009. Just receive pain

3.3K 205 2
                                    

Brugh!

Tubuh Zean terhempas kasar ke dinding kamar milik sang papa. Zean meringis, berusaha berdiri kembali meski seluruh tubuhnya terasa sakit.

"BAJINGAN!!"

Radith--pria itu berteriak marah. Urat-urat di lengannya terlihat begitu jelas, pun rahangnya sudah mengetat. "Untuk apa kamu bermain di cafe dengan seorang gadis? UNTUK APA HAH?!"

Zean menunduk dalam. Ternyata ayahnya tahu.

"APA KAMU MENCOBA MENCARI TAMENG LAGI UNTUK DIRIMU?!" bentak Radith.

"JAWAB BAJINGAN?!!"

Radith berdecih pelan setelahnya. "Oh ya, saya lupa. Kamu ini cacat. Kamu gak akan bisa jawab pertanyaan saya sampai hari kiamat terjadi!"

Tangan Zean mengepal dibelakang tubuhnya. Sakit, hatinya benar-benar sakit.

Dugh!

Radith kembali menendang perut Zean hingga lelaki itu terjerembab di lantai.

"APA BELUM CUKUP KAMU MEMBEBANI SEAN SELAMA INI?! BELUM CUKUP KAMU MENEMPEL DI HIDUP SEAN SEPERTI PARASIT?!"

Zean mendongak. Menatap papanya dengan sepasang mata yang memanas.

"Apa? Kenapa menatapku bergitu? Kamu mau berteriak?" Radith terkekeh remeh. "Apa kamu bisa berteriak seperti saya? Kamu ini bisu. Sakit mental. Cacat dan menyusahkan." Radith kini berjongkok di hadapan Zean dan menatap putranya itu dengan pandangan jijik. "Apa yang harus saya banggakan dari anak seperti kamu? Tidak ada."

Zean mengangguk lemah. Dirinya tahu, lebih dari tahu.

"Lalu kenapa tidak mendengar perintah saya?" Radith mencengkram leher Zean dan menekannya dengan kuat.

"Apa perlu saya ulang lagi?" tanya Radith geram. "Orang bisu sepertimu tidak perlu mempunyai teman!"

Uhukk!!

Zean terbatuk kemudian meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah Radith melepas cekikannya. Ia pun menggerakannya kedua tangannya, "aku hanya butuh seseorang untuk bercerita. Karena papa gak pernah mau peduli dengan apa Zean rasakan."

Radith terdiam. Ya, dia memang paham dengan bahasa tangan Zean. Dan sialnya, dia benci mengetahui dirinya masih saja mengerti dengan bahasa tersebut.

"Apa yang mau kamu ceritakan? Kamu mau bercerita bahwa saya sering memukulimu seperti ini? Lalu saya akan dilaporkan? Begitu?"

"Zean bisa melaporkannya sendiri jika Zean mau."

Tangan Radith mengepal kuat. Ia segera berdiri dan meraih gelas kaca yang berada di nakas lalu melemparnya ke wajah Zean. Tapi untungnya lemparannya meleset namun harus mengenai kepala lelaki itu.

Gelas itu pecah saat berbenturan dengan kepala Zean. Dan kepala lelaki itu akhirnya mengeluarkan banyak darah.

"Setelah apa yang saya beri, apa ini balasanmu pada saya?!"

Zean berdiri. Darah bercucuran memenuhi wajahnya. Ia berjalan mendekat dan menatap wajah Radith dengan hati yang berdenyut sakit. Tangannya bergerak, "papa hanya memberi rasa sakit."

Plak!

Wajah Zean tertoleh ke samping. "Melihat wajahmu membuat saya jijik. Jika waktu bisa terulang kembali, saya berharap kamu tidak hidup lebih lama saat bayi." Setelah itu, Radith berjalan pergi dari hadapan Zean.

Zean mematung dengan air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Ia pun berjalan tertatih keluar dari kamar tersebut menuju kamarnya.

Ia kemudian duduk di atas lantai, bersandar pada pinggir kasur sambil memegangi kepalanya yang berdenyut kuat. Air matanya berjatuhan semakin banyak. Bukan karena rasa sakit di dikepalanya, melainkan sakit di hatinya yang tak bisa di jelaskan.

Zean menunduk dalam. Tangannya berganti meremas rambut kepalanya dengan kuat. Dirinya memang tidak sempurna.... dirinya memang sangat kurang.

Ceklek.

Ia mengangkat kepala saat mendengar pintu kamarnya gerbuka.

"Maaf. Gue terlambat lagi."

Dengan mata yang sudah berlinang, Sean berlari ke arah Zean, berjongkok memerhatikan wajah kakaknya yang dipenuhi darah.

Sean meringis ngilu. "Ikut gue ke rumah sakit sekarang."

Zean menepis tangan Sean yang hendak menarik tubuhnya untuk berdiri. Zean menggeleng pelan. "Gak perlu ke rumah sakit. Luka ini bisa sembuh sendiri."

"Sekali aja dengar perkataan gue bisa?" Sean menatap saudaranya geram. Selalu saja jawaban itu yang dipakai Zean. "Kenapa lo selalu diam aja saat Papa dan Bunda nyiksa lo kayak gini? Kenapa lo gak menghindar? Kenapa lo selalu diam seperti orang bodoh? Kenapa lo selalu kayak gini kak?!"

Zean hanya menghela nafasnya dalam. Percuma dia menjawab. Sean malah akan semakin memarahinya.

"Ikut gue ke rumah sakit sekarang!! Kepala lo berdarah banyak Zean!!" Sean marah karena dia sangat takut. Takut tiba-tiba saja Zean tak sadarkan diri dan.... ada hal buruk terjadi.

"Aku mau diam dulu disini. Mau tidur sebentar."

Sean meremas rambutnya frustasi. "Tadi Kanaya chat gue kalau dia ketemu sama lo hari ini. Apa papa tau jadi dia buat lo kayak gini?"

Zean tidak menjawab. Sean berdecak saat merasa tebakkannya benar. "Padahal gue udah kasih tau Kanaya soal ini." Tanpa sadar, tangan Sean sudah mengepal kuat.

Guna menghindari pertanyaan lebih lanjut, Zean segera bangkit lalu berjalan ke arah kamar mandi.

"Lo suka sama Kanaya?"

Langkah Zean terhenti ketika Sean melayangkan pertanyaan tersebut.

"Kalau iya. Itu bukan masalah. Tapi lo harus sayang sama diri lo sendiri. Lo tau sendiri kan orangtua kita seperti apa?"

.
.
.
.
.
.

Hayu ajak temen-temen kamu buat ikut baca cerita ini yuuu. Promosikan kesiapapun yang kamu kenal. Maka aku sangat berterimakasih ❤️

Next next



Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang