005. Affection?

4.3K 247 3
                                    

Jangan dekati anak cacat itu. Saya peringatkan. Atau saya akan meminta suami saya untuk menyiksanya lebih parah dari apa yang saya lakukan."

Kaki Kanaya tidak bergerak lagi. Ia terdiam dengan kedua tangan yang mengepal di samping tubuh.

Melihat itu Sean segera menghampiri Kanaya. "Nay, gue anter lo pulang sekarang." Sean takut Kanaya akan tahu lebih banyak soal sifat asli bundanya.

"Nggak. Gue mau nemenin Zean." Kanaya acuh. Kembali melangkah dan berjongkok di hadapan Zean yang sedang meringkuk menyembunyikan wajahnya diantara tumpuan tangan.

"Ze? Kamu baik-baik aja?"

"JAUHI ANAK BISU ITU! SAYA PERINGATKAN KAMU UNTUK MENJAUHINYA!! DIA SAMA SEKALI GAK PANTAS DIKASIHANI!!"

"BUNDA JANGAAN!" Sean berlari ke arah Rinjani yang sudah meraih vas bunga dan hendak melemparkannya ke arah Zean. Untunglah ia sigap merebut vas bunga itu lebih dulu. Sean segera memeluk tubuh Rinjani untuk menenangkan. "Bunda udah ya. Ayo Sean antar ke kamar Bunda dulu. Nanti Sean bakal suruh teman Sean pergi."

"Kamu anak Bunda dan papa, Sean. Kamu gak boleh berpihak sama si bisu itu! Kamu harus berpihak sama Bunda!"

"Ayo bunda. Ikut Sean."

Akhirnya dengan sedikit paksaan, Sean berhasil membawa Rinjani pergi dari kamar Zean.

Setelah itu, Kanaya kembali menatap Zean yang masih menyembunyikan wajahnya. "Ze? Bunda kamu udah pergi. Sekarang kamu udah aman."

Mendengar ucapan Kanaya, Zean akhirnya berani mengangkat wajah. Kanaya terkejut saat melihat wajah lelaki itu penuh dengan luka memar keunguan.

"Di-dimana kotak obat?"

Kanaya hendak berdiri, namun dengan cepat Zean menarik ujung baju Kanaya. Meminta gadis itu untuk tetap diam di tempatnya.

"Ada apa?" Kanaya mengangkat alis. "Umm kamu bisa bicara dengan bahasa isyarat sekarang karena aku udah belajar sedikit-sedikit," ujarnya dengan senyum tipis.

Zean pun mulai menggerakan kedua tangannya.

"Kenapa aku datang ke sini?" tebak Kanaya. Zean mengangguk. "Aku emang mau ketemu kamu hari ini, Ze. Aku sempat chat kamu tadi pagi, tapi Sean bilang ponsel kamu mati karena kecebur ke kolam. Jadi aku datang kesini. Tapi aku malah liat kamu di perlakukan seperti itu oleh...." Kanaya menarik nafas dalam, tak berniat melanjutkan ucapannya.

Zean kembali menggerakan tangannya.

"Jangan datang lagi ke sini."

Kanaya terdiam melihat apa yang Zean sampaikan. "Kenapa?"

Zean meraih buku kecilnya di atas kasur. Takut Kanaya tidak akan mengerti ucapannya, ia memilih untuk menulisnya.

Sebenarnya bundaku gak seburuk yang kamu liat tadi. Sebenarnya dia sangat baik dan sayang sama aku. Bunda cuma mempunyai tempramen yang sedikit diluar kendalinya. Jadi kamu sebaiknya gak berpikiran buruk tentang dia.

Kanaya terdiam sejenak sebelum akhirnya menatap Zean dengan alis menukik. "Aku udah lihat dengan mata kepala aku sendiri kalau bunda kamu mau melempari kamu dengan vas Bunga yang besar itu." Kanaya menunjuk vas bunga yang berada disudut ruangan dengan emosi.

"Kalo bunda kamu sayang sama kamu, dia gak mungkin sengaja mau menyakiti kamu kayak tadi bukan?" lanjutnya heran.

Zean tak menjawab, melainkan berdecak keras kemudian bangkit berdiri. Kanaya pun ikut berdiri memerhatikan tangan Zean yang bergerak. Sebenarnya Kanaya sedikit kebingungan dan tidak begitu paham.

"Kamu nyuruh aku pergi?"

Zean mengangguk. Kanaya langsung menggeleng. "Aku mau bantu obatin luka di wajah kamu. Pasti itu sakit kan?"

Zean menggeleng.

"Dimana kotak obatnya?" Menghiraukan usiran Zean, kini Kanaya malah sibuk berkeliling di kamar Zean untuk mencari kotak obat. "Nah ini dia." Kanaya tersenyum senang setelah menemukan kotak obat. Lalu kembali menghampiri Zean dan tanpa izin menyeret tubuh lelaki itu untuk duduk di tepi ranjang.

"Diam ya. Ini bakal sedikit perih."

Zean tak bisa berbuat apa-apa saat tangan Kanaya mulai terangkat mengobati memar-memar di wajahnya. Gadis itu begitu telaten mengoleskan obat, hingga membuat Zean tanpa sadar hanyut mengamati wajah Kanaya.

"Kenapa kamu bisa sekuat ini, Ze? Kalau aku jadi kamu, aku bakalan nangis karena gak kuat dengan kata-kata menyakitkan yang bunda kamu ucapkan."

Zean hanya diam. Segera memalingkan tatapan mata saat Kanaya mendongak menatapnya. Sama sekali tak berniat memberi jawaban.

"Ze. Kalau perlu untuk nangis, kamu boleh nangis didepan aku. Kamu gak perlu pura-pura kuat," lanjut Kanaya.

Zean kembali menatap Kanaya, dan mulai menggerakan mulutnya dengan perlahan untuk merangkai kata, "Aku memang cacat dan bisu."

Kanaya langsung mengerutkan kedua alisnya. Ia tidak berharap Zean berkata demikian. Hati Kanaya jadi merasa sesak, sampai matanya sedikit berkaca. "Jangan bilang begitu, Ze! Kamu gak boleh bilang begitu!"

Zean hanya tersenyum sebagai respon. Lalu menggerakan tangan ke area wajahnya, meminta Kanaya untuk tidak menangis.

"Kamu ini ke--"

"Zean."

Ucapan Kanaya terpotong oleh Sean yang tiba-tiba saja menerebos masuk ke dalam kamar dengan wajah panik. Ia langsung menghampiri saudara kembarnya. "Lo gakpapa, kan? Luka-luka lo udah di obatin?"

Bukan Zean, tapi Kanaya yang mengangguk. "Udah sama gue."

Zean menggerakan tangannya pada Sean.

"Gimana keadaan Bunda?"

"Bunda udah tenang di kamarnya. Lo gak usah cemas. Lebih baik lo cemasin aja diri lo sendiri, kak Zean Mahesyaka," jawab Sean dibumbui sedikit tatapan tajam. Pasalnya Saudaranya itu memang tidak pernah merawat lukanya sendiri dengan benar. Ia pun beralih menatap Kanaya.

"Maaf atas kejadian tadi, Nay."

Kanaya mengangguk enteng. "No problem."

"Artinya ini salah Sean karena udah bawa Kanaya ke rumah ini. Kenapa kamu tidak berpikir dua kali sebelum bawa Kanaya kesini?" Zean menatap adiknya itu geram.

"Iya ini emang salah gue. Tapi gue benar-benar gak tau kalau Bunda ada di rumah. Gue gak mungkin ngundang Kanaya dengan sengaja," ujar Sean membela diri.

Zean menghela napas dan menatap Kanaya sejenak. Lalu tak lama kembali menatap saudaranya. "Antar Kanaya pulang sekarang. Dan jangan sampai dia datang ke sini untuk yang kedua kali."

Kanaya tertegun di tempatnya. Sebab ia mengerti apa Zean sampaikan pada Sean. "Zean, kamu tau gak? Kalau kamu mencoba menjauh, aku malah semakin berlari buat mengejar kamu. Ayo Sean, anter gue pulang."
.
.
.
.
.

Nextt?

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang