004. Noise

4.2K 260 3
                                    

Ternyata Sean cukup bisa di percaya. Sepulang sekolah Sean benar-benar membawa Kanaya untuk bertemu Zean. Awalnya Kanaya tidak begitu yakin bahwa Sean akan mengajaknya ke rumah lelaki itu, tapi ternyata benar. Sean memang membawa Kanaya ke rumah keluarga Mahesyaka.

"Turun, Nay. Malah bengong kek orang kesambet," ucap Sean pada gadis di belakangnya.

Kanaya mengerjap mata, lalu segera turun dari atas motor sport milik Sean. Tapi setelah itu, Kanaya kembali mendongak menatap rumah bertingkat yang ada didepan matanya. Benar-benar luas dan megah bak istana dinegri dogeng. Padahal ini baru luarnya saja. Tapi Kanaya sudah begitu terkesima.

"Ayo masuk."

"Didalam ada ortu lo, An?" tanya Kanaya ketika mereka berdua berjalan menuju pintu utama.

"Nggak. Ortu gue lagi kerja. Mereka suka pulang malam. Cuma ada beberapa pembantu aja, Nay. Lo gak usah sungkan."

Seolah paham akan kecemasan Kanaya, Sean pun tersenyum tipis. Tangannya mulai menarik handle pintu dan mendorongnya ke dalam.

Saat Kanaya berjalan masuk ke rumah, ia lagi-lagi dibuat speechless. Melihat betapa besar dan indahnya interior ruangan milik keluarga si kembar, Kanaya sampai lupa mengatup mulut.

"Apa lo anak konglomengrat?" tanya Kanaya spontan.

Sean malah tertawa dilempari pertanyaan seperti itu. "Anggap aja begitu."

"Tapi beli headphone aja gak mampu," ledek Kanaya.

"Kalo barangnya pemberian orang lebih awet, Nay. Apalagi kalo ngasihnya tulus," timpal Sean enteng. Kanaya hanya mendelik akan jawaban nyeleneh itu. Sean memang paling pintar menjawab.

"Lo duduk dulu di sofa. Gue panggilin Zean buat turun," ucap Sean yang langsung diangguki Kanaya.

Gadis itu mulai duduk di sofa ruang tamu yang sangat empuk. Matanya berpedar ke setiap sudut ruangan. "Gue serasa lagi bertamu ke rumah keluarga kerajaan," gumamnya pelan.

Brak!

"Buat apa hah?! Buat apa kamu muncul di depan gedung kantor saya?! Kamu mau buat sama malu lagi? Kamu mau cari perhatian dengan teman-teman saya?"

Kanaya mendongak kaget saat mendengar teriakan seorang wanita yang berasal dari lantai dua.

Sementara Sean sudah berlari tergesa di atas tangga kemudian masuk ke dalam kamar saudaranya yang pintunya terbuka lebar.

"Bunda? Bunda udah. Kasihan Zean. Jangan kayak gini lagi!"

Mendengar Sean menyebut nama Zean, Kanaya refleks bangkit dari duduknya dengan perasaan cemas. "Zean?"

Apakah ibu mereka tengah meneriaki Zean tadi? Jika begitu, Kanaya tidak bisa menahan diri untuk tetap diam di tempatnya. Ia tidak ingin menuli lebih lama.

Gadis itu segera berjalan ke arah tangga yang menjadi penghubung menuju lantai dua. Tiba di atas, ia berhenti tepat di depan sebuah kamar yang Kanaya yakini itu adalah kamar Zean.

Di sana tampak Zean sedang duduk bersimpuh di atas lantai dengan kedua tangan yang bergerak, membuat bahasa isyarat untuk ibunya.

Kanaya mengerti apa yang ingin Zean katakan.

Aku minta maaf, Bunda. Aku tahu aku salah.

"Berhenti menggerakkan tangan kamu anak cacat! Anak tidak berguna! Seharusnya dulu aku hanya melahirkan Sean saja. Bukan dengan kamu! Menyusahkan!" Wanita berkulit putih serta berambut pendek itu kembali memukuli tubuh Zean, namun Sean dengan sigap menahannya.

"Bunda udaahh. Zean udah minta maaf sama bunda. Dia bilang dia tau kalau dia salah," ucap Sean dengan suara yang bergetar seolah menahan tangis.

"Kenapa kamu selalu bela si bisu ini, Sean? Dari dulu kamu selalu menyayangi dia walaupun dia jadi beban buat keluarga kita. Sampai kapan kamu mau sadar?"

Rinjani---menatap marah pada putra yang paling ia sayangi. Nafasnya sampai naik turun karena seluruh darahnya sedang mendidih.

Rinjani sangat tidak terima saat Zean mendapat pembelaan dari Sean. Ia merasa Sean telah dibutakan oleh rasa persaudaraan mereka. Padahal sudah jelas Sean sering direpotkan oleh anak itu.

Sean hanya menghela nafasnya lelah. Begitu ia menoleh keluar kamar, saat itu juga ia sadar Kanaya sedang menonton mereka. "Cukup, Bunda. Apa Bunda gak malu diliatin temen Sean?"

Rinjani mengernyit. "Teman kamu?" Ia pun mengikuti arah tatapan Sean. Begitu melihat kehadiran seorang gadis belia, raut wajah Rinjani yang awalnya penuh kerutan seketika berubah menjadi tenang hanya dalam hitungan detik.

Rinjani seolah kehilangan seluruh amarahnya, lantas menghampiri Kanaya yang masih mematung di luar kamar.

"Kamu temannya Sean ya? Eum maaf ya tadi tante gak tahu kalau ada kamu disini. Maaf atas pemandangan buruk yang kamu lihat barusan."

Kanaya hanya membisu, menatap diam Rinjani yang tersenyum ramah padanya. Seolah tak pernah terjadi apapun. Satu hal yang Kanaya rasakan saat melihat wajah Rinjani yang tersenyum. Kanaya sangat marah.

Rinjani sadar sudah membuat tamunya kaget. Maka dari itu Rinjani paham akan keterdiaman Kanaya yang terus menatap cemas ke arah Zean. "Jangan merasa kasihan sama anak bisu itu. Dia itu menyusahkan tante setiap hari. Ayo kita turun ke bawah?"

"Nggak, tante. Saya mau bantu teman saya," ucap Kanaya cepat.

"Teman?" ulang Rinjani.

Kanaya mengangguk. Menatap datar wajah Rinjani. "Zean teman aku. Aku ke sini untuk menemui dia, tante." Setelah mengatakan itu Kanaya berjalan masuk ke dalam kamar Zean. Namun kalimat Rinjani sukses menghentikan langkahnya.

"Jangan dekati anak cacat itu. Saya peringatkan. Atau saya akan meminta suami saya untuk menyiksanya lebih parah dari apa yang saya lakukan."

.
.
.
.
.

Nexttt???

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang