1. A Girl Named Claire

988 74 9
                                    

First Year-Middle of 1989

"Claire Eleanore Edevane!" panggilan kesepuluh untuk para siswa-siswi baru Hogwarts.

Dengan percaya diri, gadis yang terus menampilkan senyum manisnya ini melangkah maju. Ia duduk di sebuah kursi dengan sorting hat yang lantas dipakaikan ke kepalanya.

Ke mana agaknya ia akan ditempatkan? Claire teramat penasaran, bahkan dari semenjak ia menerima surat dari Hogwarts.

"Bungsu Edevane! Hmm ... Kau persis seperti Ibu mu. Orang berintelektual tinggi, ambisius, berpendirian teguh, loyal, so brave, and little bit naughty." Mendengar penuturan topi aneh Claire terkekeh kecil.

"Alright! Godric Gryffindor tidak akan merasa keberatan menerimamu sebagai anak asramanya. But, Salazar Slytherin! Mungkin akan merasa keadilan itu tidak ada," sambung sorting hat yang justru membuat orang-orang--termasuk Claire--mengernyit bingung.

"Mungkin kau heran dengan pernyataan ku, because you're not. Tapi, ada sesuatu dalam dirimu yang tidak mungkin bisa dihindari sebagai seorang Gryffindor."

Senyum yang semula bertahan begitu indah di wajah ayu Claire, lambat laun menghilang. Ia tidak suka menunggu terlalu lama, itu membuat suasana hatinya memburuk.

"Be patient, girl. Kau terlalu sulit untuk ditempatkan, ada dalam dirimu yang sangat cocok berada di Slytherin. And i still have so many 'but'. Then, the final, aku akan menempatkanmu di .... "

"Gryffindor!!" Akhir yang begitu memuaskan untuk Claire. Ia suka dengan hasil ini. Senyumnya kembali mengembang begitu cantik.

"Welcome to my house, dear," kata McGonagal begitu lembut. Claire hanya mengangguk dengan terus mempertahankan senyum lebarnya.

Ia lantas duduk di samping seorang siswa baru yang lebih dulu dipilah.

"Samuel Lorentz," ujarnya sembari mengulurkan tangan. Claire jelas langsung menjabatnya penuh semangat.

Seperti hukum fisika saja

"Claire Edevane. You can call me Claire, Lorentz."

Jabatan tangan mereka terlepas bersamaan dengan gelengan kepala anak laki-laki di hadapannya.

"Don't call me Lorentz, just Samuel or Sam."

Anggukan kuat menyertai jawaban Claire, "Ah! Baiklah."

Melupakan sejenak tentang keberadaan Samuel, Claire mengedarkan pandangnya entah ke mana saja, bahkan ia sampai berputar 360° untuk mengeksekusi seluruh sudut ruangan.

Hingga pada akhirnya, netranya diam bergeming saat ia melihat seorang pria yang duduk di meja guru tengah menatapnya begitu intens.

Hanya beberapa detik memang, karena setelah Claire membalas tatapan itu, pria dengan rambut panjang di depan sana mengalihkan pandangnya.

"Who's that guy, Sam?" tanyanya masih bergeming.

Samuel yang baru saja selesai berbincang dengan senior di sampingnya, lantas mengikuti arah netra Claire.

"Namanya Severus Snape, professor ramuan. Yang ku tahu dari beberapa senior, dia sangat galak, dingin, datar, dan kejam," sahutnya yang membuat Claire menghela napas. "Kenapa memangnya?"

Pertanyaan itu menjadikan sebuah jawaban di otak Claire sempurna. Sedari tadi, ia hanya diam tanpa mengalihkan netranya, karena pikirannya mulai berkelana jauh.

Professor itu sudah menjadikannya sebagai target atas kekejamannya.

Claire jamin tebakannya ini akan terbukti besok.

Sequoia | Severus SnapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang