049. Wacth

1.6K 132 8
                                    

"Semakin hari, rasanya semakin berat untuk ikhlas," gumam Sean. Ia kini sedang berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya.

Jujur, hanya dengan melihat pantulan wajahnya saja membuat hatinya berdenyut sakit.

Di pekan kedua Zean pergi, Sean masih belum bisa membiasakan diri.

Sean yang notabene-nya anak remaja yang suka berkumpul bersama teman-temannya setelah pulang sekolah, kini memilih langsung pulang menuju rumah.

Tampak jelas, cowok itu sudah begitu malas mengurus diri. Kelopak matanya selalu terlihat menghitam dan pergelangan tangannya tampak kurus dari sebelumnya.

Sean selalu membayangkan, jika yang berdiri didepannya ini adalah saudaranya.

Ia selalu berharap hari itu adalah mimpi buruk.

Namun, kenapa ia tak pernah bangun dari mimpi buruk ini?

Sean mendesah keras, lalu akhirnya meninggalkan cermin menuju lemari pakaian untuk mengganti seragam sekolahnya yang sudah lebih dulu ia tanggalkan.

Setelah memilih cukup lama, pilihan Sean akhrinya jatuh pada kemeja polos berwarna biru langit.

Diraihnya baju tersebut. Lalu ketika Sean pakai, ia sadar ada sesuatu yang cukup berat tersimpan di dalam saku kemeja.

Sean mengernyit. Setelah mengaitkan seluruh kancing baju, tangannya beralih merogoh benda di dalam saku.

Ternyata sebuah kotak. "Jam tangan siapa ini?" Sean heran. Ia tak ingat pernah menyimpan kotak jam tangan di saku baju ini.

Namun ketika dibuka. Sean membeku.

"Ini milik Zean."

Sean masih ingat dengan betul. Jam tangan berwarna biru ini adalah milik saudaranya. Saat pada malam Sean tidur di kamar Zean, pagi-pagi setelah bangun Sean mendapati Zean sedang memandang lamat-lamat jam tangannya itu.

Lalu dengan iseng Sean merebutnya.

"Buat gue aja ya bang? Gue belum punya yang warna biru gini. Keren banget!"

Namun Zean dengan cepat merebutnya kembali. "Ini pemberian. Beli aja model yang lain."

Sean langsung mencebik. "Hadiah? Dari siapa?"

Zean tersenyum miring. "Dilarang kepo."

"Gue bakal beli yang kayak gitu."

Zean pun hanya mengerling matanya.

Tanpa sadar Sean tersenyum mengingatnya. Lalu tatapannya kembali jatuh pada jam tangan biru itu. "Kok ini bisa ada di gue?"

Sean berjalan menuju tepi ranjang lalu duduk sambil berpikir.

Prak.

Tiba-tiba kotak jam tangan di genggamannya jatuh. Sebuah kertas terlipat kecil meloncat tak jauh dari kakinya.

Sean merunduk untuk meraihnya. Ia buka lipatan kertas putih itu dengan penasaran.

Tulisan yang amat Sean kenali memenuhi secarik kertas. Mata Sean mulai fokus membaca setiap bait tinta.

Kalau kamu menemukan jam tangan dan surat ini, artinya kamu lagi pakai kemeja warna biru yang kamu curi dilemari aku.

Aku yakin kamu gak akan berani pakai baju ini, kalau aku lagi ada di rumah.

Mungkin kamu akan pakai baju ini kalau aku udah pergi jauh. Ke surga misalnya?

Kalau begitu aku tebak, hari ini pasti kamu lagi nangisin kepergian aku. Benar bukan?

Dasar anak cengeng....

Sean terkekeh pedih. "Lo masih aja suka ngeledek gue, Bang."

Kalau suatu hari aku lebih dulu dipanggil Tuhan, jangan terlalu sering nangis. Nanti kamar kamu banjir.

Air mata Sean merambas hanya dengan beberapa kalimat itu. Ia menangis tanpa suara. Pertahanan yang selama dua minggu ia bangun, runtuh kembali hari ini. "Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat gak sering nangis. Zean bego!"

Kertas jadi setengah basah karena air mata. Sean membaca kembali isi surat terakhir yang tertulis.

Jam tangan ini sekarang milik kamu. Pakai dan jaga baik-baik. Ini pemberian Kanaya. Aku akan melupakan Kanaya. Jadi jagalah dia. Karena kamu yang memang pantas ada disisinya.

Kamu menyukai Kanaya bukan?

Deg.

Mulut Sean setengah terbuka. Ia terkejut. Oh tidak. Sangat terkejut.

Wajahnya spontan berubah warna jadi tomat. Sial. Ia jadi malu.

"Sejak kapan Zean tahu?" Sean langsung mengusak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa Zean mengetahui hal sememalukan ini?

Terimakasih karena sudah begitu hebatnya berpura-pura.

Jangan khawatir. Waktunya kamu mengejar hal yang kamu sukai. Terimakasih karena selama ini kamu selalu mengutamakan aku, dibanding keinginan kamu sendiri, Sean.

Sean menggeleng kecil. "Gue gak mungkin lakuin itu. Kanaya tetap milik lo."

.
.
.
.
.
.
.
.

Next?

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang