Rinjani hanya membeku setelah memerhatikan wajah pucat pasi di hadapannya saat ini. Rinjani hanya terus menatap wajah putih itu lamat-lamat. Mencari kemana hilangnya lemak pipi yang dulu sempat berisi, hingga mata beriris cokelat yang berbinar indah.
"Kapan dia bangun?"
Itulah kalimat pertama yang Rinjani layangkan pada Sean, setelah terdiam selama satu menit.
"Entah. Sekarang dia koma," jawab Sean. Setelah tiba di rumah sakit dan Zean dipindahkan ke ruang ICU, dokter menyatakan Zean telah melewati masa kritis, namun beralih koma.
"Kenapa sekarang dia sangat tirus? Kemana pipinya yang bulat?" tanya Rinjani lagi.
Sean bergeming.
"Apa karena bunda gak lagi suapin dia, Sean?"
Sean mengangguk. "Ya. Bunda benar." Ia menggigit bibir kala melihat tangan Rinjani mulai mencoba untuk menyentuh wajah Zean.
Namun tak lama, tangan Rinjani kembali turun.
"Jadi benar. Dia ini Zean kecil bunda yang susah makan?"
"Ya. Bunda. Warna matanya itu milik bunda. Liat bentuk hidung dan bibirnya. Mirip banget sama bunda kan?"
Rinjani mengangguk. "Dia Zean kecil bunda."
"Bicara sama Zean, Nda. Dia pasti dengar."
Rinjani terdiam. Sebelum akhirnya berucap, "Ze, kapan kamu bangun, sayang?"
"Bunda mau liat kamu ketawa lagi. Bunda rindu dengar suara ketawa kamu. Bunda mau liat pipi kamu yang bulat seperti dulu."
Tanpa sadar, air mata Rinjani luruh. Sesak dihatinya telah mendominasi. Perlahan, ia kembali teringat semua memory indah bersama Zean yang sempat ia lupakan.
"Bunda ingat makanan kesukaan kamu, Ze. Kamu sangat suka salad buah buatan bunda. Setiap hari, kamu selalu minta bunda bikinin kamu salad, sayang. Ya kan?"
Hening.
Hanya suara alat pendeteksi denyut jantung yang terdengar.
Tangan Rinjani terangkat membelai wajah tirus Zean. Lalu tersenyum tipis. "Siapa yang menyakitimu, sayang? Kenapa kamu terlihat menderita setiap hari? Bilang sama bunda. Siapa orangnya?"
Sean mendesis. "Bunda."
Rinjani menoleh pada Sean. "Bunda?"
Dengan raut bingung, Rinjani berpikir. Lalu bagai bom waktu yang meledak di otaknya. Ia tersentak kaget seolah tersandar. Lalu kembali menatap wajah Zean.
Bayangan wajah yang ketakutan mulai muncur. Wajah yang berlumur darah. Wajah yang menangis. Wajah yang tersenyum getir.
"Kamu hanya benalu di rumah ini."
"Anak menjijikkan!"
"Pergi kamu anak cacat!!"
"Tidak usah berekting!! Air matamu tidak akan pernah meluluhkan hati saya!!"
"Ternyata aku." Rinjani menutup wajahnya, lalu menangis keras. Meraung sejadi-jadinya.
Melihat itu Sean sigap memeluk tubuh Rinjani. Tangis wanita itu terdengar menyesakkan dada. Lebih dari apapun. "Bunda yang menyakiti Zean. Bunda yang bikin dia menderita. Bunda penyebabnya."
Sean menelan ludahnya kuat. Kerongkongannya terasa terkecik sakit. "Bunda tenang. Zean pasti baik-baik aja."
"Aku seorang ibu yang jahat. Aku sangat jahat." Rinjani merintih dalam dekapan Sean. Tubuhnya tampak gemetar. Begitu hebatnya rasa penyesalan ini.
Tapi anehnya, kenapa rasa ini baru datang ketika Zean sudah terbaring lemah disini?
Kenapa tidak kemarin saja. Saat Zean masih berdiri kokoh tanpa terluka.
"Sean, hati bunda sakit sekali. Bunda rindu Zean kecil bunda. Bunda mau dia kembali. Kapan dia bangun? Tolong suruh dia bangun sekarang, Sean. Tolong...."
"Zean kecil bunda pasti kembali. Dia pasti bangun lagi, Nda. Kita berdoa sama-sama ya." Sean mengusap puncak kepala Rinjani, kemudian mengecupnya lembut.
Rinjani mundur dari dekapan Sean. Lalu kembali menatap Zean yang setia menutup mata. "Cepat bangun, sayang. Besok bunda buatkan salad kesukaan kamu."
Ceklek.
Pria baya muncul dari balik pintu. "Sean. Papa perlu bicara."
Sean menghampiri Radith. Lalu berjalan mengikuti ayahnya keluar dari ruangan.
"Apa benar, Zean kecelakaan bersama Kanaya?" tanya Radith.
"Ya. Zean ada di mobil Kanaya saat kecelakaan," jawab Sean.
Radith bergeming. Ia pun merogoh ponselnya cepat. Berjalan menjaga jarak dari Sean ketika panggilannya dengan seseorang sudah tersambung.
"Dimana kamu?"
"Tuan, maaf. Aku tidak tahu di dalam mobil itu ada putra anda. Maafkan saya, Tuan."
Radith membeku. Sebelum ponsel di gengamannya ia remas kemudian di buang ke lantai.
Radith kembali masuk ke dalam ruangan ICU. Lalu berjalan ke arah brankar Zean yang sejak awal tak pernah ingin ia dekati. Ia tatap wajah putranya yang pucat pasi, sambil berupaya menepis bayang-bayang wajah yang kesakitan saat menerima pukulannya setiap hari.
Ini sulit di percaya. Bahwasanya dirinya adalah seorang ayah yang telah mencelakai putranya sendiri.
Sebutir air mata jatuh tanpa di sadari.
"Mas, dia tirus sekali bukan?" tanya Rinjani pada suaminya.
Radith bergeming.
"Orang bisu sepertimu tidak perlu mempunyai teman!"
"Melihat wajahmu membuat saya jijik!"
"Bajingan!!"
"Kamu pikir saya juga tidak kecewa memiliki anak seperti kamu?"
"Anak cacat!"
Perlahan, Radith mencoba menyentuh wajah tirus putranya. Ketika berhasil menyentuhnya, Radith tersenyum kecil. "Ini papa. Ayo bangun, Ze."
Sean tersenyum melihat kedua orangtuanya yang telah berubah. Ia sangat bahagia. Sangat.
Meski terlambat, setidaknya mereka sadar.
Meski tidak ada yang tahu kapan Zean bangun, setidaknya mereka telah menyayanginya.
Dan semoga, cepat atau lambat Zean segera kembali pada keluarganya.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?