Haris memutar roda kursinya menuju salah satu ruangan di rumah sakit milik sang Ayah, membuka pintu itu perlahan dan menunjukkan seseorang yang sedang tertidur di kursi kerja. Pemandangan biasa bagi Haris melihat orang itu tidur dengan bantal juga dokumen yang berserakan di mejanya.
"Nuel" yang dipanggil langsung menegakkan duduknya dan menata rambutnya yang sedikit berantakan, "Ada apa, Haris? Ada yang sakit?"
"Nggak, aku baik-baik saja. Kuliahnya masih?"
"Nanti sore aku ke kampus, jam berapa ini?" Imanuel menengok ke arah jam dindingnya dan menunjukkan pukul setengah satu siang, "Mau makan apa?"
"Karedok" Imanuel langsung memberi isyarat X dengan tangannya, "Nggak boleh pedes"
"Ya tinggal minta jangan pakai cabe, Sayang"
"Yang lain aja"
Haris mendekat lalu meraih tangan Imanuel, digenggamnya erat membuat calon spesialis itu mulai berdebar akan apa yang ingin dikatakan kekasihnya.
"Ayo kita menikah" Kepalanya seketika terasa kosong, kupu-kupu berterbangan di perutnya, sejenak tak ada respon berarti dari Imanuel.
"K-kamu.. Ini mimpikah?" Haris buru-buru nahan tangan pacarnya yang mau nyubit pipi sendiri, soalnya suka nggak kira-kira. Bisa sampai merah.
"Kamu nggak mimpi, ini beneran Haris ngajak Imanuel buat nikah" airmata bertumpuk di pelupuk mata Imanuel, inilah jawaban yang ingin ia dengar dari Haris. Bukan Haris yang ingin menyerah darinya begitu saja.
"Kita nikah, siapa tau aku bisa jadi sedikit lebih sehat, punya anak lucu-lucu dari kamu. Aku mau kita punya anak kembar waktu kamu bilang Mama kamu ada gen kembarnya" tambah Haris membuat tangis Imanuel pecah, di dekapnya orang yang telah menemaninya selama ini. Imanuel yang sabar menghadapi Haris dan Haris yang semangat mendukung kegiatan-kegiatan Imanuel.
"Kamu bakal kerepotan ngurus aku sambil kuliah spesialis, nggak usah maksain ngantor gini lagi ya. Dokter MCU masih ada tiga"
"Aku nurut kata kamu aja, makasih banyak, Haris"
"Aku yang harusnya bilang terimakasih, kamu mau bertahan sama aku di kondisiku yang seperti ini. Jadi, karedoknya gimana?"
"NGGAK BOLEH!"
Jadinya mereka berdua makan siang di kantin, makan bubur ayam. Haris nggak pake kursi rodanya, mau ngetes seberapa lama dirinya bisa berdiri sama jalan-jalan bareng Imanuel.
"Pasien bandel emang"
"Aku bukan pasien, Sayang" sahut Haris seraya menyeka sudut bibir Imanuel dari kecap,
"Kamu mau nikahannya gimana?""Yang kayak dokter Nuwa sama Kalvin di Andalan waktu itu, nggak perlu pakai resepsi" sesuai dugaan Tuan Wijaya, Haris mengangguk setuju.
"Kebetulan kan minggu depan UAS, terus libur sekitar satu bulan. Kalau udah nikah kan..." Haris yang setia memandangi sang kekasih tertawa pelan saat melihat Imanuel bersemu atas ucapannya sendiri, "Ng-nggak, maksudku bukannya mau buru-buruin kamu kok"
"Aku nikahin kamu besok pun bisa, tapi masalahnya kita harus ikut aturan"
Usai makan, mereka berjalan-jalan sedikit menyusuri taman rumah sakit. Duduk di salah satu ayunan yang jadi saksi buta awal hubungan mereka terjalin, pokoknya saat ini sedang merasa dunia hanya milik berdua.
"Kamu kenapa ngebet banget tetep mau sama aku? Aku mungkin nggak bisa hidup selama kamu nanti"
"Kenapa ya? Aku belum pernah seyakin ini sama orang, dan akupun udah sampai di tahap 'pokoknya sama Haris, harus sama Haris' makanya aku bilang kalaupun nanti kamu nggak disini lagi, aku nggak mau sama yang lain lagi. Cuma mau sama kamu"
"Aku katakan padamu dari sekarang, kamu bisa buka hati ke orang lain. Kamu berhak bahagia"
"Bahagiaku ya kamu, Haris" Haris merangkul Imanuel erat karna gemas, pusing juga digombalin sama Imanuel karna terlampau manis.
