5

697 85 4
                                    

Davin tak langsung pulang, ia kini sedang duduk di teras berdua dengan Yuan. Kalau kata Bu Astrid supaya Yuan kenal dengan dokter yang membantunya.

"Dokter kok mau mau saja disuruh Ibu? Ini sudah malam"

"Sesuai kata Ibumu" Yuan mencebik pelan,
"Kenapa?"

"T-tidak, hanya saja... Entahlah.." Yuan kembali menunduk seolah ia memandangi kakinya yang polos tanpa alas kaki. Kalau boleh jujur, Yuan berdebar sedikit ketika berdekatan dengan Davin walaupun ia tak melihat eksistensinya. Ada rasa lain ketika tadi sore Davin menyentuh wajahnya.

"Kita seumuran, kamu bisa panggil saya Davin" Yuan bertahan pada posisi menunduknya, "Seumuran tapi kamu begitu jauh diatasku, sedang aku hanya orang desa yang putus sekolah sejak SMA"

"Saya tidak bertanya latar pendidikanmu" Yuan berjengit sedikit, "Tapi terimakasih untuk informasinya"

Semilir angin malam cukup untuk membuat Yuan memeluk dirinya sendiri, Davin yang melihatnya lantas bersiap untuk segera pulang.

"Saya akan pulang, kamu bisa masuk ke dalam rumahmu"

"Dokter—"

"Davin"

"Um, Davin. Pulang dengan apa?"

"Jalan kaki, dekat kok"

"O-oh baiklah, maaf tidak bisa mengantarmu" Yuan mengarahkan tangannya untu berjabat, "ke kiri sedikit"

Yuan mengulas senyum kala telapak tangannya dijabat oleh Davin, "Terimakasih karna sudah memberi harapan untuk keluargaku"

"Saya belum memberikan apapun, namun jika yang dicari sudah didapat maka dari saat itulah saya memberi harapan. Saya pamit" ada perasaan tak rela ketika Yuan merasa tangannya lepas dari genggaman Davin, ia segera menepisnya dan melambaikan tangan sebagai pengantar pulang.

. . .

Hari kerja berjalan normal, para perawat senang berada di desa ini sebab mereka bisa bernafas dengan segar juga keramahan warga. Mungkin ada yang terlihat galak, namun itu karna yang bersangkutan sedang sakit. Wajar bagi para tenaga medis.

"Halo, nek. Ada yang bisa kami bantu?" Ucap seorang perawat di meja pendaftaran,

"Aku mencari cucuku Altair, aku membawa makanan"

"ALTAIR, ADA MBAH DATANG. Duduk dulu ya nek, maaf saya berteriak tadi"

"Tidak apa-apa, terimakasih"

Altair segera keluar dari ruangan Daniel begitu mendengarnya, memeluk Mbah Ina yang datang di jam 10 pagi. "Altair kan bilang bakal ngunjungin Mbah, kok Mbah yang kesini? Sama siapa?"

"Mbah kesini pakai ojek, ini ada makanan Mbah baru selesai masak. Jadi masih hangat" Mbah Ina menyodorkan 2 rantang 4 susun ke hadapan Altair, "Ini banyak banget, Mbah. Altair bagi-bagi ke yang lain ya?"

"Iya, Mbah sengaja masak banyak untuk dibagi" Altair meneteskan air matanya kala memandang dua rantang itu, terbayang betapa repotnya sang nenek di dapur memasak semua ini.

"Loh kok nangis? Kenapa tah?" Altair mengusap air matanya sambil tertawa, "Nggak Mbah, Altair terharu aja Mbah masak sebanyak ini. Mbah pasti capek, duduk di ruang istirahat yuk? Nanti makan sama Altair, ndak apa-apa kan nunggu dulu sebentar?"

"Ndak apa-apa, nak. Mbah tau kamu lagi banyak kerjaan"

Altair langsung menyampaikan informasi ke grup klinik kalau ada masakan Mbah Ina, usai kerja mereka akan makan bersama.

Di ruangan berbeda, Nuwa menaruh kepalanya di meja sembari melihat handphonenya. Ia memandangi layar tipis yang menampilkan panggilan masuk dari pria yang sedang mendekatinya, siapa lagi kalau bukan Kalvin.

Kamu Milikku - MinYunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang