Dua hari setelah perawatan di rumah sakit.
.
.
.
.
.
.Mata Zean membelalak saat melihat apa yang Sean lakukan dengan seluruh pakaian di lemarinya. Beberapa detik lalu ia pikir Sean menerobos masuk ke dalam kamar hanya untuk memeriksa kondisinya, namun Zean salah. Karena nyatanya, Sean datang dengan menyeret koper kosong menuju lemari dan memasukan semua pakaian Zean ke dalamnya tanpa izin.
Dengan cepat Zean turun dari kasurnya untuk mencegah aksi saudaranya itu.
"Kamu ngapain ini?"
Sean berdecak. Alih-alih menjawab pertanyaan Zean, ia malah terus menjejal koper.
Zean bingung. Ia akhirnya berdiri didepan lemari, yang mana sukses membuat Sean berhenti dan beralih menatapnya.
"Jawab aku! Kamu mau apain pakaian aku? Kenapa semuanya dimasukan ke dalam koper?"
"Gue udah pesan tiket pesawat untuk penerbangan jam lima subuh nanti. Jadi lo harus siap-siap."
Mata Zean membelalak. Alis hitamnya menukik dalam. "Apa kamu gila? Kamu lakuin ini tanpa minta persetujuan dari aku?"
Sean menghela napas. "Gue udah bilang kalau lo gak boleh nolak gue kali ini."
"Omong kosong! Letakan semua pakaian ini ke tempatnya lagi!" Perintah Zean marah.
"Kalo lo setuju ikut gue ke luar negeri, lo bisa sekolah, kak. Lo bisa belajar bareng sama gue. Bukannya itu yang lo mau?"
Zean terdiam sejenak. Lalu tak lama menggeleng. "Memangnya ini keinginan bunda dan Papa?"
Sean berdecak. "Gak usah peduliin mereka. Mereka bukan orangtua kita lagi."
Zean mengernyit. "Apa kamu kehilangan akal, Sean?"
"Lo yang kehilangan akal!" sentak Sean kesal. Ia sudah tak peduli dengan koper. Kini Sean hanya menatap nyalang pada saudaranya. "Kenapa sih lo selalu mikirin keinginan Bunda dan Papa. Apa baiknya buat lo? Apa keuntungannya buat lo? Emangnya lo bahagia hidup menyendiri sesuai keinginan mereka?"
Zean terdiam.
"Nggak! Gue tau itu jawabannya!" sergah Sean. "Gue terpukul saat tau mereka menghilangkan nyawa seseorang hanya karena orang itu berteman dengan lo, kak. Coba lo pikir, emang ada orangtua kayak gitu?"
Hening.
"Mereka lebih menakutkan dari penjahat diluar sana. Rasanya gue mau gila kalau mikirin ini tau gak?!"
Sean menekan dada Zean dengan telunjuknya. "Gue tau betapa menderitanya perasaan lo saat tau soal ini. Gue tau gimana hancurnya hati lo. Makanya gue gak heran, kenapa lo mutusin loncat ke kolam tanpa pikir panjang."
"Karena jelas, lo udah capek."
Zean mengerjap pelan. Ia mendongak pada langit-langit ruangan, sebab tak ingin melihat mata Sean.
"Apa lo masih betah hidup dengan segala kesakitan ini?"
Mata Zean kembali menatap sepasang mata Sean. Kedua tangannya bergerak. "Hidup bukan tentang bahagia. Tidak ada hidup yang dipenuhi kebahagiaan setiap hari. Rasa sakit juga bagian dari hidup."
Sean tersenyum miris. "Lalu, apa keluarga lo pernah ngasih lo kebahagiaan?"
Zean mengangguk dengan senyum tipis. "Saat aku berumur 5 tahun. Bunda dan papa adalah orang pertama yang mengajari aku bahasa isyarat tangan. Mereka mengajari aku untuk bercerita, hanya dengan gerakan tangan. Itu momen berharga yang selalu aku ingat. Mereka tertawa saat aku melakukan gerakan yang salah. Dan tawa mereka, adalah hal yang paling indah yang pernah aku lihat."
Sean menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia berjongkok di lantai. Sean mengacak rambutnya bersamaan dengan hatinya yang berdenyut sakit. "Sial! Gue benci kalo lo ingat hari-hari itu! Tapi malah melupakan semua rasa sakit yang mereka beri setelahnya!"
Zean berjongkok. "Aku gak pernah melupakan rasa sakitnya. Aku ingat, tapi semuanya kalah karena kenangan indah itu."
"Lo bahagia dipukulin setiap hari sampe bonyok?"
Zean menggeleng. "Aku bahagia karena hati mereka puas."
Sean mengernyit. Ia pun memengangi kedua bahu Zean dan mengguncangnya keras. "Sadar, Zean!! Sadarr!! Lo itu harusnya benci mereka! Harusnya lo umpat mereka habis-habisan! Bukan kayak gini!"
"Aku memang sengsara karena mereka. Aku memang sangat menderita karena mereka. Tapi aku bisa apa? Aku kalah sejak lahir. Karena bicara pun, aku gak bisa."
Sean tak bisa menahan sesak di dadanya lagi. Ia segera memeluk saudaranya itu. "Maka dari itu, gue mau bawa lo menjauh dari mereka. Supaya lo aman. Supaya lo bisa menjalankan hidup sesuai keinginan lo. Bukan keinginan mereka."
Zean hanya menatap kosong ke depan.
Sean bergerak mundur, kembali menatap wajah Zean. "Turutin permintaan gue. Atau lo mau liat gue sayat urat nadi gue?"
Zean berdecak lalu mendorong bahu Sean hingga cowok itu tersungkur. "Aku gak akan tinggalkan kamar ini."
Sean berdecak kesal lalu ia pun berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama ia keluar dengan pisau lipat yang sudah ia arahkan ke pergelangan tangannya.
"Lo pikir gue bercanda?"
Mata Zean membelalak. Ia hendak meraih benda itu namun,
"Gue tau gue banyak drama. Tapi lo selalu menyepelein permintaan gue. Dari dulu sampai sekarang, lo cuma mikirin keinginan bunda dan papa. Kalo gitu, lebih baik gue mati."
Zean segera menggeleng. "Aku akan pergi!"
Bibir Sean menyungging setelah melihat itu.
"Buang pisaunya bodoh! Aku ikut kamu. Aku janji."
.
.
.
.
.
.
.
.
.Nexttt??
Tim setuju Zean pergi ke luar negri atau tetap diam bersama Rinjani and radith ?
Tega banget ga pencet vote ya kamu
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?