__________________________________________
Altair sedang menikmati waktunya ditempeli Nuwa yang hamil muda, seperti sekarang dirinya dipeluk Nuwa yang sedang tidur di kediamannya usai bekerja. Altair paling suka dipeluk, jadi dipeluk Nuwa gini bikin dia ikutan ngantuk, dan berakhir tidur bareng.
Kalvin maklum akan hal itu, sampai ia minta izin sama Yohanes sebab Altair tak bisa bebas untuk berkencan akibat suaminya. Sebagai gantinya, Yohanes jadi ikut ngumpul di rumah Kalvin-Nuwa. Kencannya ya sekitaran kediaman para dokter. Altair ngerasa kasihan sebenarnya, karna Yohanes terus mengalah untuknya, namun Yohanes berkali-kali mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Vin, Altair bisa aku bawa jalan-jalan nggak?" Ini pertanyaan yang ke 4 kalinya didengar Kalvin saat melihat Nuwa tidak dalam mode manja,
"Bisa, Bang. Kayaknya udah abis energinya buat nempelin Kak Altair, berangkatnya sekarang" Yohanes langsung maju membangunkan Altair sembari menggeser tangan Nuwa dari pinggang sang kekasih dengan hati-hati.
"Kenapa sih? Mau tidur" lirih Altair ketika merasa tubuhnya diposisikan duduk,
"Ngomongnya di luar ya, biar nggak ngebangunin Nuwa" Altair mengangguk pelan lalu pasrah dituntun Yohanes.
Begitu angin luar rumah menyapa wajahnya, Altair membuka matanya dengan sempurna. Ia melihat Yohanes yang memindahkan motornya jauh dari pagar kediaman dokter spesialis anak tersebut membuatnya teringat, bahwa Yohanes nampaknya tak tahan lagi dengan situasi itu.
"Anes, maaf ya"
"Ngomongnya tahan dulu, kita ke rumah Mbah Ina"
Entah perasaan Altair atau memang Yohanes sedang dalam mood yang buruk, tidak ada ekspresi berarti darinya membuat rasa bersalahnya semakin meningkat. Ia paham mereka pun tak bisa menyalahkan Nuwa yang mulai ngidam, tapi Altair sadar kalau ia tak berusaha mengontrol hal itu supaya ada waktu untuk Yohanes sang kekasih. Dengan situasi canggung itu, mereka pergi ke rumah Mbah Ina karna memang jadwalnya Altair menginap disana.
"Cucuku sudah datang, Mbah baru saja membuat bolu. Duduk sini dulu kalian"
"Anu, aku langsung pulang, Mbah. Mau ganti baju soalnya mau ngecek kedelai" Altair tentu saja terkejut, "Anes--"
"Ei, itu bisa nanti. Duduk dulu sini, cicipi dulu. Kalau enak nanti kasih orangtuamu di rumah"
Altair langsung memeluk Anes erat ketika Mbah Ina berjalan ke dapur, tak bergeming sama sekali saat sang pacar mencoba melepaskan pelukannya,
"Aku salah, aku minta maaf, Anes"
"Kamu nggak ada salah sama aku" Altair menggeleng cepat, "Aku ada, aku secara nggak langsung ngebatalin acara jalan-jalan kita hari ini karna Nuwa ngidam pengen nempel sama aku. Terus aku malah keenakan disana padahal ada kamu yang nungguin, maafin aku"
Sejujurnya Anes juga bingung pada dirinya sendiri, jelas-jelas bagaimana ia mengatakan pada Kalvin sebelum membawa Altair kemari tapi ia malah merasa marah. "Anes?"
"Maaf, aku bingung dengan diriku sendiri. Aku nggak pernah ngadepin yang kayak gini sebelumnya, kamu nggak salah" Altair senang ketika Anes mengusap kepalanya dan membalas pelukannya, "Jangan pulang, kan mau jalan-jalan"
"Telat, Sayang. Jam segini sudah selesai" Altair mendongak sedikit, "Emang kita mau kemana?"
"Beliin kamu permen kapas di deket SD, jam segini mah mamangnya udah pulang"
"KOK GAK BILANG?!"
"Ya kan keburu dicariin Nuwa.."
Obrolan mereka terhenti saat Mbah Ina kembali dengan piring berisi kue bolu, mereka menyantapnya bersama dan sebagian dibawa Yohanes untuk orangtuanya. Yohanes agak berdebar sebenarnya, ia sedang memikirkan cara lain bagaimana memberikan Altair barang yang ada di jok motornya sejak pagi.
"Nanya Papa deh gimana caranya"
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Milikku - MinYun
FanfictionKetika dr. Davin bertemu cintanya di perkampungan sang kakek dan Yuan yang kembali melihat dunia setelah 20 tahun. *Sangat halu dan gak masuk akal, pure imajinasi