"Permisi!" Seru Arya saat memasuki klinik bersama Yuan,
"Misi, mbak. Mau ketemu dokter Davin bisa?" Perawat yang berjaga di depan melihat ada Yuan yang membawa makanan, "Dokter Davin sedang makan, tapi langsung saja ke ruangannya. Sepertinya ada yang harus berbaikan"
Usai diantar menuju ruangan Davin, Arya yang baru pertamakali kesana seketika gugup.
"Kenapa, Bang?" Tanya Yuan saat Arya tak kunjung membuka pintu,
"Dek, ini aku ndak bakal dihajar pacarmu kan? Kok aku takut yo?"
"Jangan nakutin! Ayo buka pintunya"
Cklek,
"Punten--LOH?!" Davin tersedak sambal saat suara Arya mampir ke pendengarannya, ia menoleh ke arah pintu dan melihat siapa pelaku pemicunya.
"DAVIN YANG INI TOH MAKSUD YUAN, YUHU DEKTING KU APA KABARRR"
Yuan melongo liat sepupunya tiba-tiba meluk Davin, setahunya tadi pagi sang sepupu tak bereaksi apa-apa saat melihat Davin di rumahnya. "Abang kenal dia? Kok tadi pagi nggak kenapa-napa?"
"Mataku rabun jauh, mana keliatan muka orang ini. SEDENG LOH KAMU WES JADI DOKTER KEREN GINI, VIN"
"S-sebentar, saya cuci tangan dulu"
"Ndak usah! Yuan bawa makanan, kamu duduk sini makan lagi. Biar makmur!"
Suasana ruangan itu jadi menghangat, tapi Yuan masih agak takut melihat Davin. Walau wajah kekasihnya itu sudah terlihat biasa saja, tetapi belum pasti dia bakal dimaafin, kan?
"Oh iya, maaf ya bikin kamu salah paham. Aku sepupunya Yuan yang datang ngasih undangan nikah, sekalian ketemu keluarga besar disini. Sejak dulu aku suka meluk dia, nggak taunya bisa bikin orang cemburu" ucap Arya peka akan keadaan,
"Saya juga minta maaf, saya terlanjur cemburu melihat kekasih saya dipeluk pria lain selain keluarganya yang saya kenal. Jika saya tahu itu Abang, mungkin sudah saya tarik menjauh" Davin mengusap kepala Yuan pelan, tersenyum ke arahnya membuat Yuan turut mengembangkan senyum.
"Yo jangan ditarik dong, kan temu kangen sama sodara. Posesif banget--"
"Pacarnya Abang juga kalau dipeluk pria lain, Abang tidak cemburu?"
"Aku tipe orang yang dengerin penjelasan pasangannya, pacarku juga orangnya jujur. Jadi aku nggak masalah, karna aku percaya sama pacar yang sekarang jadi calon istriku"
"Ah, percaya ya" gumam Davin sembari melahap makanan yang dibawa Yuan, makan siang ronde kedua.
"Berubah sedikit, Vin. Selama ini kamu terlalu kaku sama orang, nih Yuan aja jadi takut sama kamu. Ya aku juga sih... TAPI intinya kamu harus lebih luwes, gimana ya jabarinnya.. pokoknya gitulah, kamu yang ngerasain sendiri" Davin mengangguk paham,
"Jangan ngangguk doang, wajib loh kamu kondangan berdua sama Yuan"
"Saya akan lihat bagaimana jadwal saya nanti, Bang. Saya tidak bisa janji"
"Jangan gitu, Bang. Davin pasti sibuk, dia juga yang punya klinik, bahasanya dibagusin sedikit" sahut Yuan agar Davin tidak merasa terbebani dengan undangan Arya,
"Yowes, aku tinggal ya. Nanti tak mintain perawat di luar taro 'do not disturb' di pintunya Davin, biar kalian ada waktu berdua lebih lama sebelum Davin balik kerja"
Usai kepergian Arya, ruangan itu jadi lebih hening. Yuan agak takjub melihat Davin mampu menghabiskan bekal yang ia bawa padahal seingatnya Davin tadi baru selesai makan nasi Padang.
"Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Tanya Davin saat menyelesaikan makannya,
"Kamu nggak kepaksa ngabisin ini kan? Aku nggak bilang harus dihabisin"
"Maksudmu gimana?" Davin izin sebentar ke kamar mandi lalu kembali duduk dengan tangan yang sudah bersih.
"Bukannya dokter--"
"Davin"
"Iya, Davin. Bukannya kamu tadi habis makan nasi Padang? Porsinya banyak loh itu"
"Iya juga, jika nanti saya makmur seperti ucapan sepupumu, saya harus bagaimana? Tubuh saya yang sudah terbentuk bagus jadi hilang" Yuan mendelik mendengar respon Davin,
"Emang badanmu bagus?"
"Kamu mau lihat?" Davin bersiap membuka kancing kemejanya namun ditahan langsung oleh Yuan,
ia langsung bersemu sampai ke telinga jadinya, dan Davin menyukai reaksinya. "Singkirkan tanganmu, Sayang. Kamu butuh pembuktian, kan?"
"I-ih enggak nggak! Gak usah dibuka kemejanya! Jangan macem-macem!"
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Davin memancing respon Yuan yang masih tersipu,
"Ya badanmu nanti terlihat kekar, perutnya kotak-kotak, soalnya pakai kaos saja terlihat proporsional---" Yuan menatap Davin, yang ditatap tersenyum seraya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu kelanjutan ucapan Yuan.
"AKU NGAPAIN NGOMONG GITU?!" Yuan langsung menjauh setelah sadar dengan ucapannya sembari memegang kedua pipinya yang memanas, "L-lupain aja! Anggap aku nggak pernah ngomong gitu!"
"Baik, akan saya lupakan" Davin kembali mendekat untuk memeluk Yuan, "Saya minta maaf atas kecemburuan saya yang tak berdasar terhadapmu, Yuan" ucapnya begitu berhasil menarik Yuan dalam dekapannya.
"A-aku juga minta maaf, aku nggak bermaksud. Jangan diemin aku lagi ya? Pesanku belum ada yang kamu balas sejak pagi" jawab Yuan pelan, sedikit mendusal di dada Davin,
"Kamu mengirimi saya pesan? Saya tidak membuka ponsel karna banyaknya pasien"
Yuan menghela nafas lega, ternyata Davin tidak semarah itu. Ini murni mereka saling salah paham, "lucu ya? Ini pertama kalinya kita ada konflik beginian"
"Saya harap tidak terjadi lagi nanti" Yuan mengangguk cepat,
"Saya harus kembali bekerja, kita bertemu lagi nanti malam. Saya akan menjemputmu di rumah"
_______________________
"Kamu semakin pandai memasak, Mbah bangga padamu" Altair yang mendengar pujian sang nenek tentunya senang, sepulang bekerja ia datang ke rumah Mbah Ina dan memasak menu yang sedikit rumit, gulai ayam.
Ia cukup tekun mempelajari resep baru, supaya kelak ketika menikah ia bisa memasakkan suaminya makanan enak setiap hari.
"Ngomong-ngomong, rumah Yohanes lagi ramai kedatangan tamu" ucap Mbah Ina memulai topik lain,
"Ya biarin aja, Mbah. Kok harus ngasitau ke Altair"
"Anak gadis kampung sebelah datang untuk menjodohkannya dengan Yohanes"
Altair diam setelah menelan makanannya, mencerna kata-kata Mbah Ina barusan. Bagaimana nasibnya jika perjodohan itu sukses dilaksanakan? Bukankah orangtua Yohanes sudah tahu mengenai hubungan mereka?
"Cucuku, jika nanti pada akhirnya Yohanes bukan buat kamu, ikhlaskan. Kamu harus tega pada diri sendiri untuk mengubur perasaanmu, ini Mbah ngomong untuk kemungkinan terburuknya" Mbah Ina menggenggam tangannya, tersenyum teduh agar sang cucu tidak perlu memikirkan hal lain yang lebih buruk dari ucapannya.
"Altair ngerti, Mbah. Udah yuk lanjut makan lagi, Altair nggak mau mikirin itu dulu sampai kita selesai makan"
Altair duduk bersandar pada kasur di kamarnya pada rumah Mbah Ina, beberapa kali menepuk pipinya berusaha untuk menghalau rasa sedihnya.
"Kalau Yohanes cinta sama aku, pasti aku diperjuangkan kan? Kita cukup percaya itu saja. Iya, Altair. Percaya itu saja" Altair tersenyum lantas naik merebahkan dirinya di kasur, lebih baik ia segera tidur karna besok ia harus berangkat pagi sekali untuk bekerja.
Di sisi lain, Yohanes yang memandangi jendela kamar Altair hanya bisa tersenyum. Tadinya ia hendak berkunjung usai kedatangan tamu tersebut, namun mendengar ucapan Mbah Ina bahwa Altair segera istirahat membuatnya urung untuk memaksa.
"Satu yang perlu kamu tau, aku nggak mungkin ngelepas kamu gitu aja. Kamu hebat, Altair. Karena kamu dipikiranku, aku tanpa basa-basi langsung menolak perjodohan yang dilakukan teman ibuku tadi" Yohanes berbalik pulang dengan hati yang sedikit ringan, nanti saja ia beritahu Altair mengenai keputusannya malam ini.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Milikku - MinYun
FanfictionKetika dr. Davin bertemu cintanya di perkampungan sang kakek dan Yuan yang kembali melihat dunia setelah 20 tahun. *Sangat halu dan gak masuk akal, pure imajinasi