15. Miracle in December

262 57 10
                                    

Kata Dumbledore, jangan terlalu membenci seseorang, sebab benci dan cinta itu hanya bersekat rambut tipis yang bahkan sudah dibagi menjadi tujuh bagian. Sangat riskan untuk berubahnya dua komponen itu menjadi satu sama lain. Dalam definisi berbeda, semua memang seharusnya dirasai sewajarnya. Jangan terlalu mencinta, dan jangan pula terlalu membenci. 

Tapi jika ditarik benang merahnya, Snape akan buta untuk menilik bahwa dirinya pernah membenci Claire sebegitu dalamnya. Sebab itu sudah sangat lama, dan yang ia rasai untuk Claire akhir-akhir ini adalan mati rasa. Memutuskan untuk tidak membenci, apalagi menyukai. 

Lantas kenapa sekarang dirinya malah harus tersiksa karena keanehan yang mengganggu ketenangan jiwanya ini? Apa keputusannya untuk mati rasa adalah kesalahan besar? Jika memang iya, maka membenci bukan juga jalan yang benar, 'kan? 

"Shit, shit, shit." Snape menyugar rambutnya, seirama dengan siuk  yang terdengar begitu berat. Lagi-lagi wanita jadi-jadian itu berhasil mengoyak habis ketenangannya. Sudah beberapa kali Snape kembali termenung hanya untuk memikirkan kejanggalan yang menimpanya di hari pertama salju turun itu. 

Dia perlu untuk membuat dirinya tetap sibuk, hingga akhirnya pemikiran gila itu lenyap keseluruhan. Atau... haruskah ia menggulir kejanggalan itu dengan memikirkan cinta matinya? Lily? Di bulan Desember yang indah ini? 

Buruk. 

Jelas pengalihan yang sangat buruk. Itu sama saja seperti Snape mengangkat sel tumor jinak dan menggantinya dengan sel kanker. 

Ia ingin sembuh, bukan kembali mati.

Akhirnya opsi terakhir, Snape memilih untuk beranjak dari duduknya dengan serta menyambar tongkat juga mantelnya. Ia akan berpatroli. Siapa tahu malam ini ia bisa mengais mangsa yang setidaknya mampu menghalau ketidaknyamanannya ini.

Iya, semoga.

_______

Kembali melangkah di koridor, malam ini Claire memilih untuk mengusaikan patrolinya dengan menapak ke menara astronomi untuk menyalami malam sebelum nantinya ia akan berbaur asik dengan mimpi. 

Baru melangkah di anak tangga pertama, rasa-rasanya tulangnya sudah meremang hebat. Beruntung Claire mengenakan mantel panjang yang mampu mengalirkan sedikit kehangatan, ya setidaknya bisa memerisai tulangnya agar tidak koyak karena udara dingin ini.

"Orang gila," gumamnya kala di pertengahan anak tangga, netranya yang bertedeng di balik kacamata itu menangkap siluet hitam seorang pria tinggi yang tengah menatap langit begitu khidmat. Lalu saat ia menyipitkan matanya demi memperjelas, rahang Claire hampir jatuh ke perut bumi.

"Severus Snape? Dasar sinting, udara sedingin benua Antartika begini berani-beraninya menghadang angin seperti itu? Jangan-jangan... dia sudah mati beku." 

Tidak salahkan berprasangka untuk waspada?

Namun saat kakinya hendak menaiki anak tangga selanjutnya untuk mengecek keadaan pria yang memang sedari dulu dikirim Tuhan untuk menguji kesabarannya itu harus terpaksa terhenti. Sebab kini netranya menangkap bagaimana punggung Snape bergetar hebat bak tengah tersengat aliran listrik dengan tegangan tinggi.

Sekejap di posisi itu, kaki Snape agaknya sudah tidak lagi kuat untuk menahan getaran yang timbul. 

"He's crying?" duga Claire. Karena sekarang bukan hanya hening yang menguasai gendang telinganya, tapi juga isak yang mengalun begitu sakit.

Sequoia | Severus SnapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang