"Selamat pagi, Tuan Zean Mahesyaka."
Zean memutar badannya begitu mendengar suara Kanaya.
Zean memberi tersenyum tipis. Kanaya berdiri didepan Zean dengan wajah sumringah.
"Ada apa nyuruh aku kesini?"
Zean menggerakan tangannya.
"Aku mau membahas soal ucapan kamu di taman belakang kemarin."
Kanaya terdiam sejenak. "O-ohh, iya." Entah kenapa, ia jadi deg-degan. Kemarin bel masuk lebih dulu berbunyi, maka Zean belum sempat menanggapinya.
Zean mengangguk. "Kamu bilang kita teman bukan?"
Kanaya menelan ludahnya. "Hmm."
"Lalu kenapa aku harus jadi milik kamu?"
Kanaya terdiam.
"Kamu gak seharusnya bilang begitu."
Zean menatap Kanaya dalam. "Kalau kamu masih mau berteman dengan aku. Jangan saling menyukai. Diantara kita, tidak boleh ada rasa suka."
Mata Kanaya membelalak. "Gak boleh ada rasa suka?" ulangnya.
"Berjanjilah padaku. Bahwa kamu dan aku tidak akan pernah saling menyukai."
Hati Kanaya mencelos. "Kenapa?"
Zean menghela napas sebelum menjawab, "karena kita teman."
Kanaya mengernyit. Ia rasa itu bukan alasan murni. "Kamu menyukai oranglain, Ze?"
Zean terdiam.
"Jawab pertanyaan aku, Zean. Kamu menyukai oranglain?"
Zean menelan ludahnya kuat. "Ya. Aku memang menyukai oranglain. Jauh sebelum mengenal kamu. Aku sudah menyukainya."
Raut wajah Kanaya seketika berubah. Kekesalan tampak mendominasi. "Siapa?!"
"Kamu gak perlu tahu."
"Apa dia sekolah disini?" cerca Kanaya. "Jadi itu alasan kamu bersekolah di sini hah?!"
Zean menggeleng. "Kamu gak tahu apapun tentang dia."
"Oke." Kanaya memutar bola matanya yang terasa memanas. "Sekarang gue tau lo seburuk apa, Ze."
Zean menundukkan kepalanya.
"Sialan lo! Emang brengsek! Bisa-bisanya lo mengakui kalo lo menyukai oranglain!!"
"Kenapa lo gak menyangkalnya, Ze!"
"Kenapa Zean?!"
Kaki Zean terseret mundur saat Kanaya mendorong dadanya hingga akhirnya punggung Zean menyentuh pembatas rooftop.
Kanaya melakukan hal yang sama seperti kemarin. Menarik kerah seragam Zean.
"Lo cuma mempermainkan gue selama ini! Semua kebaikan lo itu cuma sampah! Ternyata lo begitu ke semua cewek! Menjijikan!"
Mata Kanaya yang memanas, sudah menggenang banyak air. Siap meluncur membasahi pipi.
"Lo pikir lo siapa? Berani nyakitin perasaan gue?" bisik Kanaya.
"Berulang kali lo nyuruh gue pergi. Tapi kemudian, lo sendiri yang nyuruh gue menetap. Kenapa, Zean? Kenapa lo lakuin ini?"
Kedua tangan Zean terangkat, menurunkan kedua tangan Kanaya dari lehernya. Ia pun berujar.
"Kamu juga mempermainkanku Kanaya."
"Mempermainkan apa, Sialan?!" jerit Kanaya kesal.
"Aku selalu ingat saat kamu bilang aku gak boleh sedih. Dan aku gak boleh di perlakukan buruk sama siapapun. Tapi belum sehari setelah mengatakan itu, kamu langsung membenciku. Saat di danau, kamu bilang aku pembunuh bukan?"
Kanaya bergeming.
"Tapi gak lama. Kamu kembali menyukai aku. Kenapa, Kanaya? Kenapa kamu berubah-ubah?"
Zean menjeda.
"Apa kamu gak bisa jadi satu Kanaya saja? Kanaya yang tidak pernah membenci Zean."
"Apa setelah ini, dikemudian hari kamu akan kembali membenci aku?"
Kanaya menggeleng lemah.
"Saat kamu marah. Saat kamu mengeluarkan kalimat kasar. Kamu terlihat seperti Bunda. Kamu terlihat seperti Bunda yang selalu memaki aku."
Zean memejam matanya sejenak saat sesak menjalar dada.
"Aku takut kamu seterusnya jadi seperti Bunda. Dia dulu menyukaiku, tapi sekarang berubah membenciku. Aku takut kamu seperti itu."
Air mata Kanaya luruh. Ia menggeleng lagi. "Nggak, Ze..."
"Aku izinkan kamu untuk membenci aku selamanya, Kanaya. Mulai hari, aku siap menerimanya." Zean menatap sayu gadis dihadapannya itu. Ini berat. Namun ini lebih baik.
"Gak, Zean. Aku gak akan pernah benci kamu lagi. A-aku minta maaf." Mata Kanaya sudah sembab. Isaknya terdengar lirih dipagi itu.
Zean mengangguk. "Kalau begitu dengarkan permintaan aku."
"Apa? Kamu mau nyuruh aku pergi lagi?" tanya Kanaya cepat. Seolah takut, kalimat itu terulang padanya.
"Soal kematian kakak kamu. Kak Raya. Berhenti mencari bukti tentang kematiannya."
Kanaya langsung mengernyit. "Kenapa aku harus berhenti?"
"Turuti saja permintaan aku."
"Apa alasannya?"
Zean tidak menjawab. Tapi cowok itu malah menjatuhkan lututnya di hadapan kaki Kanaya. Alias bersimpuh.
Tentu Kanaya terkejut.
"Zean ka-kamu ngapain?"
Zean mendongak. "Aku mohon. Aku mohon dengan sangat. Mulai sekarang berhenti mencari tahu soal pembunuhan kakak kamu. Berhenti mencoba menjebloskan kedua orang aku ke penjara."
"Kamu dipihak mereka?"
Zean terdiam.
Mata Kanaya semakin membulat kala Zean tak menyangkal pertanyaanya. "Jadi benar. Kamu dipihak mereka, Ze? Kamu disuruh orangtua kamu supaya aku tetap diam?"
Lagi, Zean bergeming.
"Jawab Zean!!"
"Ya! Aku dipihak mereka. Karena jelas mereka orangtua aku."
Tapi yang sebenarnya ingin Zean katakan adalah. Tidak. Aku hanya tidak ingin kamu ada dalam bahaya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Nextt?
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?