//.Seorang pria berinisial E berusia 26 tahun ditemukan tewas di rumahnya dengan keadaan mulut penuh busa. Diduga E melakukan aksi bunuh diri setelah sempat bertengkar dengan orangtuanya. E tidak terima karena kedua orangtuanya tidak menginzinkan E untuk menikahi kekasihnya. E juga sempat meninggalkan sebuah surat wasiat untuk sang kekasih.//
...
Bibir Radith menyungging setelah mendengar berita yang ditayangkan pagi ini. Rinjani yang duduk disamping, pun tampak tak kalah bahagia.
"Skenario yang cukup dramatis, Mas," ujar Rinjani kemudian terkekeh.
Di sofa yang berbeda, sang asisten kepercayaan mereka tampak tersenyum bangga.
"Giliran si tikus keras kepala. Aku ingin segera tidur nyenyak, Bagas," ucap Radith pada asistennya.
Bagas mengangguk. "Akan aku bereskan siang ini, Tuan. Rem blong truk muatan yang menewaskan gadis SMA sepulang dari sekolah."
Radith tersenyum. "Pastikan dia sekarat."
"Baik, Tuan."
.....
Sean menyeka keringatnya yang sudah bercucuran banyak sembari berjalan ke tepi lapangan. Setelah bel pulang berbunyi Sean tidak pulang. Tapi berlatih basket bersama teman-temannya.
"Sam! Lempar air minum!" teriak Sean yang sudah sangat kehausan. Namun panggilan Sean tidak didengar oleh temannya itu. Karena Samuel dan yang lainnya malah fokus pada ponsel masing-masing.
Sean pun beranjak dari duduknya dan menghampiri salah satu temannya yang bernama Samuel.
"Sam. Lo--"
"Kanaya mengalami kecelakaan, An," ucap Samuel cepat. "Grup kelas lagi rame bahas dia."
Samuel melanjutkan, "tapi salah satu dari mereka bilang Zean ada di mobil Kanaya. Emang bener, An?"
Sean terdiam. Yang ia tahu setiap hari Zean pulang bersama Maureen dengan sepeda.
"Beberapa siswi bilang mereka sempat liat Zean naik ke mobil Kanaya," ucap Edrick. Teman Sean yang lain.
Setelah mendengar semua ucapan mereka, detik itu juga Sean mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi ia senyapkan. Dan ternyata sudah ada dua panggilan tidak terjawab dari nomor Zean.
Sean pun menelponnya balik. Begitu tersambung, suara oranglain terdengar.
"Halo. Kami dari pihak rumah sakit. Saudara anda mengalami kecelakaan serius dan harus segera mendapat perawatan medis atas persetujuan walinya."
......
Dengan nafas memburu, Sean berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit. Ia begitu panik, hingga beberapa kali menabrak para suster dan pasien yang sedang berjalan.
Setelah tiba di depan ruang Instalasi gawat darurat. Ia langsung memasuki ruangan yang terbuka itu.
Dokter wanita dan dua orang suster yang sedang mengecek kondisi pasien tampak terkejut akan kehadiran Sean.
"Anda saudaranya?" tanya suster.
Sean mengangguk. Ia langsung mendekati Zean yang terbaring di atas brankar. Ia hanya bisa memaku saat melihat begitu banyaknya darah pada kepala dan tubuh Zean.
"Cepat selamatkan saudara saya, dokter!" ucap Sean dengan gemetar.
"Kami akan berusaha. Silahkan anda tunggu di luar."
Sean di dorong mundur oleh suster agar keluar dari ruangan. Pintu pun di tutup rapat.
Setelahnya, Sean duduk di kursi tunggu. Ia menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan dan bergumam.
"Tuhan.... Tolong selamatkan Zean. Tolong jangan ambil dia. Gue gak mau hidup kalau dia pergi. Gue mohon. Gue memang bukan orang yang taat. Tapi gue tau kalau engkau maha mendengar dan maha baik. Tolong...."
Suara Sean gemetar. Tenggorokannya terasa sakit. Doanya mengalir bersama air matanya. Ketakutan di hatinya sangat besar.
Sean menunggu dengan sabar. Menit demi menit berlalu. Dan Sean terus melangitkan doa yang sama pada Tuhannya.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Enam puluh menit.
Satu jam tiga puluh lima menit.
Dua jam lima belas menit.
Namun sudah hampir lebih dari dua jam dokter baik suster belum juga keluar.
Nyaris saja Sean ingin menggedor pintu karena tak tahan lagi menunggu. Namun nyatanya, Sean bangkit untuk sekedar memandang pintu, lalu tak lama kembali duduk. Sean mengulanginya tanpa lelah.
Sean tidak bisa tenang. Pikirannya kacau. Ia tak siap akan situasi ini. Ia tak pernah siap.
Semua hal boleh hilang. Asal jangan saudara kembarnya. Hanya itu yang Sean minta.
Ceklek.
Akhirnyaa.
Mendengar decitan pintu, Sean bangkit cepat. Ia tatap wajah dokter dan suster yang tampak kelelahan.
"Dimana orangtua pasien? Ada hal penting yang harus saya sampaikan mengenai kondisinya," ucap dokter.
Sean terdiam sejenak. Ia bahkan lupa menelpon orangtuanya. "Me-mereka dalam perjalanan kemari, dok. Dokter bisa sampaikan ke saya karena saya adiknya. Dia baik-baik aja kan, dok?"
"Dia kritis."
Deg.
Kri-tis?
Mulut Sean terbuka tanpa sepatah kata. Raut wajahnya berubah pucat.
"Harapan hidupnya fifty-fifty. Tapi kami masih akan berusaha. Dan kembali lagi pada kekuatan doa dari masing-masing."
Sean mengernyit. "Gak mungkin. Zean tadi baik-baik kok, dok. Di sekolah dia masih baik-baik aja. Dia masih belajar sama saya beberapa jam yang lalu. Ini gak mungkin terjadi." Sean menggeleng kecil. Ia harap ini hanya mimpi.
Melihat itu, sang dokter pun tersenyum kecut. "Ini musibah. Kamu harus tegar untuk dia. Segera telpon orangtua kamu. Mereka harus tau secepatnya agar pasien dapat segera dipindahkan ke ruang ICU," ucap dokter kemudian kembali masuk ke dalam ruangan.
"Sus. Saya mau lihat kondisi Zean." Sean menahan pintu yang hendak ditutup oleh suster.
"Untuk saat ini, pasien masih harus diawasi dokter. Tunggu beberapa jam lagi ya," ucap suster lalu akhirnya menutup pintu.
Sean pun merogoh ponselnya cepat. Kemudian mencari nomor sang papa. Ketika hendak menekan panggilan, jarinya menggantung di udara. Sean berpikir sejenak.
"Papa pasti sibuk."
Ia pun beralih pada nomor sang bunda. Lalu mendialnya cepat.
Di nada dering ke lima, akhirnya Rinjani mengangkat telpon.
"Hallo, sayang. Ada apa?"
"Zean kecelakaan, Nda. Dia sekarang kri--"
"Bunda gak peduli. Paling cuma jatuh dari sepeda. Kamu urus aja dia. Bunda lagi fitting baju buat wawancara sore ini. Bunda tutup dulu ya, Sean. Dahh."
Tut.
Sean meremas ponsel digenggamannya kuat lalu mendengus. "Wawancara sialan!!"
.
.
.
.
.Nexttt?
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?