043. Promise?

2.4K 149 6
                                    

Sean masih tidak bisa berhenti tersenyum, sampai-sampai giginya terasa kering. Apalagi saat melihat bibir Zean yang menyungging ke atas, ia benar-benar ingin menangis.

Ia masih sulit berkata-kata. Ia hanya masih betah memandangi Zean dalam diam. Dirinya hanya mematung dan menjadi penonton dari kemesraan ibu, ayah dan anak itu.

Betapa tidak, saat ini, Zean sudah duduk di atas kursi roda. Berada didekat jendela besar bersama Radith dan Rinjani, senja menjadi pemandangan pertama yang Zean saksikan setelah bangun dari koma.

Sean sendiri hanya duduk di atas brankar. Memandangi ketiganya yang tengah bertukar tawa. Ini adalah pemandangan pertama paling indah yang Sean lihat dalam masa remajanya.

Bunda, papa dan Zean. Tertawa bersama.

Hingga air mata Sean menetes, cowok itu buru-buru mengusapnya karena takut Zean melihatnya dan meledeknya anak cengeng.

Zean yang berada di tengah, kembali membuka mulutnya saat Rinjani menyuapinya salad.

"Kalau kamu ngerasa sakit dibagian kepala atau bagian tubuh yang lain, bilang sama Papa ya, Zean." Radith mengusap kepala Zean yang dibalut perban. Dalam hati ia masih terus mengucap syukur, karena Tuhan mengembalikan putranya padanya lagi.

Ini artinya, Tuhan telah memberinya kesempatan. Dan Radith tak akan menyia-nyiakannya lagi.

Zean mengangguk pelan dan tersenyum.

"Setelah kamu pulang ke rumah. Bunda bakal buatkan kamu salad setiap hari, sayang. Bunda janji." Rinjani mengelus wajah tirus Zean.

Lagi-lagi, senyum di bibir Zean terbit. Ia pun berkata, "terimakasih, Bunda."

"Zean doang?" Sean akhirnya memberanikan diri berjalan menghampiri mereka bertiga. Ia berdiri tepat dibelakang kursi roda yang diduduki Zean. "Sean nggak dibikinin nih, Bun?"

"Kamu kan gak suka salad, Sean."

"Oh iya. Sean baru ingat." Sean terkekeh. Rinjani langsung mencubit lengan anak itu gemas.

Drtt.

Ponsel milik Radith tiba-tiba berdering. Pria itu merogohnya cepat. Sedikit menjauh, lalu segera menerima telepon dari bawahannya.

Tak berapa lama Radith kembali pada Zean. Ia berjongkok dihadapan Zean dan mendongak pada putranya itu.

"Papa punya urusan mendadak. Nanti papa kembali lagi kesini. Papa janji."

Zean mengangguk. "Selesaikan urusan papa. Jangan khawatir. Bunda dan Sean ada disini."

Radith tersenyum. Ia pun bangkit dari hadapan Zean. "Ada banyak hal yang mau papa sampaikan ke kamu nanti. Tunggu papa kembali, Ze."

Zean mengangguk lagi.

Cup.

Setelah mencium kepala Zean, Radith melangkah pergi dari ruangan meski dengan hati yang berat.

Bahkan saat hendak menutup pintu, ia sempat menoleh kembali untuk sekedar memastikan Zean masih ada disana.

Ia pastikan, akan cepat-cepat kembali ke sana lagi untuk memeluk Zean dengan erat.

Blam.

Pintu akhirnya ditutup.

"Nda, delay dulu suapin Zean-nya. Sekarang giliran Sean."

Rinjani menatap Sean heran. "Kamu mau suapin Zean juga?"

Zean langsung menggeleng. "Nggak. Aku gak mau disuapin Sean."

"Siapa juga yang mau nyuapin lo, Bang. Pede amat." Sean menggerling jahil. Ia pun duduk di kursi kecil menggantikan posisi Radith. Matanya memandang senja yang sebentar lagi akan menghilang, lalu tersenyum tipis.

"Gue cuma mau nikmatin matahari terbenam disamping lo."

Sean beralih menatap saudaranya. "Mulai hari ini dan seterusnya. Lo harus terus nemenin gue lihat matahari terbenam. Janji?"

Zean menatap jari kelingking yang Sean ulurkan padanya. Sebelum akhirnya ia menautkan jarinya juga. Kemudian mengangguk.

Tanpa sadar, air mata Rinjani menetes melihat interaksi kedua putranya. Saat ini yang tertangkap dimatanya tak lain adalah Zean dan Sean yang berumur 6 tahun.

Kilasan dua wajah mungil dan pipi gembul membuat hati Rinjani terunyuh.

Ternyata benar. Zean kecilnya tidak pernah hilang. Tapi dirinya lah yang telah menghilangkan sosok Zean kecil dalam diri putranya.

"Kenapa bunda nangis?" Zean tampak khawatir.

Rinjani spontan menggeleng. Ia genggam tangan kedua putranya itu dengan dua tangannya. "Kalian kesayangan bunda. Jangan pernah tinggalin bunda sendirian, ya?"

Mendengar pertanyaan seperti itu, Sean dan Zean kompak saling menatap.

"Kami gak akan pernah ninggalin bunda," ucap Sean cepat. Zean mengangguk setuju.

"Jadi bunda jangan sedih. Aku gak suka liat bunda nangis."

Dengan halus Zean mengusap pipi Rinjani yang basah.

"Terimakasih, Ze."

"Kenapa bunda keliatan lebih kurus sekarang?" Zean memindai wajah Ibundanya yang tampak jauh lebih tirus dari terakhir kali Zean melihatnya.

"Bunda jarang makan. Karena sibuk nemenin lo disini setiap hari." Sean yang menjawab. Mendengar itu Zean tampak kaget.

"Bunda nakal ya. Sean, cepat belikan bunda makanan." Dengan raut setengah marah, Zean memerintah pada adiknya.

"Bun," panggil Sean. "Gimana?"

"Iya. Bunda bakal makan, Nak. Sana kamu beli makanan dulu. Biar Bunda bisa berduaan sama Zean."

Sean langsung mendengus. Tapi tak urung dirinya bangkit berdiri. "Sean izin keluar dulu kalau gitu."

"Iya. Hati-hati."

Sean hanya mengangguk. Lantas melimpir keluar dari ruangan.

Sepeninggalan Sean, kini tersisa Rinjani dan Zean dalam ruangan berbau obat-obatan itu.

Rinjani meraih satu tangan putranya yang putih bersih ke atas pangkuannya. Di usap-usapnya tangan hangat itu dengan halus, penuh kasihsayang.

"Dulu, tangan kamu hanya sekecil telapak tangan bunda. Sekarang, tangan kamu sudah jauh lebih besar dari Bunda."

Zean hanya tersenyum mendengarnya.

"Dulu jari-jari tangan kamu sangat mungil, sayang. Kapan jari-jari kamu tumbuh sampai menyaingi Bunda?" Tatapan Rinjani naik menatap Zean.

"Apa Bunda banyak melewatkan pertumbuhan kamu, sayang?"

Zean menggeleng.

Mata Rinjani mulai berkaca-kaca. "Kenapa kamu jauh lebih kurus dari Sean?"

"Mungkin aku gak pernah makan dengan enak selama ini, Nda. Karena makan tanpa disuapi Bunda rasanya hambar."

.
.
.

.
.
.
.

Tinggalkan vote ya gengs.

Lanjuuuuut ?

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang