisa yang sebelumnya bersinar kini meredup, dan ketidakpastian terpancar dari setiap gerakan tangannya yang bergerak ragu. Bunga-bunga di sekeliling kami seakan ikut merasakan ketegangan di udara dan merunduk dalam diam.

Tatapannya yang menunduk seolah menutup pintu ke dalam perasaannya, membuatku semakin tak sabar menantikan jawabannya. Mendung kini semakin gelap, menciptakan latar belakang untuk kisah yang sedang terungkap di taman ini.

Entah berapa lama keheningan itu berlangsung, tapi setiap detik terasa berat di dada. Aku mencoba membaca ekspresi wajahnya, mencari petunjuk yang mungkin bisa mengartikan apa yang terjadi di balik mata yang menunduk itu. Suara langkah kecil serangga dan suara daun yang ditiup angin menjadi latar yang memperkuat suasana.

Dan akhirnya, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya, Nisa mengangkat wajahnya. Matanya kembali beradu dengan mataku, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya sarat dengan perasaan yang sulit diungkapkan, seakan-akan mencoba menjelaskan segala kompleksitas yang tersembunyi di balik diamnya tadi.

Aku meraih tangannya kembali,

"Kamu gimana? Ingin melanjutkan sebagai sahabat, atau bersedia melangkah bersama dalam hubungan yang lebih dari itu?" ucapku, memandangi matanya dengan penuh harap.

Bersambung .....

Aku, Nisa dan Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang