16. Muffins for Christmas

253 52 10
                                    

niiiih, agak panjang tapinya

.
.
.
.

Selain sepakat untuk tidak berkontak mata, mereka juga sepakat untuk bungkam. Entah untuk saling merasakan genggaman tangan dari masing-masing atau hanya untuk sekedar menghindar dari apapun yang bisa membuat keduanya tersulut emosi. Mereka sudah sama-sama dewasa, setidaknya mereka paham bahwa di tempat dan diacara seperti ini bukan masa yang pas bagi keduanya untuk bertengkar.

Untuk sekarang.

"You two." Hingga tibalah panggilan dari Dumbledore yang sengaja mendekat. Kakek tua itu tentu langsung dihadiahi dua tatapan bertanya.

"Dengar mereka?" tanyanya sembari melirik ke arah belakang yang terdapat kumpulan para murid yang berdansa. "Aku mengamini," sambungnya dengan kekehan yang juga diikuti oleh McGonagal.

Tidak perlu sampai menilik, keduanya tahu betul bahwa mereka tengah menjadi topik hangat di antara para remaja tengil itu. Ada yang membicarakan Claire tentang dia yang dituduh menggoda Snape, ada juga yang membicarakan si pemeran utama pria—katanya dia memaksa Claire untuk berdansa. Sedang sisanya, yang merupakan dominan, mereka berbicara tentang bagaimana cocoknya dua insan ini jika sedang tidak saling adu otot leher. Dan hal itulah yang diamini Dumbledore.

Jelas Claire juga Snape memilih untuk tidak ambil pusing. Tangan mereka saling bertemu saja sudah membuat keduanya pening bukan main. Ya, setidaknya pemikiran itu bertahan sampai Snape mulai membuka suara.

"Jangan dibawa perasaan," katanya.

Yang lantas membuat si bungsu kaya raya ini merotasi matanya seraya mencebik. "Seharusnya aku yang bilang begitu padamu. Jangan dibawa perasaan."

Mendengar sahutan sang keturuna iblis berbetuk curut ini, Snape mendecih sembari mengangkat satu sudut bibirnya. "Sudah tidak formal lagi, eh?" tanyanya yang berhasil menghancurkan wajah culas Claire.

Oh iya. Begitu kira-kira yang terbaca oleh Snape saat ia berhasil menyadap pikiran Claire kala manik keduanya bertemu. Hal itu nampaknya menjadi sesuatu yang menggelikan, sebab kini Snape harus memalingkan wajahnya untuk sedikit mengeluarkan kekehannya. Claire benar-benar cerminan manusia idiot.

Lalu tanpa sepengetahuan Snape, Claire segera menginjak sepatu mahal pria itu yang rasa sakitnya sungguhan menembus hingga kaki bahkan tulang—sebab wanita muda ini menggunakan ujung lancip high-heelsnya. Yang membuat dansa mereka harus terhenti sekejap.

"Jangan masuk ke pikiran orang sembarangan," desisnya dengan air wajah persis seperti induk yang memarahi anaknya.

"Siapa?" protes Snape.

"Kau! Siapa lagi memangnya?"

"Tidak, aku tidak masuk ke pikiranmu. Lagipula untuk apa juga aku melakukan hal itu? Buang-buang ten—shit! Jangan menginjak kakikku, bisa tidak?!"

"Ehmm, i love this song."

Melihat bagaimana bocah sinting, idiot, gila dan psikopat ini tidak menggubris kata-katanya, Snape menghela napas kasar. Tatapannya pun berubah sedikit tajam. Ia ingin membalas penyihir licik ini, tapi kalau dengan kata-kata, mana bisa menjatuhkannya? Yang ada nanti Snape semakin hilang kewarasan.

Sedetik kemudian, Claire berhasil dibuat terpekik lirih kala pinggangnya ditarik oleh Snape yang berdampak pada jarak antara keduanya. Tubuh mereka bahkan sempat bertabrakan beberapa detik sebelum akhirnya Snape sedikit mengendurkan rengkuhan lengannya dan memberi setidaknya lima sentimeter.

"Sir?!" tukas Claire dengan raut sebal yang masih sedikit terkontaminasi keterkejutan.

Berbanding terbalik, Snape justru hanya diam tanpa ekspresi. 

Sequoia | Severus SnapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang