25. Realizing

323 50 5
                                    

Severus Snape itu kelabu. Dia tidak bisa dikatakan sebagai 'hitam' hanya karena ia pernah menyebut Lily dengan panggilan hina dan tersesat dijalan yang salah. Dan dia juga tidak bisa dikatakan sebagai 'putih' hanya karena ia pernah menyelamatkan Lily dari penindasan yang dilakukan kakak dari perempuan itu dan menjadi pahlawan bagi anaknya.

dua warna dasar itu melebur padanya menjadi abu-abu yang kontras dengan kata 'netral'. Kelabu miliknya lebih cocok untuk dilihat sebagai sesuatu yang keruh daripada ketidakjelasan itu sendiri. Jika diibaratkan, Snape itu seperti air yang digunakan pelukis untuk membersihkan kuas dari cat warna usai rampung disapukan ke kertas untuk membuatnya kembali bersih dan dapat menjejak corak baru—ia tidak lain hanyalah tempat pembuangan warna yang sayangnya tidak bisa lagi menjadi jernih.

Tapi anehnya, kemustahilan yang ia yakini itu—berhasil dihancurkan oleh seseorang yang datang kembali sebagai 'dia yang setara'. Sebab semenjak kembalinya wanita yang semalam sudi memeluknya begitu hangat hingga membuatnya bisa merasakan tidur tanpa risau, Snape seolah dileburi larutan asam sulfat yang lantas membersamai keruhnya untuk kembali bayan.

Claire itu cerah, penuh warna. Dia seakan mampu dengan gampangnya menuntun Snape untuk menjejak kebeningan, lepas seutuhnya dari kelabu yang menyedihkan. Memperkenalkannya pada warna-warna baru yang belum pernah Snape rasai sebelumnya—bahkan saat bersama Lily.

Hingga berakhir membuatnya berkali-kali memikirkan tentang keputusan besar. Keputusan yang mungkin akan mengubah jalan hidupnya ke depan.

"Sudah berapa lama kau tidak bercukur?"

Snape yang baru saja selesai mengusak rambut basahnya menggunakan handuk pun lantas mendekat ke samping Claire yang hendak mencuci wajahnya. Ia mematut dirinya sendiri di kaca untuk melihat seberapa lebat kumis juga janggutnya.

Kemudian endikan bahu mengawali. "Tidak tahu," sahutnya yang membuat Claire menggeleng skeptis. "Kenapa? Kau mau mencukurnya untukku?" tanyanya sambil menyenggol bahu Claire yang tengah sibuk mengelap wajah basahnya menggunakan tissue.

"Bayar," sahutnya sembari berkacak pinggang dan dengan dagu terangkat. Tampangnya benar-benar seperti pecopet berandal yang beraninya adu mulut.

Usai menunduk untuk tertawa, Snape mengangkat wajahnya lalu tanpa aba-aba mengangkat tubuh Claire dan mendudukkannya ke vanity. Hal gila itu jelas mengejutkan Claire, sampai akhirnya respon yang diberikan bukan lain adalah sebuah pukulan main-main pada bahu Snape.

"Sialan kau," umpatnya menyalurkan isi pikiran.

Medengar itu, kekehan Snape seketika terhenti. Digantikan dengan kecupan singkat yang mampu membisukan Claire.

"Language," katanya sembari mencolek ujung hidung wanita di hadapannya.

"Ck! Ya tidak usah seperti itu bisa 'kan?"

"Tidak," sahutnya tanpa beban.

Claire segera mengulum bibirnya saat senyuman hampir nampak dibarengi dengan kepalanya yang mengalih. Membuat Snape nyaris menghabisi Claire saat itu juga.

Usai dengan acara meledaknya berjuta-juta kupu-kupu di perutnya, Claire menarik napas panjang lalu dengan segenap kesiapan—ia kembali menatap obsidian Snape yang sudah sedari tadi memperhatikannya.

"Where's your shaving cream?" tanyanya yang segera diambilkan oleh Snape.

Tanpa kata, Claire mulai mengoleskan cream itu ke daerah wajah Snape yang ditumbuhi rambut-rambut hingga ke bawah dagu. Kalau boleh Claire jujur, sebenarnya tidak masalah Snape memiliki rambut wajah, bahkan kelihatan lebih jantan—tapi sayangnya, pertumbuhan yang tidak beraturan sedikit mengurangi nilai estetiknya.

Sequoia | Severus SnapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang