014. Never

3K 174 0
                                    

Jadwal ke perpustakaan hari ini mungkin harus batal. Karena musibah yang terjadi di jalan tadi membuat Zean harus melimpir ke apotek untuk membeli salep luka.

Tentu saja untuk Kanaya. Setelah di amati, sikut dan kaki gadis itu ternyata terluka akibat jatuh dari sepeda tadi.

Selesai membeli salep tersebut, Zean berjalan menghampiri Kanaya yang sudah duduk di kursi. Gadis itu sedang menunduk sambil memainkan sandal jepitnya dengan bibir manyun.

Zean pun segera berjongkok dihadapan kaki gadis itu yang mana membuat si empu terlonjat kaget.

"Kamu mau ngapain?" tanya Kanaya bingung.

Zean tidak merespon. Cowok itu sibuk membasahi kapas dengan air mineral lalu mengarahkannya pada luka di kaki Kanaya.

"EHH JANGAN!!" pekik Kanaya cepat seraya menjauhkan kakinya dari Zean. "Gak usah, Ze. Aku bisa obatin sendiri."

Zean mendongak dan menatap Kanaya dingin. Hal itu sukses membuat Kanaya terasa di ancam. Jadi mau tak mau Kanaya kembali menyodorkan kaki kanannya.

Tanpa babibu, Zean mulai mengobati luka didekat tumit itu dengan perlahan dan hati-hati.

Seolah mengerti, ditekan sedikit pun pasti akan membuat Kanaya meringis sakit.

"Ze. Tadi aku udah nampar kamu. Apa rasanya sakit?"

Zean mengangguk. Matanya fokus mengobati.

"Mumpung sepi, kamu boleh nampar aku sekarang. Jadi kita impas," ujar Kanaya.

Gerakan tangan Zean terhenti. Ia mendongak menatap Kanaya sekilas, lalu tak lama kembali sibuk pada luka gadis itu.

"Aku serius, Ze. Ayo tampar aku disini."

Kanaya cemberut karena Zean tak merespon ucapannya. Sungguh, hal ini membuat Kanaya frustasi.

"Zean."

"Ze...."

"Zean Mahesyaka oh Zean Mahesyaka."

"Zean oh Zean kenapa kamu marah?"

"Macam mana aku tak marah, tadi Kanaya udah nampar aku...."

"Zean-nya pun jadi marah...."

Nyanyian Kanaya pun diabaikan.

Setelah selesai mengobati, akhirnya Zean bangkit berdiri lalu duduk di samping Kanaya.

Cowok itu beralih mengobati luka di sikut Kanaya.

"Awh," ringis Kanaya saat Zean meratakan salep luka pada sikut kirinya.

"Kenapa kamu bisa diam aja saat mereka ngatain kamu kayak tadi? Kenapa gak kamu banting aja tubuh mereka ke jalan raya supaya mereka dilindas truk."

Zean terdiam sejenak dari aktivitasnya. Mulut gadis itu memang asal bunyi, pikirnya.

"Selama ada aku, kamu gak boleh sedih. Kamu gak boleh di perlakukan buruk sama siapapun."

Zean menatap mata Kanaya. Menyelami segala ketulusan di mata gadis itu, membuat hati Zean terasa terunyuh. Dihatinya lantas terlintas sebuah pertanyaan.

Apakah dirinya layak untuk diberi ketulusan?

Sementara apa yang sudah Kanaya terima darinya selama ini?

Beban.

Hanya itu yang Zean lakukan pada Kanaya. Zean merasa membebani gadis itu dengan segala keterbatasannya dalam berbicara.

Setelah berpikir lama, Zean kembali menatap Kanaya sembari menggerakan kedua tangannya.

"Apa aku terlalu membebani kamu?"

Kanaya mengernyit alis. Lantas menggeleng. "Never. Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Untuk mengerti ucapanku, bahkan kamu harus belajar bahasa isyarat. Aku tau kamu berusaha keras untuk itu. Dan setelah berteman dengan aku, kamu semakin di susahkan karena harus membela kekuranganku seperti tadi."

Kanaya terdiam.

"Aku merasa gak layak menerima kebaikan ini," lanjut Zean.

"Zean. Kamu gak berhak bilang begitu. Kamu sama sekali gak berhak," ucap Kanaya menatap Zean tajam.

Zean hanya tersenyum melihat tatapan yang jauh dari kata seram itu.

"Maafin aku, Ze. Aku beneran gak sengaja nampar kamu. Sini aku olesin salep supaya cepet sembuh."

Kanaya hendak meraih salep luka di tangan Zean menyembunyikannya cepat. Lelaki itu menyilang kedua tangan di dada.

"Sini aku obatin, Zean. Sakit bukan?"

Zean menggerakan tangannya. "Nggak kok. Ini sama sekali gak kerasa. Kayak di gigit semut."

Kanaya memicing matanya. "Yaudah!"

Zean menghela nafas saat melihat wajah Kanaya menekuk kesal. Mau bagaimana lagi? Tentu Zean mengalah. Lelaki itu menyerahkan salep tersebut ke tangan Kanaya.

Kanaya tersenyum senang dan segera menghadap Zean, dengan jemarinya Kanaya mulai meratakan salep ke area dekat matanya Zean karena area itu tampak sedikir ruam.

Saat Kanaya sibuk mengolesi obat, Zean sendiri sibuk memandangi wajah Kanaya hingga membuat si empu salah fokus.

"Aku suka warna mata kamu, Ze. Cokelat terang, seperti warna mata kak Raya," ucap Kanaya begitu matanya bertubrukan dengan mata Zean.

Zean hanya tersenyum. Aku juga. Aku suka matanya.

.
.
.
.
.
.
.

Terimakasih yang sudah membaca sejauh ini. Kalian terbaik😗😗

Vote dikencengin ayoooo

Pantengin terus ya gais ️✨️✨️✨️

Lanjuuuuuut?

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang